9 Mei.
Tanggal ini tak akan pernah menjadi hari yang istimewa kalau saya nggak pernah mengenal Fe, mantan kekasih saya. Nope. Ini bukan tanggal jadian saya dengan lelaki yang sudah menghapus saya dari otaknya itu, tapi ini adalah tanggal kelahirannya. Sebuah tanggal di mana dia pernah meniup lilin di atas kue tar. Sebuah tanggal di mana dia pernah mendapatkan kecupan sayang di pipi. Sebuah tanggal di mana dia bertambah usia yang diperingati pertahunnya.
Ya. 9 Mei, alias hari ini, Fe, mantan kekasih (yang entah kenapa sampai sekarang masih sulit saya maafkan), berulangtahun yang ke-31. Continue reading
Apa yang kamu lakukan ketika Pacar memutuskan hubungan dengan tiba-tiba, justru ketika kamu merasa hubungan sedang di atas angin? Justru ketika hubungan sedang hangat dan mesra? Justru ketika kamu merasa sangat aman dan nyaman dengan hubungan simbiosis mutualisme yang kalian miliki?
Apa yang kamu lakukan ketika Pacar tiba-tiba bilang kalau dia ingin meninggalkanmu? Kalau Pacar mendadak bilang kalau dia tidak nyaman berada terus di dekatmu? Kalau Pacar kemudian bilang bahwa dia memiliki perempuan/lelaki lain yang mungkin tidak lebih baik dari kamu tapi dia mencintainya sepenuh hati?
Intinya, pacar meninggalkanmu ketika semuanya sedang baik-baik saja, demi orang lain, dan kamu merasa tidak berarti buat dia… justru ketika kamu menganggap dia adalah segalanya.
Nah.
Apa yang akan kamu lakukan kalau itu terjadi? Continue reading
Jakarta.
Jakarta.
Kota yang pernah saya takutkan itu akan saya tinggalkan, pagi ini. Dengan kereta Argo Anggrek pukul 9.30 pagi yang akan membawa saya kembali pulang ke pelukan keluarga tersayang. Artinya: kembali pada rutinitas lama… ngantor, ketemuan sama Gang Gila, ketemuan sama Gang MaruBatsu, ngelanjutin nulis novel (yang ditagih-tagih sama MY, editor yang suka ceng-in saya itu.. hehe), dan ya… pastinya kembali membayar untuk menggunakan fasilitas internet.. Dan sepertinya, itu yang paling menyedihkan π
Sepuluh hari di Jakarta telah memarnai hidup saya.
Ada rasa super excited ketika bertemu dengan Mbak Neph dan keluarganya yang sangat sayang sama saya… Mbak Ika (Bunda) dan Mas Dian (Ayah)… Mama dan Papa… Eyang Cantik a.k.a Mbak Atik… dan Dek Gupta (yang sekarang sudah besar dan lulus kuliah sehingga bikin saya ngerasa, “Anjrit, gua ini uda tua banget ya…” karena terakhir saya ketemu, dia masih yang bayi gitu.. hehe)
Ada rasa seneeeennngg banget ketika bertemu dengan The Asunaros: My Wonder Woman, EmiChan; Om Kesayangan Lala, Om NH18; Abangkuw, si Abang Hery Azwan… (ya, ya, ketemu kamu juga, MY… ntar kamu ngambek lagi nggak mau jadi editor saya.. hihihi.. azas manfaat banget nggak sih gua.. π )
Ada rasa maraaaahh banget ketika saya musti menghadapi kenyataan kalau si Orang Jelek itu menghilangkan jejak saya di Friendster-nya dan menolak untuk mengangkat telepon dari saya.. *hey, GR banget lu jadi orang..*
Ada rasa sediiiihhh banget karena saya nggak berani ketemu dengan mantan kekasih yang berkali-kali telepon dan mengirim sms, meminta untuk bertemu, tapi saya nggak mau… (Sorry ya, Be… I guess I wasn’t ready to know that you’re still have it…)
Lalu ada rasa kehilangaaaannn sekali ketika saya harus putus hubungan dengan orang terdekat yang pernah menjadi energi dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Energi saya dalam menulis novel. Energi saya dalam menulis blog. Juga energi saya untuk terus tersenyum.
He was my energy….
Mm.. no. He still is. (Sayang, you still owe me an explanation when I get back to Surabaya… Let’s have a dinner and talk this over, Ok…)
Ya…
Segala macam warna telah memberikan nuansa dalam hidup saya. Meski cuman sebentar. Meski hanya beberapa hari. Tapi itu sudah membuat saya sangat berat meninggalkan kota Jakarta yang sedikit demi sedikit saya cintai ini dan menimbulkan rasa bersalah karena saya membencinya dengan alasan yang salah.
It wasn’t Jakarta that I’m afraid of. Tapi kenangan-kenangan yang tak terlupakan meskipun mata terpejam. Kenangan yang tak penting untuk saya ingat terus dan recall in mind.
Now I know, Jakarta.
I have to stop having this feeling.
It’s not you… It’s all about myself… my own fight between my present and my past.
Sekarang saya akan mencoba untuk berbaikan denganmu.
Saya akan belajar untuk ‘memaafkan’mu.
Because you know what… this morning… when I have my packed bags in my hands… and see the friendly faces in this house… I have to say… It’s really … really hard… to say.. GOODBYE.
ps. I’ll see you again, Jakarta! Saya nggak akan pernah bosan untuk menjengukmu… π
Sudah tau kan betapa saya benci dengan kota Jakarta? Karena di kota canggih dan modern ini menyimpan sejuta kenangan saya dengan Orang Jelek yang memang benar-benar sudah lenyap di telan bumi. Sejak saya sampai di stasiun Jatinegara, minggu kemarin, yang terbayang adalah wajah si Orang Jelek dan wajah Pacar tercinta. Si Orang Jelek begitu jelas terbayang karena luka masa lalu yang menyisakan benci begitu dalam. Dan Pacar, begitu jelas terbayang karena saya bertengkar hebat dengannya ketika saya berangkat ke Jakarta.
Sampai di Jakarta, yang terbayang memang si Orang Jelek itu. Bagaimana tidak? The last time I came to Jakarta, dia adalah orang yang paling sibuk mengurus semua keperluan saya selama di Jakarta. Kasarnya, dia yang bertanggungjawab menerima saya di Jakarta dan bertanggung jawab pula mengembalikan saya sampai di Gambir. Saya masih ingat sosok tubuhnya yang tertimpa sinar matahari saat menjemput saya. Dia begitu menawan meskipun dia bilang kalau mandinya cepat-cepat karena musti menyusul saya pukul enam pagi. Argh… I still remember how he helped me carry all my bags and we walked together.
Dan ketika kemarin saya tiba di Jatinegara, bayangan itu yang muncul. Menggoda ketangguhan hati saya yang sudah berjanji bahwa saya akan melupakan dia. I have a boyfriend, now. Dan saya cinta sama dia.. (meskipun akhirnya kami harus berpisah karena menurut pacar, we have to end it before it’s killing us more!). Rasanya tidak etis kalau saya masih memikirkan orang lain ketika hati saya sepenuhnya milik seorang Pacar, my pianist, who made my life became like a merry go round, with beautiful songs as its soundtracks *remember that story, Cinta?*
Perjuangan untuk tidak menangis selama di Jakarta adalah cukup berat. Bagaimana tidak? Sepertinya segala jalan yang saya lewati bersama Mbak Neph adalah jalan kenangan saya dengan dia. Terlebih ketika saya menyusuri jalan-jalan di daerah Kelapa Gading, daerah tempat kosnya, di mana saya yang dulu begitu repot mengurus segala keperluannya di sana. Argh, saya nggak berani berkunjung, Orang Jelek. Karena saya takut ketemu kamu dan mungkin akan ‘kalap’ di sana… π
Itulah kenapa saya benci Jakarta.
Benci sekali karena once a while, ketika saya melihat sesuatu di luar kaca jendela mobil Mbak Neph, saya merasakan berjuta kenangan itu terputar kembali dalam benak saya secara otomatis. Menyakiti saya perlahan-lahan. Menggerogoti kekuatan saya. Membuat saya merapuh seketika.
Kebencian saya semakin menjadi-jadi ketika saya berusaha meneleponnya dan dia masih saja mendiamkannya. Hey. Marahkah kamu sama aku, Orang Jelek??? Bukankah kamu yang selingkuh lalu berencana kawin dengan orang lain?? Kenapa sekarang aku yang jadi seperti orang sinting dan seolah ngarep banget?? Damn.
Arrrgghhh…
I really really hate it. Benci yang amat sangat. Pingin saya ‘kruwes-kruwes’ mukanya dengan kalap… Haha.. ini sudah anarkis, Lala. Stop it.
Tapi itukah yang membuat saya masih menulis blog dengan internet gratisan pada hari menjelang pukul satu pagi ini?
Ow tidak…
Bukan itu.
Bukan itu.
Kamu tahu kenapa saya ketik “NOW I HATE YOU MORE!” di kolom judul di atas???
Well..
Ini karena…
Ketika kunjungan saya di Jakarta sekarang ini…
Saya berpisah dengan Pacar yang sangat saya cintai.
I know, bukan salah Jakarta.
Ini hanya waktu yang memilih ketika saya ada di Jakarta dan Pacar menyudahi semua yang kami miliki ini…
Now, you see why I hate Jakarta even more?
Because it reminds me of my heartache, once again… π¦
Kamu pernah saya ceritain soal JB? Pacar pertama yang di dalam tubuhnya mengalir banyak darah itu, lho? Ada Bali-nya, ada Chinese-nya, ada Itali-nya itu? Remember him? Iya, yang sekarang sedang kuliah S2 di San Francisco itu.. dan yap… yang pernah ngacak-ngacak hidup saya selama tiga tahun lalu pergi setelah saya gave up dengan ‘ketidakspesialan’ saya itu… Okay. Baca posting yang ini nih, biar inget lagi.
Nah..
Udah baca kan? Udah ring a bell belum siapa laki-laki yang menjadi sumber inspirasi posting kali ini? Okay. Saya asumsikan kamu semua sudah klik link itu dan balik ke sini, jadi saya mulai aja ceritanya.
JB adalah pacar pertama saya. Pertama kali kenal sama komitmen pacaran, ya sama cowok ganteng ini. Dulunya, saya sekedar gebet sana gebet sini. Baru sama JB saya akhirnya ‘terperangkap’ untuk mau aja jadi pacarnya. Haha… sumpah, saya ini bukan tipe orang yang setia dengan pasangan. Tapi entah kenapa, kalau dengan JB, biar kata dibatasi dengan jarak yang ratusan kilometer itu, saya selalu setia sama dia. Sampai tiga tahun lho, Sodara-Sodara… Cukup amazing untuk amatiran seperti sayaΒ kan? *saat itu sih, sekarang kan udah canggih banget… hehehe*
Kenapa tiba-tiba saya cerita soal JB?
Well… ini karena, sepulang dari TIS Square makan Pizza Hut bareng Mbak Neph (setelah sesorean tadi makan all you can eat di Hotel Mulia, Senayan bareng EmiChan, yang pastinya pas baca posting ini langsung geleng-geleng kepala sambil bilang, “Gila ini anak.. Makannya banyak banget..” hehe), kami mampir dulu ke tempat cuci mobil deket rumah yang 24 jam itu.
Mobil Mbak Neph emang lagi bulukan banget deh. Tebel banget debunya. Nggak pantes ah, isinya orang cantik-cantik semua *baca=Lala dan Mbak Neph.. hehe* tapi kok mobilnya kotor. Ntar orang-orang pasti berebut nyuciin mobil Mbak Neph tiap berhenti di lampu merah dong.. hehe
Saat menunggu mobil Mitsubishi Lancer Mbak Neph dicuci sampai cling-cling, saya duduk di dekat satu cowok yang mukanya familiar banget. Kayak pernah kenal. Kayak pernah ketemu di manaaaaa gitu. Mukanya mirip siapa ya?
Si cowok ganteng itu sedang asyik mainin hp-nya. Asyik ngobrol dengan fitur 3G dan ketawa ketiwi nggak jelas. Tapi entah kenapa, saya tertarik untuk melihat cowok ini lebih serius. Hell, yang ada di dalam pikiran saya, ini cowok mirip siapa ya?
Saya colek deh si Mbak Neph, sambil bilang, “Mbak Neph… ini cowok kayak siapa sih?”
Mbak Neph ikutan celingukan. “Sapa ya? Nggak tau deh, Jeung.. Kayak sapa, emang?” Lah, si Mbak. Kalau saya tau, ngapain saya nanya coba.. Ada-ada ajah.
Tapi.. sebentar.. sebentar… Saya celingukan lagi. Mengamati lagi. Lebih fokus. Lebih detil. Lebih pake hati *cieeh, romantiz amat liatnya pake hati segala, lu, Laa…* Dan.. ah… iya.. iya.. itu kannn..
“Kayaknya dia itu si JB, deh, Mbak…”
Mbak Neph pun langsung menoleh dan ikutan mengamati. “Hah? Si JB? Yang dulu ketemuan di Senayan itu, kan?”
“Iya… Si JB yang itu…”
“Lah, bukannya dia udah kemana gitu, kata kamu Jeung…”
“Nah itu dia. JB kan lagi di San Francisco ambil S2. Tapi kapan hari gua ceting sama dia, JB bilang lagi ada di Jakarta.. Pulkam gitu deh…”
“Ya tegor aja, Jeung…”
“Hah? Tegor? Gila ajah, Mbak. Iya kalo dia. Kalo bukan? Tengsin kan gua?”
Dan FYI, sepanjang percakapan ini, si JB Gadungan itu pake acara plirak plirik ke arah kami. Ini bukan karena dia naksir, tapi karena suara saya dan Mbak Neph emang disetel volume yang paling kenceng.. hehe..
“Yaaa… cuek aja lagi, Say… Ntar nyesel lho.. Sapa tau emang bener itu dia…”
JB bukan sih? Dari wajahnya sih, mirip banget. Kulitnya memang lebih gelap, tapi perawakannya sih JB banget. Tinggi besar. Gaya sok coolnya juga so very JB. Geez, saya benar-benar kepikiran untuk motong urat malu dan sok pede aja nyapa dia.
Tapi ternyata..
Meskipun si JB Gadungan itu beberapa kali mencuri pandang, meskipun saya hampir saja nekat untuk duduk di sampingnya dan bertanya, “mmm… excuse me… JB bukan, sih?” meskipun sumpah, semua kenangan tiga tahun bersama JB seakan-akan balik kembali dalam angan saya, tapi…
I didn’t have the balls to say it. I didn’t have any guts to say it out loud.
And then the moment’s gone…
Mobil Mbak Neph menjauhi tempat cuci mobil itu, meninggalkan seorang cowok ganteng yang masih sempat melihat saya dengan wajah penuh question marks *mungkin heran, ini ada cewek aneh liatin dia gitu.. hehe*, dan membuat saya sampai detik ini masih bertanya-tanya.
… what if he was really my first boyfriend?
… what if he was really JB?
Dan sampai sekarang, saya masih terus mengulang pertanyaan-pertanyaan itu. Uuuhhh… Kalau udah beginiiii aja, urat malunya lagi sehat-sehatnya. Coba kalau lagi barengan sama Gang Gila, udah merah padam kali wajah si JB gadungan itu karena saya bakal dengan malu-maluin duduk di sampingnya dan sok kenal ajah… π
So JB…
Kalau elu iseeeennggg baca blog gua ini… Coba deh gua mau nanya. Hari Senin malem,Β tanggal 28 Juli 2008, sekitar jam sembilanan, elu ada di mana? Kalau emang elu lagi nyuci mobil di daerah Kalimalang, FYI nih.. cewek yang tadi pake bolero pink, daleman pink, dan rok jeans itu.. yang tadi ngelirik elu dengan segitu nepsongnya itu…. mantan cewek elu! Iya. Gua. Lala. Inget kan? Take care ya, JB.. Give my regards to Mama, Scar dan Rich… π
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*