Beberapa jam yang lalu, saat makan siang di food court sebuah Mal bersama Mbak Pit, kakak perempuan saya, berikut dengan rombongan sirkus kecilnya, tiba-tiba kakak saya itu nyeletuk, “Kebayang nggak, sih, Mbhienk (oh ya, ‘Mbhienk’ adalah panggilan kesayangan Mbak Pit buat saya), kalau di suasana yang seramai ini, tiba-tiba ada bom yang meledak?”
Pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutnya yang masih belepotan dengan menu makan siangnya tadi; bebek goreng dan nasi putih yang hangat.
Saya bengong sejenak.
Dia melanjutkan lagi, “Kamu tahu, kan, kalau bom yang di Jakarta itu dipasangin mur-mur yang punya efek melukai ketika bomnya meledak?”
Oh tentu. Tentu. Saya melihat beberapa tayangan televisi yang memuat cuplikan rekaman pita cameraman tentang sebuah laptop yang berisi bom berikut dengan mur-mur yang sudah ditata sedemikian rupa itu.
“Gimana, ya, Mbhienk, kalau seandainya itu kejadian di sini? Saat kita lagi makan siang enak-enak begini, becandaan begini, ketawa ketiwi begini.. tau, tau… bom meledak?”
Oh, my Dear Sister. Bisa nggak, sih, ngasih pertanyaan yang nggak mengerikan seperti itu? Karena, sumprit, Mbak… Adikmu ini langsung ngeri sendiri! Continue reading
Tahun ini, Indonesia bakal menggelar beberapa fantastic events.
Tahu nggak, event apa saja?
Mmm…
Java Jazz 2009? Yang tahun kemarin saya pingin banget datang ke sana tapi dilarang sama dompet dan perusahaan kartu kredit itu? 🙂
Pemilihan caleg DPRD dan DPR lalu diikuti dengan Pemilu 2009 yang memperebutkan gelar Presiden periode 2009-2014? *eh, masih lima tahunan, kan? soalnya kan sering banget tuh, belum lima tahun udah dilengserin duluan… hehehe*Â
Atau pernikahannya si Titi Kamal sama Christian Sugiono, yang dikabarkan bakal menikah tahun ini di Australia karena beda agama? *idih, penting ya, La, infotainment banget….*
Atau mungkin pernikahnnya jeung Lala Purwono  sama cowok yang belum bisa disebut namanya itu? *yah gimana bisa nyebut nama cowok itu, wong wujudnya aja belom ada, gemana seehhh!!! wekekekekeke…* Continue reading
Jakarta.
Jakarta.
Kota yang pernah saya takutkan itu akan saya tinggalkan, pagi ini. Dengan kereta Argo Anggrek pukul 9.30 pagi yang akan membawa saya kembali pulang ke pelukan keluarga tersayang. Artinya: kembali pada rutinitas lama… ngantor, ketemuan sama Gang Gila, ketemuan sama Gang MaruBatsu, ngelanjutin nulis novel (yang ditagih-tagih sama MY, editor yang suka ceng-in saya itu.. hehe), dan ya… pastinya kembali membayar untuk menggunakan fasilitas internet.. Dan sepertinya, itu yang paling menyedihkan 😀
Sepuluh hari di Jakarta telah memarnai hidup saya.
Ada rasa super excited ketika bertemu dengan Mbak Neph dan keluarganya yang sangat sayang sama saya… Mbak Ika (Bunda) dan Mas Dian (Ayah)… Mama dan Papa… Eyang Cantik a.k.a Mbak Atik… dan Dek Gupta (yang sekarang sudah besar dan lulus kuliah sehingga bikin saya ngerasa, “Anjrit, gua ini uda tua banget ya…” karena terakhir saya ketemu, dia masih yang bayi gitu.. hehe)
Ada rasa seneeeennngg banget ketika bertemu dengan The Asunaros: My Wonder Woman, EmiChan; Om Kesayangan Lala, Om NH18; Abangkuw, si Abang Hery Azwan… (ya, ya, ketemu kamu juga, MY… ntar kamu ngambek lagi nggak mau jadi editor saya.. hihihi.. azas manfaat banget nggak sih gua.. 🙂 )
Ada rasa maraaaahh banget ketika saya musti menghadapi kenyataan kalau si Orang Jelek itu menghilangkan jejak saya di Friendster-nya dan menolak untuk mengangkat telepon dari saya.. *hey, GR banget lu jadi orang..*
Ada rasa sediiiihhh banget karena saya nggak berani ketemu dengan mantan kekasih yang berkali-kali telepon dan mengirim sms, meminta untuk bertemu, tapi saya nggak mau… (Sorry ya, Be… I guess I wasn’t ready to know that you’re still have it…)
Lalu ada rasa kehilangaaaannn sekali ketika saya harus putus hubungan dengan orang terdekat yang pernah menjadi energi dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Energi saya dalam menulis novel. Energi saya dalam menulis blog. Juga energi saya untuk terus tersenyum.
He was my energy….
Mm.. no. He still is. (Sayang, you still owe me an explanation when I get back to Surabaya… Let’s have a dinner and talk this over, Ok…)
Ya…
Segala macam warna telah memberikan nuansa dalam hidup saya. Meski cuman sebentar. Meski hanya beberapa hari. Tapi itu sudah membuat saya sangat berat meninggalkan kota Jakarta yang sedikit demi sedikit saya cintai ini dan menimbulkan rasa bersalah karena saya membencinya dengan alasan yang salah.
It wasn’t Jakarta that I’m afraid of. Tapi kenangan-kenangan yang tak terlupakan meskipun mata terpejam. Kenangan yang tak penting untuk saya ingat terus dan recall in mind.
Now I know, Jakarta.
I have to stop having this feeling.
It’s not you… It’s all about myself… my own fight between my present and my past.
Sekarang saya akan mencoba untuk berbaikan denganmu.
Saya akan belajar untuk ‘memaafkan’mu.
Because you know what… this morning… when I have my packed bags in my hands… and see the friendly faces in this house… I have to say… It’s really … really hard… to say.. GOODBYE.
ps. I’ll see you again, Jakarta! Saya nggak akan pernah bosan untuk menjengukmu… 🙂
Sudah tau kan betapa saya benci dengan kota Jakarta? Karena di kota canggih dan modern ini menyimpan sejuta kenangan saya dengan Orang Jelek yang memang benar-benar sudah lenyap di telan bumi. Sejak saya sampai di stasiun Jatinegara, minggu kemarin, yang terbayang adalah wajah si Orang Jelek dan wajah Pacar tercinta. Si Orang Jelek begitu jelas terbayang karena luka masa lalu yang menyisakan benci begitu dalam. Dan Pacar, begitu jelas terbayang karena saya bertengkar hebat dengannya ketika saya berangkat ke Jakarta.
Sampai di Jakarta, yang terbayang memang si Orang Jelek itu. Bagaimana tidak? The last time I came to Jakarta, dia adalah orang yang paling sibuk mengurus semua keperluan saya selama di Jakarta. Kasarnya, dia yang bertanggungjawab menerima saya di Jakarta dan bertanggung jawab pula mengembalikan saya sampai di Gambir. Saya masih ingat sosok tubuhnya yang tertimpa sinar matahari saat menjemput saya. Dia begitu menawan meskipun dia bilang kalau mandinya cepat-cepat karena musti menyusul saya pukul enam pagi. Argh… I still remember how he helped me carry all my bags and we walked together.
Dan ketika kemarin saya tiba di Jatinegara, bayangan itu yang muncul. Menggoda ketangguhan hati saya yang sudah berjanji bahwa saya akan melupakan dia. I have a boyfriend, now. Dan saya cinta sama dia.. (meskipun akhirnya kami harus berpisah karena menurut pacar, we have to end it before it’s killing us more!). Rasanya tidak etis kalau saya masih memikirkan orang lain ketika hati saya sepenuhnya milik seorang Pacar, my pianist, who made my life became like a merry go round, with beautiful songs as its soundtracks *remember that story, Cinta?*
Perjuangan untuk tidak menangis selama di Jakarta adalah cukup berat. Bagaimana tidak? Sepertinya segala jalan yang saya lewati bersama Mbak Neph adalah jalan kenangan saya dengan dia. Terlebih ketika saya menyusuri jalan-jalan di daerah Kelapa Gading, daerah tempat kosnya, di mana saya yang dulu begitu repot mengurus segala keperluannya di sana. Argh, saya nggak berani berkunjung, Orang Jelek. Karena saya takut ketemu kamu dan mungkin akan ‘kalap’ di sana… 🙂
Itulah kenapa saya benci Jakarta.
Benci sekali karena once a while, ketika saya melihat sesuatu di luar kaca jendela mobil Mbak Neph, saya merasakan berjuta kenangan itu terputar kembali dalam benak saya secara otomatis. Menyakiti saya perlahan-lahan. Menggerogoti kekuatan saya. Membuat saya merapuh seketika.
Kebencian saya semakin menjadi-jadi ketika saya berusaha meneleponnya dan dia masih saja mendiamkannya. Hey. Marahkah kamu sama aku, Orang Jelek??? Bukankah kamu yang selingkuh lalu berencana kawin dengan orang lain?? Kenapa sekarang aku yang jadi seperti orang sinting dan seolah ngarep banget?? Damn.
Arrrgghhh…
I really really hate it. Benci yang amat sangat. Pingin saya ‘kruwes-kruwes’ mukanya dengan kalap… Haha.. ini sudah anarkis, Lala. Stop it.
Tapi itukah yang membuat saya masih menulis blog dengan internet gratisan pada hari menjelang pukul satu pagi ini?
Ow tidak…
Bukan itu.
Bukan itu.
Kamu tahu kenapa saya ketik “NOW I HATE YOU MORE!” di kolom judul di atas???
Well..
Ini karena…
Ketika kunjungan saya di Jakarta sekarang ini…
Saya berpisah dengan Pacar yang sangat saya cintai.
I know, bukan salah Jakarta.
Ini hanya waktu yang memilih ketika saya ada di Jakarta dan Pacar menyudahi semua yang kami miliki ini…
Now, you see why I hate Jakarta even more?
Because it reminds me of my heartache, once again… 😦
Seorang teman baik yang rumahnya jadi ‘posko’ selama saya eksodus ke Jakarta (dibilang eksodus karena saya emang lagi fucked up dengan suasana di Surabaya dan sekaligus ketemu dengan The Asunaros, pastinya), langsung berteriak kegirangan ketika saya nanya via telepon, dua minggu yang lalu, “Eh, selama gua di Jakarta, boleh nginep di rumah Mbak, kan?”
Mbak Neph langsung dengan girangnya bilang, “Wahh.. asyik.. ya boleh dong Jeung.. Nginep ajaaahhh….”
Dan yang bisa saya tebak sebelumnya, Mbak Neph langsung nyamber dengan kalimat ini, “Eh, ntar kalau gitu kita dugdug ya?”
Hm.. Apa itu dugdug?
Tadinya saya nggak tahu dan nanya dengan begonya, “Dug-dug itu apaan sih, Mbak?”
Dan oalah.. yang dimaksud DugDug itu…. “Dugem, Cayankku… Dugdug itu artinya dugem.. Iseng aja gue bikin istilah gitu…”
Nah. Berhubung saya cuman tamu yang nginep gratis dan kemana-mana dianterin, tentu saya nggak enak ati juga kalau nolak permintaan dia. Eh, ini karena unsur kesopanan dan tata krama dong. Apalagi cuman sekedar dugdug. Bukan yang disuruh nyemplung sumur, kan? Jadi masih okay lah…
Malam minggu kemarin saya DugDug di X2, Senayan. Setelah meluncur dari rumah EmiChan (detil soal ini, di bagian cerita yang lain ya?), mengantarkan sahabat maya *ups, she’s for real now.. hehe*Â dan anaknya yang super luthu uthu uthu itu, saya, Mbak Neph dan Eneng langsung ke X2. Saat itu masih pukul sebelas lewat sedikit. “Ah, ngepel lanteinya nih kita…” kata Mbak Neph sambil mengurangi laju mobilnya. Maksudnya sih membunuh waktu.
Setelah kami puas ngobrol-ngobrol di dalam mobil (masih usaha killiing time), kami pun segera berjalan menuju lift yang bakal membawa kami sampai ke X2. Di situ saya mulai ngerasa “not belong there“. Kenapa? Hm.. ini karena, ketika saya menunggu lift dengan dua orang teman saya itu, ada beberapa orang lagi dengan penampilan super heboh. Three girls with sexy dresses. Sumpah, yang kebayang langsung scene demi scene di film Sex and The City deh! Mereka tidak terlihat cantik… tapi sumpah, seksi abis. Mbak Neph, saya, dan Eneng yang saat itu tampil standar banget alias kaos dan celana jeans langsung berbisik-bisik setelah ketiga perempuan itu berjalan mendahului kita saat keluar dari lift.
“Eh.. niat banget ya…” kata Mbak Neph.
“Gila, sampai ‘itu’nya tumpah semuah…” si Eneng. Dan yang dimaksud dengan ‘itu’ adalah ‘itu tuh’ *hehe, silahkan gunakan daya imajinasi kamu, ya…*
Dan apa yang saya komentari?
“Eh, keren banget ya bajunya…” Eventhough, maaf-maaf aja ya, saya sih merasa they were there for something… ya, that ‘something‘.
Saat masuk ke dalam spot yang lagi happening di Jakarta dan dibandrol seharga 100rebu dengan free first drink itu, saya langsung menyadari bahwa there was no live performance… I mean, band performance. Di situ hanya ada tiga ruangan dengan tiga orang DJ yang masing-masing bertugas untuk meramaikan suasana.
Hah…
DJ?
Just DJs? All nite long? Dengan musik yang jedak jeduk nggak penting dan nggak bakal berhenti sampai pukul empat pagi itu?
Huahh… rasanya pingin segera kabur saja dari sana…
Ditambah pula, karena nggak ada tempat duduk (dan katanya, musti bayar beberapa juta lagi supaya bisa dapet tempat di sofa yang bikin ngiler orang-orang yang kakinya gampang pegel seperti saya ini), saya harus rela serela-relanya untuk berdiri terus sambil mencoba untuk menikmati suasana.
APA YANG NIKMAT, YA???
Kalau yang lain bisa ‘kalap’ dan langsung goyang badan saat mendengar musik yang dipandu DJ perempuan yang super seksi itu, saya malah bengong aja sambil nyari tempat buat sandaran. Si Eneng pun bernasib sama. Dia ikutan nyender di tembok dan bengong aja melihat fashion on the street itu.
Sumpah.
Saya seperti melihat hutan rimba 😦
Dengan perempuan-perempuan yang nyaris ‘telanjang’…
Dengan laki-laki yang sibuk menggerayangi perempuan-perempuan mereka…
Dengan egolan dan goyangan badan yang nggak jelas…
Sambil merem melek pula…
Sambil mabok pula…
Dan rokok. Ya rokok. Batangan nikotin itu terselip hampir di semua jari pengunjung, laki-laki dan perempuan, dan asapnya berhembus dari mulut mereka seolah nikmat banget. Bikin polusi, apalagi ruangan berAC dan super crowded.
There.
Exactly the next one hour… saya memilih untuk ‘jahat’ dengan Mbak Neph lalu minta ijin untuk menunggu di luar bareng si Eneng yang matanya mulai berkunang-kunang (hey, we’re not drunk. Saya hanya pesan pineapple juice, Eneng dengan lychee juice, lalu sedikit alkohol untuk Mbak Neph). Ini bukan karena saya sudah males banget melihat ‘kelakuan rimba’ di depan mata saya itu *ah, ini kan urusan mereka, bukan urusan saya..*, tapi karena mata saya sudah mulai berair akibat adanya asap rokok di mana-mana.
Setelah Mbak Neph bertemu dengan satu temannya yang lain, barulah saya ‘tega’ meninggalkan Mbak Neph. Saya dan Eneng pun berjalan ke luar dengan hati yang riangnya nggak ketulungan. Huaaaahh.. paru-paru saya ikut berteriak kegirangan. Cenangnya.. cenangnya bisa nafas enak lagi.. Mungkin itu kata si Paru-Paru saya 🙂
Begitu sampai di luar dan menunggu di kursi-kursi kayu yang membentuk lingkaran itu, saya baru sadar kalau ternyata, banyak sekali yang ‘tepar’ seperti saya. Duduk di luar dengan pandangan mata lelah. Ada yang nyender di kursi. Ada yang melipat kaki. Ada yang ngantuk-ngantuk sambil memainkan ponsel.
Dan ya…
Ada mereka-mereka ini:
…satu orang anak perempuan, masih belasan tahun, dibopong seorang anak laki-laki seumuran dia yang saya asumsikan itu adalah pacarnya.. si perempuan tidak sadarkan diri… sedang mabok… Gemesnya, begitu dia didudukkan di sebelah si lelaki, beberapa temannya malah dengan usilnya mengambil photo dan bilang begini, “Ah, ntar gua masukin friendster nih…”
…segerombolan laki-laki dengan dua orang perempuan yang keluar dari X2 sambil ketawa ketiwi mabok… persis di dekat saya, tiba-tiba si perempuan maen jatuh aja dan teman-temannya malah ketawa ketiwi lagi… Dan ya, perempuan itu mungkin mabok dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk berdiri.
…sepasang Om-Om duduk di belakang Eneng dan temen saya itu mencuri dengar sedikit percakapan mereka. Apa isi percakapannya? Hold your breath… karena Om itu bilang begini, “Eh, gua tadi pegang-pegang pa****ra cewek lho… Gua remes sekalian…” Damn! Binatang sekali sih!!!
AAARRRRRGGGHHHHH!!!
I really hate to see it.
And deep down inside, saya berkali-kali bilang, “Amit-amit jabang bayi, deh, jangan sampai anak gua senakal itu…” Dan jangan pula, senakal emaknya ini! 🙂
Sambil menunggu Mbak Neph, saya dan Eneng akhirnya tertidur di kursi. Pules banget deh, meskipun begitu bangun, leher langsung pegel-pegel dan kaki kesemutan. Bangun-bangun sudah setengah tiga pagi dan melihat Mbak Neph berjalan ke arah kami dan mengajak pulang.
THANKS GOD! Akhirnya pulang juga.. hehe
On our way home… I thought about this thing.
Ya, saya tahu kalau X2 tidak akan menjadi my favorite spot. Ya, 100rebu dengan gratis sekali minum itu not worthy at all untuk mata belekan dan hidung megap-megap butuh oksigen bersih. Dan ya, eventhough saya ketemu sama Ivan Gunawan dan Adjie Notonegoro, saya lebih memilih untuk jalan ke Plaza Senayan buat ketemu artis-artis dan memungkinkan saya bisa melihatnya dengan jelas tanpa harus tertutup asap rokok (which btw, memang penting gituh ketemu sama artis? hehe)
Tapi…
Saya mendapatkan banyak hal dari dugdug malam itu…
Bahwa satu… people are really animals.
Bahwa dua… when you dress real sexy, you’ll put yourself in danger.
Bahwa tiga… don’t drink too much, know your own limit, if you want to stay awake all nite.
Dan bahwa empat… you’re old, Lala. Dugdug is so last year 🙂
So… Lala… masih mau dugdug lagi kamu, heh??? ^^
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*
Jakarta.
Saya punya banyak alasan untuk membenci kota itu. OK. I don’t mind about the traffic yang katanya bikin stress pengemudi-pengemudi kendaraan bermotor. Sebabnya? Selama di Jakarta, saya nggak pernah nyetir sendiri dan merasakan urat kaki yang menegang karena bergantian menginjak kopling, rem, dan gas dengan interval pendek dan frekuensi sering. OK. I also don’t mind about the lifestyle yang katanya membuat timpang antara yang mampu dan tidak mampu. Sebabnya? Buat saya, selama mereka memang bisa, berarti kita nggak boleh iri. Mungkin mereka memang deserve to do that, berarti simpan saja segala caci maki yang sumbernya dari iri hati itu. Sudah, sudah. Jadi diri sendiri saja.
Lantas, alasan apa yang membuat saya benci dengan kota Jakarta?
Pertama…
Karena di Jakarta punya Pasar Asemka. Yang Papi bilang, “Itu tuh tempatnya jualan Barbie-Barbie yang murah La…” Dan pernah, sepulangnya dari liburan di Jakarta, Papi membawa pulang dua puluh boneka Barbie, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Sebagai pecinta Barbie, saya musti rela rebutan nggak penting dengan keponakan-keponakan saya yang luthu-luthu itu. Ah… inget usia, Lala! 🙂
Kedua…
Herannya, di Jakarta itu kenapa sih banyak banget tempat-tempat sepatu, tas, dan baju yang murah-murah? Sebel, sebel, sebel. Karena saya ini doyan belanja *yang murah-murah lho… shopaholic ukuran ikan teri lah, maksudnya.. hehe*, kalau ngeliat barang murah, suka kalap jadinya. Betenya, meskipun di Surabaya sudah bisa dapet sendal lucu-lucu yang harganya murah.. eh ndilalah, di Jakarta harganya malah jauh di bawahnya! Huaaa… nangis nangis deh…
Ketiga…
Kenapa sih, Glodok nggak buka cabang di Surabaya? Jadi saya nggak perlu repot-repot pesen DVD (bajakan) lewat temen saya dan saya musti ekstra sabar buat nunggu barangnya sampai ke rumah *ya, pastinya, karena nungguin temen saya dolan ke Glodok lah! FYI, dia bukan yang punya toko, Sodara-Sodara…* Bayangin, nih. 5rb sudah bisa dapet satu DVD. Di Surabaya? Paling murah 6500. Itupun pake ngotot dan merayu-rayu segala. Juga pake acara beli minim 3. Kalau di Glodok… hmmm… nggak pake nawar juga dapet, katanya. Selisih 1500 itu lumayan lho… Apalagi buat pecinta DVD seri seperti saya… Satu seri aja bisa sepuluh keping sendiri, tuh.. Coba ambil kalkulator atau pake sempoa bayangan. Selisihnya udah tau kan? Banyak kan? Nah ituuuu.. ituuuu yang bikin saya beteee… 🙂
Tapi, nih, ketiga faktor itu memang bukan alasan major yang membuat saya benci dengan kota Jakarta. Ada satu alasan lagi yang membuat saya begitu benci dengan kota yang sebenarnya nggak punya salah sama saya itu.
Hmm… kalian tahu, nggak, apa alasan saya kenapa sampai segitu bencinya dengan kota Jakarta?
OK. Saya kasih tahu, ya…
Kenapa saya benci kota Jakarta…. karena…. di kota itu, ada satu mantan kekasih yang bikin saya bete surete semelekete pada kota Jakarta. Ya. Dialah yang memicu perasaan benci saya terhadap kota yang punya sejuta kenangan bersama dia. I remember the busway… Gimana saya dan dia musti antre di shuttlenya, sambil melihat satu orang ‘melambai’ yang ngelirik manja ke arah dia… Atau saat saya nggak bisa mengatur keseimbangan di atas busway dan hampir terjatuh, lalu akhirnya saya dan dia tertawa karena melihat ada satu orang perempuan dengan sepatu stileto berdiri dengan santainya tanpa ada rasa kuatir bakal terjatuh? I remember the nitewalks… Kelaperan, ngider cari makanan… Nemu satu tempat sate enak dan nongkrong sampai malam. I remember the shopping hours.. Saat dia ngomel-ngomel karena saya terlalu banyak membelanjakan duit hanya untuk sepatu-sepatu dengan model yang sama tapi saya maksa beli tiga pasang sekaligus karena suka banget sama warna-warnanya…
Dan yaa… semua canda-candaan itu.. jealousy itu… gandengan tangan itu…. dan setiap pertemuan dan perpisahan yang diakhiri dengan kecupan sayang di kening…
Yes. I hate Jakarta for that.
Karena di Jakarta, bersembunyi mantan pencuri jiwa yang kini entah ada di mana. Jakarta memang masih seperti rimba belantara. Bukan dengan pohon-pohon, tapi dengan gedung-gedung menjulang. Di situlah lelaki jahat itu bersembunyi. Lari dari hidup saya setelah saya percaya bahwa mungkin dengan dialah segala petualangan saya berakhir…
Sejak berpisah dengan laki-laki itu, saya nggak pernah terbayang untuk bisa menyentuh Jakarta lagi. Not after all the painful moments I had… Nggak… Saya nggak berani… Saya takut menyusuri kota Jakarta yang penuh dengan kenangannya. Saya takut menginjakkan kaki di bawah langit yang menaungi tempat sembunyinya. Saya takut… saya akan terkenang lagi dengan dia…
Padahal…
I love Jakarta.
Ada beberapa teman baik yang menunggu saya di sana. Mbak Neph… sahabat masa kecil saya. Inang dan Naleng, teman-teman kantor (Naleng udah keluar, sih) yang cerewet dan bawel *kami bertiga ini memang kompak! Pantesan, cargo-nya mlorot mulu.. hahaha.. boong, boong… nggak ada hubungannya kaliee…*. Terus ada Bachry, Dedy, Ubay… tiga orang cowok yang selalu baik nganterin saya kemana-mana selagi ada di Jakarta…
Rasanya naif sekali, ya, kalau saya membenci Jakarta dan memutuskan untuk ‘jauh-jauh’ saja darinya hanya karena satu orang jelek yang merusak segalanya?
Sampai akhirnya…
Saya menemukan dunia ini. Blogsphere. Kecanggihan teknologi yang mengantarkan saya pada persahabatan Asunaro, gang Empat Sekawan beranggotakan EmiChan, Om NH, Abang Hery, dan saya. Pada persahabatan dunia maya yang sekaligus membawa kembali ketakutan saya.
…kopdar… di Jakarta.
Damn.
Harus Jakarta ya? Kenapa kalian nggak ke Surabaya aja sih? 🙂 Atau kumpul-kumpul di Bandung gitu, sambil makan bubur ayam enak dan belanja-belanja jeans? Atau nongkrong di mana gitu, sambil metik buah stroberi?
Tapi, again, itu bukan pilihan, dan naif sekali kedengarannya kalau saya bilang begini, “Jangan kopdar di Jakarta dong, saya tuh takut banget bakal keingetan sama orang ini…”
Iiihhh….. nggak banget, kan?
Itulah.
Karena saya nggak mau dibilang naif… Karena saya juga nggak mau dibilang terlalu terjebak dengan masa lalu… dan juga karena daripada saya dipaksa untuk kopdar di Tokyo, tempat EmiChan *gila Bow.. duit dari mane???*… akhirnya… saya memutuskan untuk melakukan ini.
I’m going to Jakarta.
From tomorrow… till ten days ahead.
Seandainya saya ketemu orang jahat itu di pusat keramaian… then let it be.
Seandainya saya tiba-tiba keingetan sama kenangan-kenangan saya di Jakarta dengan dia… then let it be.