Aku rindu. Rindu rasanya tenggelam dalam pelukanmu.
Rindu rasanya diperjuangkan olehmu.
Nyatanya memang kamu tak lagi merindukanku.
Nyatanya memang kamu tak lagi berjuang.
Kamu lupa? Cinta butuh dua orang yang saling berjuang. Lalu bagaimana bila hanya aku yang berjuang? Jelaskan padaku, kamu gugur atau memang menyerah?
Entah aku yang bodoh atau kamu yang keterlaluan. Kamu tak lagi mencintai rumahmu –rumah kita. Kamu lebih suka tersesat, hilang.
Lalu, dia? Dia tak tahu apa pun tentangmu. Kebiasaan-kebiasaanmu yang dia kisahkan memang benar adanya. Namun, tidakkah kamu ingat, bahwa aku yang lebih dulu tahu apa-apa tentang kamu.
Bahkan, jauh sebelum dia tahu namamu.
Dia bilang kamu merokok? Sejak kapan kamu merokok? Dia pasti mengarang. Sepuluh tahun denganmu, tak pernah kulihat kamu menjamah barang itu. Terakhir kali terpeta jelas di memoriku, kau
terbatuk saat menghirup asap rokok ayahku. Ya, itu sudah lama sekali.
Dia bilang kamu selalu lupa mengisi botol air minum di dalam kulkas. Itu karena kamu memang tak suka air dingin. Kamu lebih suka air putih hangat yang dituangkan anak kita. Selalu begitu setiap kamu pulang dari kantormu.
Aku tak tahu lagi. Dan aku pun tak ingin tahu lagi sejauh apa wanita itu mengubahmu. Kenyatannya, kamu telah jauh melangkah, menjauh. Tak lagi dekat, tak lagi hangat. Tak bisa lagi direngkuh oleh jemariku yang kian ringkih,
Kupikir dia adalah wanita cantik, cerdas dan yang terpenting bisa membahagiakanmu. Bisa memberikan apa-apa yang tak mampu kuberikan sebagai seorang pengidap kanker. Kuharap Tuhan
mengiyakan. Agar aku punya alasan kuat untuk berhenti.
Entah sejak kapan kamu sampai hati menghancurkan segala yang kita bangun.
Yang kutahu, sejak saat ini aku berhenti berjuang sendiri, sebagaimana kamu berhenti dengan sukarela.
Discussion
No comments yet.