Jakarta.
Jakarta.
Kota yang pernah saya takutkan itu akan saya tinggalkan, pagi ini. Dengan kereta Argo Anggrek pukul 9.30 pagi yang akan membawa saya kembali pulang ke pelukan keluarga tersayang. Artinya: kembali pada rutinitas lama… ngantor, ketemuan sama Gang Gila, ketemuan sama Gang MaruBatsu, ngelanjutin nulis novel (yang ditagih-tagih sama MY, editor yang suka ceng-in saya itu.. hehe), dan ya… pastinya kembali membayar untuk menggunakan fasilitas internet.. Dan sepertinya, itu yang paling menyedihkan π
Sepuluh hari di Jakarta telah memarnai hidup saya.
Ada rasa super excited ketika bertemu dengan Mbak Neph dan keluarganya yang sangat sayang sama saya… Mbak Ika (Bunda) dan Mas Dian (Ayah)… Mama dan Papa… Eyang Cantik a.k.a Mbak Atik… dan Dek Gupta (yang sekarang sudah besar dan lulus kuliah sehingga bikin saya ngerasa, “Anjrit, gua ini uda tua banget ya…” karena terakhir saya ketemu, dia masih yang bayi gitu.. hehe)
Ada rasa seneeeennngg banget ketika bertemu dengan The Asunaros: My Wonder Woman, EmiChan; Om Kesayangan Lala, Om NH18; Abangkuw, si Abang Hery Azwan… (ya, ya, ketemu kamu juga, MY… ntar kamu ngambek lagi nggak mau jadi editor saya.. hihihi.. azas manfaat banget nggak sih gua.. π )
Ada rasa maraaaahh banget ketika saya musti menghadapi kenyataan kalau si Orang Jelek itu menghilangkan jejak saya di Friendster-nya dan menolak untuk mengangkat telepon dari saya.. *hey, GR banget lu jadi orang..*
Ada rasa sediiiihhh banget karena saya nggak berani ketemu dengan mantan kekasih yang berkali-kali telepon dan mengirim sms, meminta untuk bertemu, tapi saya nggak mau… (Sorry ya, Be… I guess I wasn’t ready to know that you’re still have it…)
Lalu ada rasa kehilangaaaannn sekali ketika saya harus putus hubungan dengan orang terdekat yang pernah menjadi energi dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Energi saya dalam menulis novel. Energi saya dalam menulis blog. Juga energi saya untuk terus tersenyum.
He was my energy….
Mm.. no. He still is. (Sayang, you still owe me an explanation when I get back to Surabaya… Let’s have a dinner and talk this over, Ok…)
Ya…
Segala macam warna telah memberikan nuansa dalam hidup saya. Meski cuman sebentar. Meski hanya beberapa hari. Tapi itu sudah membuat saya sangat berat meninggalkan kota Jakarta yang sedikit demi sedikit saya cintai ini dan menimbulkan rasa bersalah karena saya membencinya dengan alasan yang salah.
It wasn’t Jakarta that I’m afraid of. Tapi kenangan-kenangan yang tak terlupakan meskipun mata terpejam. Kenangan yang tak penting untuk saya ingat terus dan recall in mind.
Now I know, Jakarta.
I have to stop having this feeling.
It’s not you… It’s all about myself… my own fight between my present and my past.
Sekarang saya akan mencoba untuk berbaikan denganmu.
Saya akan belajar untuk ‘memaafkan’mu.
Because you know what… this morning… when I have my packed bags in my hands… and see the friendly faces in this house… I have to say… It’s really … really hard… to say.. GOODBYE.
ps. I’ll see you again, Jakarta! Saya nggak akan pernah bosan untuk menjengukmu… π
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*