Di suatu sore, saya menunggu kakak ipar saya, Mbak Ira, yang masih belum turun dari lantai tiga sebuah gedung Bank, tempatnya mengais rejeki dari Senin sampai Sabtu. Berdua dengan kakak saya, Bro, seperti biasa, kami menunggu di dalam sedan hijaunya, menyetel musik dari stereo setnya, lalu bernyanyi-nyanyi bersama. Sudah bukan rahasia kalau anak-anak Mami dan Papi adalah ‘penyanyi kamar mandi’ semua, sehingga sering sekali kami melewatkan waktu dengan nyanyi-nyanyi gila barengan.
Namun ada yang berbeda dengan sore itu, ketika saya memutuskan untuk merekam suara saya dan Bro dengan ponsel saya. Saat itu, kebetulan lagu-nya Maliq & D’Essential, Untitled, yang terputar dari MP3 playernya. Aksi pertama memang diam-diam, karena Bro sebetulnya nggak suka hal-hal yang narsis seperti ini. Tapi entah, saat itu dia kesambit setan apaan, karena begitu tahu kalau suaranya direkam, dia malah makin asyik bernyanyi dengan suara sok dimerdu-merduin! π Continue reading
Memang sangat menyenangkan menjadi seorang bocah!
Pikiran ini terbersit karena seorang sahabat blogger, Uda Vizon, menempelkan video klip lagu Indra Lesmana yang bercerita tentang masa kecilnya yang menyenangkan di halaman Facebook-nya. Indra dewasa kangen dengan Indra kecil yang setiap hari selalu bermain, berlari, berputar, menari… Tsah! Seneng banget nggak, sih?
Sekonyong-konyong, saya teringat kembali dengan masa kecil saya. Seperti deskripsi Indra di lagunya, saat masih kanak-kanak dulu, tiada hari yang terlewatkan tanpa bermain… Ya. Bermain.
Kemudian, hm.. berlari-lari di jalanan, entah untuk bermain gobak sodor atau benteng-bentengan. Kompak dengan anak-anak tetangga yang ramainya menyurut ketika Maghrib tiba.
Lalu berputar-putar sambil menari… Ugh yeah! Dengan tubuh yang montog dan menggemaskan ini, saya dulu adalah seorang penari yang selalu mengisi acara tujuhbelasan sampai Porseni, dari tingkat lokal sampai internasional! Haha, bukan, saya bukan dikirim ke luar negeri, tapi saya selalu mewakili sekolah dengan menari di sekolah internasional Jepang dan menari dengan kawan-kawan saya.
It was fun!
Bermain..
Berlari..
Berputar..
Menari…
Hampir setiap hari!
Betapa menyenangkannya menjadi bocah, kan?
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*