Suatu sore saya terlibat percakapan dengan seorang rekan kerja. Just call her Yuna.
“Mbak, mbak sudah hamil belum?” tanyanya.
Sore itu menjelang jam pulang kantor. Dengan energi yang sudah kesedot habis berganti dengan keinginan menggebu untuk pulang. Kalau bukan Yuna yang bertanya, mungkin saya bakal nyolot, marah, lalu bilang, “Belom. Ngapain lo nanya?” Tapi karena ini Yuna, yang nasibnya sama seperti saya — alias nikahnya udah lama, jauh lebih lama malah, dan belum hamil juga — saya dengan santainya menjawab, “Belum, Dek. Kenapa?”
Rupanya dia cuman mau cerita soal kunjungannya ke dokter kandungan, beberapa waktu yang lalu. Ke dokter yang terkenal punya semacam magic untuk menghamili — eh, sounds wrong, ya? — maksud saya, membuat perempuan yang susah punya anak jadi tokcer hamil kayak kelinci. Continue reading