Kemana perginya cinta? Menggali di kedua bola matanya, mencari di senyumnya.. Sudah, cinta tak lagi ada. Lantas kemana?
Kemana perginya cinta? Sentuhannya buatku terasa hambar, sentuhanku buatnya terasa tawar. Sudah, tak lagi ada cinta. Kemana?
Kemana perginya cinta? Ketika dulu berdiri di sampingnya sudah membuat jantungku meloncat kuat, kini biasa. Tak lagi ada cinta. Kemana?
Benarkah cinta bisa lenyap dari hati, menguap saat mentari bersinar terlampau terik, atau kadaluarsa di suatu masa?
Atau sesungguhnya cinta tidak pergi kemana-mana; sembunyi saja sampai ia ingin ditemukan kembali, suatu masa nanti?
Aku. Lelaki itu. Entah kemana perginya cinta yang pernah ada. Benarkah berlari? Mungkinkah bersembunyi?
Ah, mungkin cinta bisa berubah rasa. Dari yang terlalu manis, sampai kehilangan rasanya.
Cinta tidak pergi kemana-mana sepertinya. Tidak pula sembunyi. Ia hanya berpindah ke ruang lain di hatiku. Untuk lelaki lain, bukan lelaki itu.
Selamat datang, cinta yg baru! Jangan berpindah-pindah dulu. Semoga selamanya kamu di situ. Bertahan lebih lama, di situ. Ya?
Aku bukan perempuan yang sempurna.
Bukan seperti kebanyakan perempuan yang ada di dekatmu, memanjakanmu, tertawa bersamamu, menghabiskan waktu denganmu, lalu terkadang kau kecup pipinya di saat kalian berpisah.
Aku bukan perempuan yang sempurna.
Bukan seperti kebanyakan perempuan yang begitu cantik, yang bisa membuatmu merasa beruntung menjadi seorang lelaki karena berhasil mendapatkan seorang perempuan yang membuat lelaki-lelaki memandangmu iri.
Aku bukan perempuan yang sempurna.
Yang masih belepotan kalau makan es krim, yang sering menumpahkan isi cangkir kopi susuku, yang ponselnya sering terjatuh tanpa sengaja sampai ponselku tak lagi mulus padahal baru dibeli sebulan yang lalu, yang isi lemarinya berantakan karena aku sering tak peduli dengan kerapian. Continue reading
Masih ingat apa yang dibilang orang-orang (bisa keluarga, teman, sahabat) ketika kita sedang jatuh cinta dengan seseorang?
“Jangan kasih seratus persen, deh… Sisain buat kamu sendiri supaya nggak terlalu sakit kalau ternyata musti udahan…”
“Beri lima puluh persen saja, sisanya buat kamu…”
“Gimana kalau kamu beri dia dua puluh persen? Perlahan-lahan tambahkan beberapa persen, tapi jangan sampai seratus!”
So, are you familiar with these sayings? Tentang berhati-hati saat ‘menginvestasikan’ hati kamu pada seseorang? Sekadar jaga-jaga saja agar kamu tidak perlu kalah dan mendadak bangkrut karena kehilangan semuanya? Don’t put every thing in the table for you might end up losing every thing? Continue reading
Sudah berhari-hari aku dingin. Tanpa pelukan. Tanpa rangkulan. Yang ada hanya putaran-putaran kenangan masa silam yang makin lama makin tipis dan tajam mengiris relung-relung hatiku, terbitkan sembilu pahit. Aku kangen pacarku, kangen kamu. Seperti tak tersentuh, rasanya ingin menangis saja. Air mata seolah berebut turun mengalir mencari muaranya. Aku sakit, aku membeku. Kamu, membuatku, perasaanku, jiwa dan batinku, dingin dan membeku. Continue reading
It’s a song, last nite…
Darling, I’m so blue without you
I think about you the live-long day
When you ask me if I’m lonely
Then I only have this to say
“You’ll never know just how much I miss you
You’ll never know just how much I care
And if I tried, I still couldn’t hide my love for you
You ought to know, for haven’t I told you so
A million or more times?
You went away and my heart went with you
I speak your name in my evry prayer
If there is some other way to prove that I love you
I swear I dont know how
You’ll never know if you don’t know no
You’ll never know just how much I miss you
You’ll never know just how much I care
You said good-bye, no stars in the sky refuse to shine
Take it from me, it’s no fun to be alone
With moonlight and memories …”
(YOU’LL NEVER KNOW, Frank Sinatra)
… when I thought about you, about us, about our fights, our tears, our jealousy… And I couldn’t sleep and couldn’t wait to make up and say sorry…
Ah, I just love you.. that’s all.
With my weird and annoying ways… 😀
Home.
Buat saya, kata home memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan house, karena… tidak semua houses disebut home… Tidak sembarang rumah, bisa dibilang a place where you belong. Seperti yang pernah saya rasakan pada rumah saya sendiri, ketika rumah adalah seperti bangunan dingin tanpa cinta dan saya musti berlari-lari mencari kehangatan rumah lain, a place that I could feel more comfortable enough. Hm, proses berlari-lari yang ternyata menguras energi saya dan membuat saya tersenyum sendiri, karena.. there’s no place like home… Ya. Bangunan dingin yang akhirnya saya penuhi lagi dengan cinta, karena saya menginginkannya.
Yes… this house that I’m living right now is a place that I called home.
Setiap kelupasan catnya adalah kenangan yang tak terulang kembali.
Setiap anak tangganya adalah sejarah yang tak terbeli.
Setiap detil dalam bangunan di rumah saya, adalah kasih sayang seorang Ayah yang ingin melindungi tiga anak-anaknya dan seorang Istri yang semasa hidupnya telah menunggu Suaminya dengan kesetiaan yang amat sangat.
Dan saya memang telah pulang.
Ke pelukan rumah yang sekarang menghangat sejak kehadiran dua orang manusia; seorang Kakak yang sempurna dan Istrinya yang bawelnya setara sama saya 🙂 After six whole years I spent running and running… I’m finally home…
Ya.
I’m home.
Ke sebuah benda, tempat, dengan definisi yang jauh lebih tinggi derajatnya ketimbang tempat biasa. Ke sebuah rumah hasil kerja keras seorang Ayah, dua puluh tahun yang lalu. Ke sebuah tempat yang menyimpan banyak tawa, sedih, dan sejuta rasa lainnya. To a house that I called home.
Tapi perjalanan itu belum usai…
Belum lagi selesai.
Ketika bertumbuh semakin besar, ketika usia semakin menghabis karena gerusan waktu… mulai tumbuh pikiran ini dalam isi kepala saya.
Bagaimanapun hangatnya rumah ini… tetap saja… it isn’t mine…
Mungkin, di usia menjelang tiga puluh ini (OK, OK, in the next one year and 5 months), saya bebas tinggal di sini… Bebas bangun jam berapa saja… Bebas pulang larut malam (meskipun harus ijin dan biasanya selalu lolos-lolos saja)… Bebas untuk tidak tidur dan mewujudkan imajinasi dalam rangkaian kata-kata… I can do most of everything that I want. Tapi tetap saja… it isn’t mine…
Berkompromi dengan keluarga apakah boleh memelihara kelinci, my favorite living creature beside human (or men.. hihi)… Bolehkah mengundang teman lelaki untuk menginap di rumah (idih, maksudnya La?? hihi)… Siapa yang harus bayar gaji pembantu… Dan sejuta kompromi lainnya…
Argh, how I wish I could buy my own house…
Sebuah rumah… takperlu dengan dimensi ruang yang besar dan menghebohkan seperti istana… tapi cukup yang mungil-mungil saja. Dengan halaman yang super luas dan teduh dengan pepohonan… Dengan kandang kelinci dan anjing… Dengan kolam renang dan kebun buah-buahan yang bebas petik… Ya, ya. Sebuah rumah di daerah yang masih hijau atau bahkan di pedesaan sekalian… Tempat saya menghabiskan waktu dan mencari inspirasi untuk menulis…
Tapi, tapi…
Is that house gonna be a home for me?
Rumah idaman, rumah yang berasal dari imajinasi seorang saya tentang konsep kesempurnaan, masih dari kacamata seorang Lala?
Mungkinkan kesempurnaan perwujudan imajinasi itu bisa menjamin langkah-langkah saya untuk segera pulang, setelah menghabiskan berjam-jam waktu di kantor, di tempat warung kopi yang tidak murah, ke mal-mal yang tidak pernah sepi bahkan saat lebaran?
Hmmm…
Then I remember one thing.
Rumah yang saya tinggali sampai hari ini adalah rumah yang sederhana saja. Tidak mewah. Tidak memiliki halaman yang luas. Beberapa bagian dindingnya masih terhiasi dengan cat-cat yang terkelupas dan butuh untuk segera direnovasi. It’s twenty years old now. Rumah yang cukup tua.
Tapi kenapa saya bisa menyebutnya sebagai home instead a house?
Karena di situ… saya merasakan hangatnya cinta… yang ada dalam setiap canda tawa Bro… yang ada dalam setiap omelan panjang pendek Mbak Ira… yang ada dalam setiap ketukan di pintu kamar tiap pagi hari oleh seorang Bro yang gemas karena adiknya yang gembul ini molor melulu… 🙂
Ya. Hangatnya cinta itu yang membuat saya bisa dengan bangganya mengatakan bahwa I am home.
Lalu, lalu…
It got me thinking…
No matter how perfect your house…
No matter how small it is… or how bad is the condition…
No matter that it is rented or its yours…
I always believe, that a picture perfect of a place that we called home is…
a house…
any kind of houses…
that filled with so much love.
So, have you found one? 🙂
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*