Lelaki bermata sipit yang sering kusebut “Taiwan” itu menyalamiku di suatu pagi. Dia mengucapkan ikut berbelasungkawa atas meninggalnya Papi, seminggu yang lalu. Senyumnya nampak tulus, juga sepasang matanya terlihat tulus sekali. Seolah dia ikut merasakan apa yang aku rasakan. Oh, setidaknya, mencoba untuk put himself in my shoes.
“Are you OK, now?” tanya Taiwan, usai menyalamiku.
“Hm, not that OK. It still feels so hard to let him go…” jawabku.
Lalu dia tersenyum. “Well, Lala. At least, you know where he’s going. At least, you know for sure that your father has gone to someplace.“
“What do you mean?”
“Remember how I’ve told you about my father, don’t you?”
Seketika itu juga, ingatanku melayang ke percakapan kami setahun yang lalu, sehingga aku bisa memaknai kalimat-kalimatnya tadi.
Setidaknya kamu tahu kemana Ayahmu pergi..
Setidaknya kamu tahu dengan pasti kalau Ayahmu telah pergi ke suatu tempat…
Ya.
Aku mungkin lebih beruntung daripada Taiwan yang tidak pernah tahu kemana Ayahnya pergi, bertahun-tahun yang lalu… Continue reading