Pulang ke Bandung.
Rasanya nikmat sekali datang ke sebuah kota yang sudah seperti hometown meskipun sebenarnya gue selalu berpindah-pindah mengikuti Bokap. Mencium aroma basah tanahnya karena hujan, duduk di atas angkot yang mengajak gue berputar-putar di jalan-jalan kecil, atau menikmati malam yang dingin penuh lampu di Ciwalk, adalah kenangan indah yang nggak terbeli. Continue reading
“Awas kalau lo nekat balik sama dia, Sas!”
Kata Daanish di telepon.
“Gua jitak bolak-balik kalau lo masih mau terima dia, Sas!”
Laura emosi di sms.
“Kita udah warning elo, ya, Sas. Jangan sampai lo lupa kalau kita sudah ingetin lo…”
Dengan kompaknya trio kwek-kwek, Ratna, Pingkan, dan Nabila berkoar-koar kejam.
Cuman Erick yang menerimanya dengan santai.
“Lo dengerin aja apa maunya, Sas… Dari situ, baru lo bisa tahu apa yang mesti lo lakuin…”
Semua komentar itu keluar setelah gue menyebarkan informasi kalau Robbie, my ex future husband, akan datang ke kost pukul delapan malam.
Yes.
He called me.
On my cell.
Menjelang pukul delapan, gue masih duduk di depan meja rias. Memandang pantulan wajah gue sendiri di cermin. I see an emptiness. Gue juga melihat ada keraguan yang menyelimuti wajah gue.
I’m a creep… I’m a weirdo
What the hell I’m doing here?
I don’t belong here…
Apa yang gue harap, sih?
Robbie bilang kalau dia masih mencintai gue dan meninggalkan Jo yang sudah mempersiapkan hari besarnya?
Robbie bilang kalau semua ini bohong dan Laura menjadi aktris pemeran pembantu kesuksesan drama berujung bahagia ini?
Gue berkaca lagi.
Sudah berapa kali gue ganti baju supaya menemukan baju yang cocok dan membuat gue terlihat lebih cantik? Sudah berapa kali gue akhirnya terduduk di atas ranjang dengan air mata yang berderai tanpa kendali?
Yes. I cried.
Cried.. a river.
Belum lama, hp gue berbunyi.
Ada SMS masuk.
Udah di luar.
Sender: Jelangkung
Gue menata napas gue.
So, this is it.
The closure.
to be continued
behind the door (23) : the answers
Di atas pesawat yang membawa gue pulang ke Jakarta, pikiran gue mengembara kemana-mana. Gue nggak bisa ikut bersenang-senang sama Erick, Daanish, Mas Ben, atau Miko yang terlihat asyik mengobrol soal, I don’t know, gue sendiri seperti nggak mendengarkan apa-apa, selain suara hati gue.
What was his intention?
Just went to my place and looked for me to tell me, what? Miss me? Please forgive me?
Or something like this.
“I’m planning to marry Jo…”
We’re leaving Surabaya, tomorrow.
Ada beragam reaksi.
Daanish, yang ternyata sedih banget karena harus meninggalkan Dean (which I doubt that the reason is love instead of money and privileges), Erick yang sudah beli oleh-oleh buat Karina yang katanya sudah mempersiapkan welcome party buat kekasih tercintanya itu. Lain Daanish dan Erick, lain juga sama Mas Ben dan Miko yang ‘orang lama’ di dunia musik. Mereka, sih, nggak terlalu heboh bela-beli oleh-oleh. Lain sama gue, Erick, and Daanish yang baru kali ini pergi dari Jakarta.
Gue? Continue reading
Gue masih leyeh-leyeh di kursi teras, saat Mas Ben dan Miko membuka pintu pagar. Mereka baru pulang dari check sound, hari ini adalah pertunjukkan terakhir kami di Surabaya. Setelah itu gue pulang dan mungkin, akan terbang ke Denpasar.
Melihat gue asyik di kursi sambil sun bathing (bisa dibilang gitu, lah, soalnya jempol kaki gue kena matahari sedikit! Hehehe) Continue reading
Laura pulang.
Gue mengantar dia sampai ke airport. Erick meminjam paksa mobil Dean, gebetan Daanish, dengan alasan, cowok itu masih punya tujuh mobil yang lain. Dasar orang kaya, Dean rela-rela aja meminjamkan mobil kijang kapsulnya untuk dipakai keliling-keliling selama kami di Surabaya.
Kalian pasti membayangkan betapa anehnya Erick, Laura, dan Aldo ada di dalam satu mobil, kan?
Well…well… pada awalnya, gue juga membayangkan hal yang sama, makanya tadi sempat meminta Erick untuk nggak ikut. Tapi dasar cowok sableng, dia malah dengan teganya bilang, “Ntar kalau lo pergi sendiri, gue nggak yakin mobilnya kembali dengan selamat, Sas!”
Kurang ajar, kan? Continue reading
…beli bahan buat lamaran Robbie…
Robbie akan menikah. Memang, Laura nggak menyebutkan soal pernikahan, tapi kalau sepasang kekasih akan melakukan prosesi lamaran, berarti nggak sampai dalam hitungan tahun, pasangan itu akan menikah, kan?
Jadi kalau Robbie akan melamar Jo, berarti… dalam waktu dekat, perempuan itu akan resmi menjadi Ny. Jovanka Hendrawan.
There’ll be no longer Mrs. Sasya Rachmania Hendrawan, yang akan setiap pagi menyiapkan kopi kental kesukaan Robbie sebelum dia membuka mata… Menyiapkan air panas untuk mandinya… Membuat roti panggang isi sayur dan tuna… lalu berangkat sama-sama ke kantor naik mobil impian kami berdua, Honda Jazz warna hitam metalik dengan neon light warna biru terang…
Yang ada sekarang cuman seorang Sasya Rachmania, penyanyi band, tanpa mimpi apa-apa… Continue reading
The reality, really, bites.
Saat Laura berhenti cerita, gue langsung nggak tahu harus melakukan apa-apa. Rasanya, kenyataan itu terlalu menyakitkan buat gue.
Ya.
Karena gue masih, somehow, berharap akan datang keajaiban meskipun gue sudah tahu persis, Robbie sudah melupakan gue…
Akhirnya gue menangis.
Denial kayak apapun nggak akan bisa membuat gue berhenti menangis dan menganggap semuanya under control. Gimana gue bisa pura-pura nggak sedih, kalau ternyata gue benar-benar SEDIH?
Robbie sudah mengkhianati gue sejak delapan bulan yang lalu…
Delapan bulan yang lalu.
Padahal seingat gue, meskipun kita sering bertengkar untuk mempermasalahkan hal-hal yang sepele, kita masih sering bercanda-canda. Masih sering berbagi cerita, saling memeluk, bahkan mencium…
Apa arti delapan bulan itu, Rob?
Apa?
You were everything, everything that I wanted
We were meant to be, supposed to be
But we’ve lost it
And all of those memories so close to me
Just fade away
All this time you were pretending
So much for my happy ending…
Erick, lelaki ajaib yang seperti punya radar setiap gue sakit hati, akhirnya malah jadi penyelamat gue.
“Sas… gue denger dari Laura… Gue tahu ini sakit, Sas, tapi harusnya lo bersyukur karena lo tahu dari sekarang. Ini jauh lebih baik daripada lo terima undangan kawinan dari dia, kan?”
Erick memang nggak pernah kenal dengan ‘basa-basi’. Itu yang gue kagumi dari dia. Tapi untuk sekarang ini, gue rasa dia nggak perlu terlalu straight to the point begitu, deh…
“Terserah lo mau bilang gue nggak punya hati, nggak punya perasaan, lelaki tahunya apa, sih… Tapi… yang gue tahu, kalau Robbie emang kayak gitu, berarti… bukan lo yang nggak pantas buat dia, Sas, tapi lo yang kebagusan buat dia.”
“Rick… tapi hati gue sakit, Rick… Sakit banget…”
“Iya, gue tahu. Hati lo bukan buatan pabrik, Sas, jadi gue ngerti kalau lo sakit hati. Tapi, Sas… coba, deh, lo keluar dari segitiga ini.”
“Maksud lo, Rob? Segitiga? Which triangle?”
“Segitiga ‘lo-Robbie-that bitch’.”
“…”
“Kalau lo ada di dalam, lo akan selalu menganggap lo itu korban. Tapi kalau lo keluar dari segitiga itu dan melihat semuanya dari luar, lo pasti akan bersyukur karena tahu Robbie bukan cowok yang baik buat lo, Sas…”
“…”
“Sas, satu hal yang perlu lo ketahui.” Erick, dengan lagak psikolog terkenal, yang gue yakin banget sudah menular dari Karina, memegang bahu gue dan berkata perlahan, “It’s his lost, Sasya. Not yours. Percaya gue, ya?”
to be continued
behind the door (17) : WHY HER?
Di luar dugaan, Laura, my bestfriend, my so called sister, main ke Surabaya, bareng sama pacar gantengnya Aldo. Gue baru ngeh kalau ternyata Aldo yang sering diceritain Laura lewat telepon dan sms itu ternyata orang Surabaya yang kerja di Bandung.
<Where the hell was I? Jadi benar kata Robbie kalau gue terlalu sibuk sendiri sampai lupa kalau gue masih punya seseorang yang butuh perhatian?> Continue reading
You took me higher than I’ve ever been
Now that we’re strangers, I’ve come down again
Back to the real world, back to the real world
Back to the ground
Not high above it, up where the love is
Now I’m earthbound
…
Gue jadi suka banget sama lagu ini. Lagu yang bercerita soal gimana seorang pasangan yang cintanya selalu bisa membawa kita membumbung tinggi ke atas, mengajak kita menari-nari di atas awan yang bernama Cinta, tapi kemudian setelah perasaan itu hilang, dengan mudahnya dia melemparkan kita begitu saja. Kembali ke dunia nyata. Di mana yang indah-indah itu nggak akan selamanya ada. Continue reading