Jakarta.
Jakarta.
Kota yang pernah saya takutkan itu akan saya tinggalkan, pagi ini. Dengan kereta Argo Anggrek pukul 9.30 pagi yang akan membawa saya kembali pulang ke pelukan keluarga tersayang. Artinya: kembali pada rutinitas lama… ngantor, ketemuan sama Gang Gila, ketemuan sama Gang MaruBatsu, ngelanjutin nulis novel (yang ditagih-tagih sama MY, editor yang suka ceng-in saya itu.. hehe), dan ya… pastinya kembali membayar untuk menggunakan fasilitas internet.. Dan sepertinya, itu yang paling menyedihkan 😀
Sepuluh hari di Jakarta telah memarnai hidup saya.
Ada rasa super excited ketika bertemu dengan Mbak Neph dan keluarganya yang sangat sayang sama saya… Mbak Ika (Bunda) dan Mas Dian (Ayah)… Mama dan Papa… Eyang Cantik a.k.a Mbak Atik… dan Dek Gupta (yang sekarang sudah besar dan lulus kuliah sehingga bikin saya ngerasa, “Anjrit, gua ini uda tua banget ya…” karena terakhir saya ketemu, dia masih yang bayi gitu.. hehe)
Ada rasa seneeeennngg banget ketika bertemu dengan The Asunaros: My Wonder Woman, EmiChan; Om Kesayangan Lala, Om NH18; Abangkuw, si Abang Hery Azwan… (ya, ya, ketemu kamu juga, MY… ntar kamu ngambek lagi nggak mau jadi editor saya.. hihihi.. azas manfaat banget nggak sih gua.. 🙂 )
Ada rasa maraaaahh banget ketika saya musti menghadapi kenyataan kalau si Orang Jelek itu menghilangkan jejak saya di Friendster-nya dan menolak untuk mengangkat telepon dari saya.. *hey, GR banget lu jadi orang..*
Ada rasa sediiiihhh banget karena saya nggak berani ketemu dengan mantan kekasih yang berkali-kali telepon dan mengirim sms, meminta untuk bertemu, tapi saya nggak mau… (Sorry ya, Be… I guess I wasn’t ready to know that you’re still have it…)
Lalu ada rasa kehilangaaaannn sekali ketika saya harus putus hubungan dengan orang terdekat yang pernah menjadi energi dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Energi saya dalam menulis novel. Energi saya dalam menulis blog. Juga energi saya untuk terus tersenyum.
He was my energy….
Mm.. no. He still is. (Sayang, you still owe me an explanation when I get back to Surabaya… Let’s have a dinner and talk this over, Ok…)
Ya…
Segala macam warna telah memberikan nuansa dalam hidup saya. Meski cuman sebentar. Meski hanya beberapa hari. Tapi itu sudah membuat saya sangat berat meninggalkan kota Jakarta yang sedikit demi sedikit saya cintai ini dan menimbulkan rasa bersalah karena saya membencinya dengan alasan yang salah.
It wasn’t Jakarta that I’m afraid of. Tapi kenangan-kenangan yang tak terlupakan meskipun mata terpejam. Kenangan yang tak penting untuk saya ingat terus dan recall in mind.
Now I know, Jakarta.
I have to stop having this feeling.
It’s not you… It’s all about myself… my own fight between my present and my past.
Sekarang saya akan mencoba untuk berbaikan denganmu.
Saya akan belajar untuk ‘memaafkan’mu.
Because you know what… this morning… when I have my packed bags in my hands… and see the friendly faces in this house… I have to say… It’s really … really hard… to say.. GOODBYE.
ps. I’ll see you again, Jakarta! Saya nggak akan pernah bosan untuk menjengukmu… 🙂
My so called sistah, once said to me before I left my hometown, last week. She said this:
Noway aku akan membiarkan adikku ini menjadi sedih di Jakarta.
Pokoknya aku akan antar kamu ke tempat yang kamu dan dia TIDAK pernah kunjungi.
Aku juga ngga ijinin kamu naik BUSWAY… Tunggu aku jemput kalo perlu
huh kok aku jadi mo marah ya?
Coz aku juga sedang berperasaan spt kamu, takut pada masa lalu.
But aku akan buktikan hari Minggu besok, sama sekali tidak ada apa-apanya. So you have to promise me, tell me whenever you feel sad. You are not allowed to be sad beside me girl…
Berulangkali dia SMS sepanjang perjalanan Surabaya-Jakarta, just to make sure that I was okay. Karena dia tahu kepanikan saya, dia memahami ketakutan saya. Hm, I know that she loves me… and she was dealing the same thing, sehingga dia tahu bagaimana cara menenangkan perasaan saya, tahu bagaimana caranya membuat saya tersenyum lagi, meskipun berhari-hari setelahnya, setelah pertemuan pertama kali saya dengan sosok Ibu yang hebat ini di muka rumahnya dengan bayi gendut dan lucu di gendongannya, saya tahu… she’s just a woman afteral. Ada dua sisi dalam setiap keping mata uang dan beruntunglah saya, kakak kesayangan saya ini telah membiarkan saya menjadi adik yang terus ingin mencoba membalas kasih sayangnya.
She is unbelieveable.
She is extra ordinary.
She’s definetely one of a kind.
She’s really something… she really is.
Saya beruntung…
Saya sangat beruntung menjadi adiknya. Saya sangat beruntung bisa memeluknya di ujung perpisahan saya di rumahnya, tadi malam. Saya beruntung bisa menangis di bahunya dan merasakan sentuhan kasih sayang seorang kakak di bahu saya. Dia mengusap air mata saya sambil memberikan kalimat-kalimat yang sangat meneduhkan. She asked me to be strong… because she believes… that we are women who deserve real loves… Someday… Somehow….
(And I believe that, Sistah… I do…)
Yes, Sistah.
Yes, I’m talking about you! My so called sistah, EMI-CHAN, my Wonder Woman…
Thanks for the beautiful days you ever have me during my holiday…
Thanks for treating me at so many places dan kamu adalah salah satu orang yang ‘paling berjasa’ bikin berat badan saya naik sampai berkilo-kilo selama sepuluh hari di Jakarta!! 🙂
Hey.. remember Dimsum Time at Central, Bulungan, yang aku kalap banget itu? *kapan ga kalapnya lu La.. hahaha*
Or sipping coffee at Oh La La Cafe, Pacific Place, sambil ngomel nggak jelas karena nggak bisa memanfaatkan hotspot gretongan itu?
Hey.. what about the crazy lunch at The Cafe, Hotel Mulia, yang bikin kita berdua kayak perempuan-perempuan patah hati dan maruk banget ambil makanannya? Gila.. yang itu kenyang banggeeetttsss… 🙂
Mmm.. what else… what else… Tiamo? Resto Perancis tempat kita kumpul dengan Asunaro Boy yang ternyata badannya ceking-ceking semua dan pastinya lebih langsing ketimbang duo Gendut Lala-Emiko ini… dua perempuan yang punya cita-cita mulia untuk bisa make bikini, somehow someday itu? hehehe…
Then our last meal…. di Ootoya… Makan bareng sama Riku dan Kai yang super kawaii itu… OMIGOD! Gimana caranya Lala bisa punya baby lucu begitu yaaa??? Masa musti kawin sama orang Jepang sih? Ada gitu orang Jepang yang mau sama saya, Sis?? Kalo ada, jangan sungkan-sungkan lho, buat ngabarin sayaaa… hehehe
Lepas dari segala ‘usaha penggendutan’ yang telah kamu lakukan, but I did have a lotta fun… *yang laen pada ngiri tuh, soalnya Lala gretongan mulu makan-makannya… hehehe…*
And you has proved me… that you never let me feeling blue whenever I was around you. You made me smile… You made me feel that I’m loved… You made me feel like I’m a special girl… You made me stronger… You did… you did all of those things, Sistah!
Entah kapan saya bisa membalas semua kebaikan yang kamu berikan…
Membalas oleh-oleh dari Jepang yang bikin barang bawaan saya sampe berkarung-karung itu *hiperbolis.com* 🙂
Membalas segalanya yang telah kamu persembahkan untuk saya, sehingga saya bisa terdistraksi dari segala macam rasa sedih yang menggerogoti pikiran saya…
Tapi saya akan memulainya dengan ini, EmiChan.
Dengan rasa sayang saya sama kamu, rasa cinta saya buat kamu, dan doa saya semoga hidupmu selalu jauh dari air mata sedih…
Karena air mata kamu… adalah air mata saya, EmiChan.
Dan kebahagiaan kamu… akan membuat hati saya berdegup sangat gembira juga.
Because…
Hey, Sistah! I love you….! Iya… I do!
Ps. Maaf tadi udah nangis hebat saat pamit… I just couldn’t help it… I’m going to miss you, so much!! Bye bye, Sistah…. We’ll see again as soon as possible… OK… Cup cup…
Sudah tau kan betapa saya benci dengan kota Jakarta? Karena di kota canggih dan modern ini menyimpan sejuta kenangan saya dengan Orang Jelek yang memang benar-benar sudah lenyap di telan bumi. Sejak saya sampai di stasiun Jatinegara, minggu kemarin, yang terbayang adalah wajah si Orang Jelek dan wajah Pacar tercinta. Si Orang Jelek begitu jelas terbayang karena luka masa lalu yang menyisakan benci begitu dalam. Dan Pacar, begitu jelas terbayang karena saya bertengkar hebat dengannya ketika saya berangkat ke Jakarta.
Sampai di Jakarta, yang terbayang memang si Orang Jelek itu. Bagaimana tidak? The last time I came to Jakarta, dia adalah orang yang paling sibuk mengurus semua keperluan saya selama di Jakarta. Kasarnya, dia yang bertanggungjawab menerima saya di Jakarta dan bertanggung jawab pula mengembalikan saya sampai di Gambir. Saya masih ingat sosok tubuhnya yang tertimpa sinar matahari saat menjemput saya. Dia begitu menawan meskipun dia bilang kalau mandinya cepat-cepat karena musti menyusul saya pukul enam pagi. Argh… I still remember how he helped me carry all my bags and we walked together.
Dan ketika kemarin saya tiba di Jatinegara, bayangan itu yang muncul. Menggoda ketangguhan hati saya yang sudah berjanji bahwa saya akan melupakan dia. I have a boyfriend, now. Dan saya cinta sama dia.. (meskipun akhirnya kami harus berpisah karena menurut pacar, we have to end it before it’s killing us more!). Rasanya tidak etis kalau saya masih memikirkan orang lain ketika hati saya sepenuhnya milik seorang Pacar, my pianist, who made my life became like a merry go round, with beautiful songs as its soundtracks *remember that story, Cinta?*
Perjuangan untuk tidak menangis selama di Jakarta adalah cukup berat. Bagaimana tidak? Sepertinya segala jalan yang saya lewati bersama Mbak Neph adalah jalan kenangan saya dengan dia. Terlebih ketika saya menyusuri jalan-jalan di daerah Kelapa Gading, daerah tempat kosnya, di mana saya yang dulu begitu repot mengurus segala keperluannya di sana. Argh, saya nggak berani berkunjung, Orang Jelek. Karena saya takut ketemu kamu dan mungkin akan ‘kalap’ di sana… 🙂
Itulah kenapa saya benci Jakarta.
Benci sekali karena once a while, ketika saya melihat sesuatu di luar kaca jendela mobil Mbak Neph, saya merasakan berjuta kenangan itu terputar kembali dalam benak saya secara otomatis. Menyakiti saya perlahan-lahan. Menggerogoti kekuatan saya. Membuat saya merapuh seketika.
Kebencian saya semakin menjadi-jadi ketika saya berusaha meneleponnya dan dia masih saja mendiamkannya. Hey. Marahkah kamu sama aku, Orang Jelek??? Bukankah kamu yang selingkuh lalu berencana kawin dengan orang lain?? Kenapa sekarang aku yang jadi seperti orang sinting dan seolah ngarep banget?? Damn.
Arrrgghhh…
I really really hate it. Benci yang amat sangat. Pingin saya ‘kruwes-kruwes’ mukanya dengan kalap… Haha.. ini sudah anarkis, Lala. Stop it.
Tapi itukah yang membuat saya masih menulis blog dengan internet gratisan pada hari menjelang pukul satu pagi ini?
Ow tidak…
Bukan itu.
Bukan itu.
Kamu tahu kenapa saya ketik “NOW I HATE YOU MORE!” di kolom judul di atas???
Well..
Ini karena…
Ketika kunjungan saya di Jakarta sekarang ini…
Saya berpisah dengan Pacar yang sangat saya cintai.
I know, bukan salah Jakarta.
Ini hanya waktu yang memilih ketika saya ada di Jakarta dan Pacar menyudahi semua yang kami miliki ini…
Now, you see why I hate Jakarta even more?
Because it reminds me of my heartache, once again… 😦
Hey, Human…
Don’t you ever think that you were created for free. And don’t you ever think that the next time you sleep at night, you’ll always wake up the next day and do your old routines. Because what? You really don’t have any clues what is going to be happened next… Will your days be just the same… or maybe this… a guy, points his gun in your forehead and makes you shiver…
Mungkin kalau Pak Satpam yang bekerja di kompleks perumahan Mbak Neph bisa ngomong dalam bahasa Inggris sekalian ngeblog, dia akan bilang begitu. Dia akan dengan gemetarnya mengetik posting tentang kejadian yang dia alami siang hari tadi, dengan hati yang masih deg-degan, lutut seperti lemas, dan kenangan-kenangan bersama istri dan dua anaknya muncul silih berganti di dalam isi kepalanya.
Tapi ya..
Karena Pak Satpam tadi lebih sibuk menelepon keluarganya, gemetaran menjelaskan rekonstruksi kejadian yang sangat cepat itu, dan minum air putih banyak-banyak, biarkan saya yang bercerita tentang peristiwa siang tadi. Sebuah perampokan yang gagal, persis dua rumah di depan rumah Mbak Neph.
It was just an ordinary holiday. Saya nonton TV di kamar, Mbak Ika sibuk menyiapkan barang-barang yang musti dibawa karena sebentar lagi kami akan pergi beramai-ramai ke rumahnya yang masih dalam proses pembangunan, di daerah Depok sana. Si Mbak Neph lagi ngobrol dengan Mamah dan Eyang Cantik-nya Mas Acha. Pokoknya, it was just that ordinary…
Sampai saat saya nyadar.. ini orang-orang pada kemana semua yaaa…. Kok saya ditinggalin gitu aja di kamar.. Apa udah berangkat??? Nekat amat saya ditinggal…. 🙂
Keluarlah saya ke depan. Ternyata di depan pagar sudah ada Mbak Neph, Mamah, Eyang Cantik-nya Mas Acha, dan beberapa tetangga Mbak Neph yang sibuk ngoceh, which back then, I didn’t know what it was.
Lalu saya lihat si Pak Satpam itu.
Gila. Lututnya bergetar… Benar-benar yang bergetar. Kalau saya sering menggunakan kalimat ini di novel-novel saya, baru kali ini saya melihat secara langsung bagaimana hebohnya bila sepasang kaki itu bergetar hebat. Ah, what happened?
Dari mulut sahabat masa kecil saya mengalirlah sebuah cerita tentang apa yang menyebabkan lutut Pak Satpam bergetar itu…
Peristiwanya terjadi menjelang pukul dua belas siang. Yang punya rumah mengabari Satpam kalau hari ini dia nitip rumahnya. Minta tolong dijagain. Satpam di kompleks perumahan Mbak Neph memang dikenal cekatan dan kerja ‘beneran’, sehingga mereka berkali-kali ngider ke tiap gang untuk mengawasi perumahan yang menjadi tanggung jawab mereka itu.
Sampai di rumah yang dimaksud, Pak Satpam melihat sesuatu yang mencurigakan. Kenapa ada mobil Avanza di depan rumah yang kosong itu ya? Pak Satpam mengira, “Ah, paling juga tamu rumah depannya yang kebetulan parkir di sana…” Tapi setelah diamat-amati lagi, kenapa mencurigakan sekali?
Akhirnya Pak Satpam berusaha mendekati mobil Avanza tersebut. Maksud hati, sih, ingin menanyakan apa keperluannya sekaligus bilang kalau yang punya rumah sedang tidak ada di tempat sehingga sebaiknya tidak menunggu.
Lalu jendela mobil itu terbuka. Bukan seperti yang dibayangkan oleh Pak Satpam bahwa orang tersebut akan berterimakasih, tapi yang muncul di depan matanya adalah pistol yang siap ditembakkan! Syukurlah refleks Pak Satpam sangat bagus, sehingga dia langsung menunduk dan memacu motornya cepat-cepat menuju posko; mencari bantuan.
Karena dia berteriak “Rampok… Rampok…” sepanjang jalan, akhirnya si gerombolan perampok di dalam mobil itu angkat kaki dari rumah sebelum berhasil mengambil apapun dari dalam rumah, meskipun dua dari lima orang gerombolan perampok itu sudah masuk ke dalam pagar (setelah mencongkel gembok) dan bersiap-siap merusak pintu ruang tamu…. 😦
Saat saya konfirmasi ulang ke Pak Satpam, kaki-kakinya masih bergetar. Bicaranya masih terbata-bata. Keringatnya, sumpah, banjir banget. Saya merasa aroma ketakutan masih tercium saat itu. Dia sangat ketakutan. Dan dia sangat wajar merasa ketakutan.
Can’t you imagine this picture: yourself, with a pointed gun in your forehead? Mimpi apa lu semalem??? Gila.. Ini benar-benar sinting… Saya nggak berani membayangkan bagaimana saya menghadapi hari-hari setelah peristiwa itu. It must be like hell…. just by remembering every single seconds of that moment… Saya bisa gila, mungkin. Saya bisa histeris, mungkin. Dan pastinya, saya bisa saja ketakutan untuk keluar dari rumah….
I have no clue how is he now. Apa dia masih ketakutan? Apa dia sudah bisa tidur? Bagaimana tidurnya, nyenyak kah? Dan bagaimana dengan imannya; apa sholatnya makin khusuk sejak peristiwa ini? Hell… saya nggak tahu sama sekali.
But I got this thinking.
Makin menyadari bahwa kita memang nggak pernah tahu kejadian apa yang menimpa kita, just a few seconds afterwards. Are we going to trip and fall? Apakah oksigen yang sedang kita hisap sekarang ini akan terhisap sempurna setelah detik ini berlalu? How about our hearts; is it going to stop beating?
…
…
So Human… Yes you, human.
Don’t be too proud of yourself. Don’t too proud about all of your belongings… Because it’s just a matter of time, that somehow, someway, someday, you’re going to lose everything you have… just in a click of destiny.
*And you, the bad guys outthere… are you outta your mind??? Are you thinking with the gifted brains that God has sent you? Or you are not human… Or I’m talking to animals here??? DAMMIT!*
Sesuai janji Mbak Neph sebelum saya berangkat ke Jakarta, minggu kemarin, akhirnya saya benar-benar berangkat ke Bandung… Ciiihhhuuuiiii…… At this very moment… saya nggak bisa cerita banyak…. Seperti lirik lagu favorit saya, If-nya Bread yang ini nih… If a picture paints a thousand word… jadi mendingan, liat-liat photo-photo ini aja yaah… *dan silahkan geleng-geleng kepala dengan nafsu kuliner saya yang nggak karuan ituh.. hehe*
Starbucks di KM 19
Agak terbengong-bengong sih ngeliat ada kedai kopi favorit saya di sisi jalan tol… Uuuhh…. menarik sekali sih… (walaupun ga beli juga karena di situ cuman isi bensin dan duit disayang-sayang buat beli baju di factory outlet ajah.. hehehe) Dan ya. Photo ini dipersembahkan khusus buat Abang… *soalnya pas lewat sini, yang kebayang cuman wajah si Abang.. hehehe…*
Dan sayapun sampai di Bandung…
Ternyata, Jakarta-Bandung memang hanya dua jam. Perjalanan ke Bandung ini cukup seru. Saya berangkat dengan Mbak Neph, Mas Yudi, dan Mas Yose. Mereka bertiga ‘kabur’ dari kantor demi memenuhi janji Mas Yudi yang bilang begini, “Eh, La… Kalau kamu beliin aku sambel udang bu Rudy, ntar aku anterin ke Bandung deh…” Dan karena saya emang bawa, jadi deh saya berangkat ke sana… Selama perjalanan kami cekakak cekikik.. sampai nggak terasa.. udah dua jam di dalam mobil dan kami sampai jugaaa…
Dari awal, Mbak Neph sudah ngiming-ngiming soal Mie Baso Akung yang super ueennnaakkk itu. Kata Mas Yudi, ini Mie paling enak se-Indonesia, Laaa…. Jadilah saya penasaran dan langsung meluncur ke sana sebagai jujugan wisata kuliner yang pertama… Apalagi Mas Yudi juga lagi laper-lapernya tuh. Daripada dia pingsan dan bikin repot satu mobil, mendingan diturutin aja deh.. 🙂
Lalu saya ketemu Ibu Nata, deh.. Yang kata si Om, Nat The Broadcazter ituuuhh….. Cantik lhoo… 🙂
Dan Lala-pun masih belum kenyang jugaa….. (Batagor Kingsley, here I come!)
Tadinya sih mau beli Batagor Riri… tapi karena rame banget, akhirnya ke Kingsley, yang ternyata… hhuuaaa.. enakkkkkk…. *kata si Om, “emang ada gitu yang nggak enak buat Lala???* hehehe….
… dan di situ pun ada es sekoteng yang kata Nata enak… aaahh.. beli dulu satu porsi…
…dengan satu orang penjual yang banci photo… *sumpah deh, dia maksa buat diphoto.. hahaha… saingan ama saya, ya, Mang…
Pas liat-liat baju di FO, ehh malah ngiler liat Bakpia ini…. hehe.. beli deh… satu kotak isi 10 (kombinasi coklat, mocca, dan kacang ijo) harganya 17rebu. Murah? Tapi enak kok.. coba ajahhh…
Pukul lima sore, Mas Yudi ngajakin pulang deh.. Eh, tapi Mbak Neph masih nafsu pingin makan cilok… Ya udah…. beli cilok ini deh… *masih hasil referensi Ibu Nata yang ngakunya Ratu Ancot itu.. hahaha*
Dan inilah ciloknya…
Dan inilah para manusia yang nafsu makan cilok itu….
Pulang ke Jakarta
Setelah makan cilok, rombongan Haji.. eh.. rombongan pegawai kantoran yang kabur selama jam kantor itu *hehe* akhirnya musti pulang juga ke Jakarta… Si Nata akhirnya dengan terpaksa diturunin di pinggir jalan *daripada keangkut sampai Jakarta, ntar ancot-nya susah Bu… hahahaha*. Dan pukul lima sore lebih dikit… saya musti meninggalkan kota Bandung yang sudah bikin saya gendut dua kilo dalam waktu kurang dari lima jam itu… 🙂
And I really have to thank this couple…. Mbak Neph & Mas Yudi…
Without you, Guys… saya nggak akan ‘nyentuh’ Bandung dalam waktu dekat……… Dan sekaligus, nggak bisa wisata kuliner di kota yang cantik itu….
Makasih buat Mas Yose juga, yang ngebantu gantian nyetir sama Mas Yudi…
Makasih buat Nata yang udah bela-belain nyusul ke Mie Baso Akung lalu ikut ngider dari tempat makan satu ke tempat yang lain… ikutan ke FO satu ke FO lain… *dan bikin kamu belanja-belanja nggak penting buat Lelaki Kecilmu itu.. hehe.. maaf ya.. jadi bikin kamu belanja gituh…*
Makasih buat Toyota Altis yang udah nganterin kami semua pulang balik Jakarta Bandung-Jakarta dan rela digeber terus dari pukul sepuluh pagi sampai setengah tujuh malem…
Makasih buat semuanya…
It was really beautiful, Guys… banget!
ps. Pacar, if somehow you read this blog, FYI, I was thinking about you all the time… I miss you… I miss to hear your voice, to see your face and can’t wait to meet you…. Sorry about my email the other day… I think I’m having my PMS and please ignore everything I’ve said to you… I love you… I really do… (and I don’t wanna lose you… not now… not now, Sayang….)
Kamu pernah saya ceritain soal JB? Pacar pertama yang di dalam tubuhnya mengalir banyak darah itu, lho? Ada Bali-nya, ada Chinese-nya, ada Itali-nya itu? Remember him? Iya, yang sekarang sedang kuliah S2 di San Francisco itu.. dan yap… yang pernah ngacak-ngacak hidup saya selama tiga tahun lalu pergi setelah saya gave up dengan ‘ketidakspesialan’ saya itu… Okay. Baca posting yang ini nih, biar inget lagi.
Nah..
Udah baca kan? Udah ring a bell belum siapa laki-laki yang menjadi sumber inspirasi posting kali ini? Okay. Saya asumsikan kamu semua sudah klik link itu dan balik ke sini, jadi saya mulai aja ceritanya.
JB adalah pacar pertama saya. Pertama kali kenal sama komitmen pacaran, ya sama cowok ganteng ini. Dulunya, saya sekedar gebet sana gebet sini. Baru sama JB saya akhirnya ‘terperangkap’ untuk mau aja jadi pacarnya. Haha… sumpah, saya ini bukan tipe orang yang setia dengan pasangan. Tapi entah kenapa, kalau dengan JB, biar kata dibatasi dengan jarak yang ratusan kilometer itu, saya selalu setia sama dia. Sampai tiga tahun lho, Sodara-Sodara… Cukup amazing untuk amatiran seperti saya kan? *saat itu sih, sekarang kan udah canggih banget… hehehe*
Kenapa tiba-tiba saya cerita soal JB?
Well… ini karena, sepulang dari TIS Square makan Pizza Hut bareng Mbak Neph (setelah sesorean tadi makan all you can eat di Hotel Mulia, Senayan bareng EmiChan, yang pastinya pas baca posting ini langsung geleng-geleng kepala sambil bilang, “Gila ini anak.. Makannya banyak banget..” hehe), kami mampir dulu ke tempat cuci mobil deket rumah yang 24 jam itu.
Mobil Mbak Neph emang lagi bulukan banget deh. Tebel banget debunya. Nggak pantes ah, isinya orang cantik-cantik semua *baca=Lala dan Mbak Neph.. hehe* tapi kok mobilnya kotor. Ntar orang-orang pasti berebut nyuciin mobil Mbak Neph tiap berhenti di lampu merah dong.. hehe
Saat menunggu mobil Mitsubishi Lancer Mbak Neph dicuci sampai cling-cling, saya duduk di dekat satu cowok yang mukanya familiar banget. Kayak pernah kenal. Kayak pernah ketemu di manaaaaa gitu. Mukanya mirip siapa ya?
Si cowok ganteng itu sedang asyik mainin hp-nya. Asyik ngobrol dengan fitur 3G dan ketawa ketiwi nggak jelas. Tapi entah kenapa, saya tertarik untuk melihat cowok ini lebih serius. Hell, yang ada di dalam pikiran saya, ini cowok mirip siapa ya?
Saya colek deh si Mbak Neph, sambil bilang, “Mbak Neph… ini cowok kayak siapa sih?”
Mbak Neph ikutan celingukan. “Sapa ya? Nggak tau deh, Jeung.. Kayak sapa, emang?” Lah, si Mbak. Kalau saya tau, ngapain saya nanya coba.. Ada-ada ajah.
Tapi.. sebentar.. sebentar… Saya celingukan lagi. Mengamati lagi. Lebih fokus. Lebih detil. Lebih pake hati *cieeh, romantiz amat liatnya pake hati segala, lu, Laa…* Dan.. ah… iya.. iya.. itu kannn..
“Kayaknya dia itu si JB, deh, Mbak…”
Mbak Neph pun langsung menoleh dan ikutan mengamati. “Hah? Si JB? Yang dulu ketemuan di Senayan itu, kan?”
“Iya… Si JB yang itu…”
“Lah, bukannya dia udah kemana gitu, kata kamu Jeung…”
“Nah itu dia. JB kan lagi di San Francisco ambil S2. Tapi kapan hari gua ceting sama dia, JB bilang lagi ada di Jakarta.. Pulkam gitu deh…”
“Ya tegor aja, Jeung…”
“Hah? Tegor? Gila ajah, Mbak. Iya kalo dia. Kalo bukan? Tengsin kan gua?”
Dan FYI, sepanjang percakapan ini, si JB Gadungan itu pake acara plirak plirik ke arah kami. Ini bukan karena dia naksir, tapi karena suara saya dan Mbak Neph emang disetel volume yang paling kenceng.. hehe..
“Yaaa… cuek aja lagi, Say… Ntar nyesel lho.. Sapa tau emang bener itu dia…”
JB bukan sih? Dari wajahnya sih, mirip banget. Kulitnya memang lebih gelap, tapi perawakannya sih JB banget. Tinggi besar. Gaya sok coolnya juga so very JB. Geez, saya benar-benar kepikiran untuk motong urat malu dan sok pede aja nyapa dia.
Tapi ternyata..
Meskipun si JB Gadungan itu beberapa kali mencuri pandang, meskipun saya hampir saja nekat untuk duduk di sampingnya dan bertanya, “mmm… excuse me… JB bukan, sih?” meskipun sumpah, semua kenangan tiga tahun bersama JB seakan-akan balik kembali dalam angan saya, tapi…
I didn’t have the balls to say it. I didn’t have any guts to say it out loud.
And then the moment’s gone…
Mobil Mbak Neph menjauhi tempat cuci mobil itu, meninggalkan seorang cowok ganteng yang masih sempat melihat saya dengan wajah penuh question marks *mungkin heran, ini ada cewek aneh liatin dia gitu.. hehe*, dan membuat saya sampai detik ini masih bertanya-tanya.
… what if he was really my first boyfriend?
… what if he was really JB?
Dan sampai sekarang, saya masih terus mengulang pertanyaan-pertanyaan itu. Uuuhhh… Kalau udah beginiiii aja, urat malunya lagi sehat-sehatnya. Coba kalau lagi barengan sama Gang Gila, udah merah padam kali wajah si JB gadungan itu karena saya bakal dengan malu-maluin duduk di sampingnya dan sok kenal ajah… 🙂
So JB…
Kalau elu iseeeennggg baca blog gua ini… Coba deh gua mau nanya. Hari Senin malem, tanggal 28 Juli 2008, sekitar jam sembilanan, elu ada di mana? Kalau emang elu lagi nyuci mobil di daerah Kalimalang, FYI nih.. cewek yang tadi pake bolero pink, daleman pink, dan rok jeans itu.. yang tadi ngelirik elu dengan segitu nepsongnya itu…. mantan cewek elu! Iya. Gua. Lala. Inget kan? Take care ya, JB.. Give my regards to Mama, Scar dan Rich… 🙂
Seorang teman baik yang rumahnya jadi ‘posko’ selama saya eksodus ke Jakarta (dibilang eksodus karena saya emang lagi fucked up dengan suasana di Surabaya dan sekaligus ketemu dengan The Asunaros, pastinya), langsung berteriak kegirangan ketika saya nanya via telepon, dua minggu yang lalu, “Eh, selama gua di Jakarta, boleh nginep di rumah Mbak, kan?”
Mbak Neph langsung dengan girangnya bilang, “Wahh.. asyik.. ya boleh dong Jeung.. Nginep ajaaahhh….”
Dan yang bisa saya tebak sebelumnya, Mbak Neph langsung nyamber dengan kalimat ini, “Eh, ntar kalau gitu kita dugdug ya?”
Hm.. Apa itu dugdug?
Tadinya saya nggak tahu dan nanya dengan begonya, “Dug-dug itu apaan sih, Mbak?”
Dan oalah.. yang dimaksud DugDug itu…. “Dugem, Cayankku… Dugdug itu artinya dugem.. Iseng aja gue bikin istilah gitu…”
Nah. Berhubung saya cuman tamu yang nginep gratis dan kemana-mana dianterin, tentu saya nggak enak ati juga kalau nolak permintaan dia. Eh, ini karena unsur kesopanan dan tata krama dong. Apalagi cuman sekedar dugdug. Bukan yang disuruh nyemplung sumur, kan? Jadi masih okay lah…
Malam minggu kemarin saya DugDug di X2, Senayan. Setelah meluncur dari rumah EmiChan (detil soal ini, di bagian cerita yang lain ya?), mengantarkan sahabat maya *ups, she’s for real now.. hehe*Â dan anaknya yang super luthu uthu uthu itu, saya, Mbak Neph dan Eneng langsung ke X2. Saat itu masih pukul sebelas lewat sedikit. “Ah, ngepel lanteinya nih kita…” kata Mbak Neph sambil mengurangi laju mobilnya. Maksudnya sih membunuh waktu.
Setelah kami puas ngobrol-ngobrol di dalam mobil (masih usaha killiing time), kami pun segera berjalan menuju lift yang bakal membawa kami sampai ke X2. Di situ saya mulai ngerasa “not belong there“. Kenapa? Hm.. ini karena, ketika saya menunggu lift dengan dua orang teman saya itu, ada beberapa orang lagi dengan penampilan super heboh. Three girls with sexy dresses. Sumpah, yang kebayang langsung scene demi scene di film Sex and The City deh! Mereka tidak terlihat cantik… tapi sumpah, seksi abis. Mbak Neph, saya, dan Eneng yang saat itu tampil standar banget alias kaos dan celana jeans langsung berbisik-bisik setelah ketiga perempuan itu berjalan mendahului kita saat keluar dari lift.
“Eh.. niat banget ya…” kata Mbak Neph.
“Gila, sampai ‘itu’nya tumpah semuah…” si Eneng. Dan yang dimaksud dengan ‘itu’ adalah ‘itu tuh’ *hehe, silahkan gunakan daya imajinasi kamu, ya…*
Dan apa yang saya komentari?
“Eh, keren banget ya bajunya…” Eventhough, maaf-maaf aja ya, saya sih merasa they were there for something… ya, that ‘something‘.
Saat masuk ke dalam spot yang lagi happening di Jakarta dan dibandrol seharga 100rebu dengan free first drink itu, saya langsung menyadari bahwa there was no live performance… I mean, band performance. Di situ hanya ada tiga ruangan dengan tiga orang DJ yang masing-masing bertugas untuk meramaikan suasana.
Hah…
DJ?
Just DJs? All nite long? Dengan musik yang jedak jeduk nggak penting dan nggak bakal berhenti sampai pukul empat pagi itu?
Huahh… rasanya pingin segera kabur saja dari sana…
Ditambah pula, karena nggak ada tempat duduk (dan katanya, musti bayar beberapa juta lagi supaya bisa dapet tempat di sofa yang bikin ngiler orang-orang yang kakinya gampang pegel seperti saya ini), saya harus rela serela-relanya untuk berdiri terus sambil mencoba untuk menikmati suasana.
APA YANG NIKMAT, YA???
Kalau yang lain bisa ‘kalap’ dan langsung goyang badan saat mendengar musik yang dipandu DJ perempuan yang super seksi itu, saya malah bengong aja sambil nyari tempat buat sandaran. Si Eneng pun bernasib sama. Dia ikutan nyender di tembok dan bengong aja melihat fashion on the street itu.
Sumpah.
Saya seperti melihat hutan rimba 😦
Dengan perempuan-perempuan yang nyaris ‘telanjang’…
Dengan laki-laki yang sibuk menggerayangi perempuan-perempuan mereka…
Dengan egolan dan goyangan badan yang nggak jelas…
Sambil merem melek pula…
Sambil mabok pula…
Dan rokok. Ya rokok. Batangan nikotin itu terselip hampir di semua jari pengunjung, laki-laki dan perempuan, dan asapnya berhembus dari mulut mereka seolah nikmat banget. Bikin polusi, apalagi ruangan berAC dan super crowded.
There.
Exactly the next one hour… saya memilih untuk ‘jahat’ dengan Mbak Neph lalu minta ijin untuk menunggu di luar bareng si Eneng yang matanya mulai berkunang-kunang (hey, we’re not drunk. Saya hanya pesan pineapple juice, Eneng dengan lychee juice, lalu sedikit alkohol untuk Mbak Neph). Ini bukan karena saya sudah males banget melihat ‘kelakuan rimba’ di depan mata saya itu *ah, ini kan urusan mereka, bukan urusan saya..*, tapi karena mata saya sudah mulai berair akibat adanya asap rokok di mana-mana.
Setelah Mbak Neph bertemu dengan satu temannya yang lain, barulah saya ‘tega’ meninggalkan Mbak Neph. Saya dan Eneng pun berjalan ke luar dengan hati yang riangnya nggak ketulungan. Huaaaahh.. paru-paru saya ikut berteriak kegirangan. Cenangnya.. cenangnya bisa nafas enak lagi.. Mungkin itu kata si Paru-Paru saya 🙂
Begitu sampai di luar dan menunggu di kursi-kursi kayu yang membentuk lingkaran itu, saya baru sadar kalau ternyata, banyak sekali yang ‘tepar’ seperti saya. Duduk di luar dengan pandangan mata lelah. Ada yang nyender di kursi. Ada yang melipat kaki. Ada yang ngantuk-ngantuk sambil memainkan ponsel.
Dan ya…
Ada mereka-mereka ini:
…satu orang anak perempuan, masih belasan tahun, dibopong seorang anak laki-laki seumuran dia yang saya asumsikan itu adalah pacarnya.. si perempuan tidak sadarkan diri… sedang mabok… Gemesnya, begitu dia didudukkan di sebelah si lelaki, beberapa temannya malah dengan usilnya mengambil photo dan bilang begini, “Ah, ntar gua masukin friendster nih…”
…segerombolan laki-laki dengan dua orang perempuan yang keluar dari X2 sambil ketawa ketiwi mabok… persis di dekat saya, tiba-tiba si perempuan maen jatuh aja dan teman-temannya malah ketawa ketiwi lagi… Dan ya, perempuan itu mungkin mabok dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk berdiri.
…sepasang Om-Om duduk di belakang Eneng dan temen saya itu mencuri dengar sedikit percakapan mereka. Apa isi percakapannya? Hold your breath… karena Om itu bilang begini, “Eh, gua tadi pegang-pegang pa****ra cewek lho… Gua remes sekalian…” Damn! Binatang sekali sih!!!
AAARRRRRGGGHHHHH!!!
I really hate to see it.
And deep down inside, saya berkali-kali bilang, “Amit-amit jabang bayi, deh, jangan sampai anak gua senakal itu…” Dan jangan pula, senakal emaknya ini! 🙂
Sambil menunggu Mbak Neph, saya dan Eneng akhirnya tertidur di kursi. Pules banget deh, meskipun begitu bangun, leher langsung pegel-pegel dan kaki kesemutan. Bangun-bangun sudah setengah tiga pagi dan melihat Mbak Neph berjalan ke arah kami dan mengajak pulang.
THANKS GOD! Akhirnya pulang juga.. hehe
On our way home… I thought about this thing.
Ya, saya tahu kalau X2 tidak akan menjadi my favorite spot. Ya, 100rebu dengan gratis sekali minum itu not worthy at all untuk mata belekan dan hidung megap-megap butuh oksigen bersih. Dan ya, eventhough saya ketemu sama Ivan Gunawan dan Adjie Notonegoro, saya lebih memilih untuk jalan ke Plaza Senayan buat ketemu artis-artis dan memungkinkan saya bisa melihatnya dengan jelas tanpa harus tertutup asap rokok (which btw, memang penting gituh ketemu sama artis? hehe)
Tapi…
Saya mendapatkan banyak hal dari dugdug malam itu…
Bahwa satu… people are really animals.
Bahwa dua… when you dress real sexy, you’ll put yourself in danger.
Bahwa tiga… don’t drink too much, know your own limit, if you want to stay awake all nite.
Dan bahwa empat… you’re old, Lala. Dugdug is so last year 🙂
So… Lala… masih mau dugdug lagi kamu, heh??? ^^
Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*
Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.
Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”
…bayangan…
…Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!
Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.
…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!
Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…
…sungguh, La? Dengan tenang?
…
…
…tidak.
Ternyata tidak.
Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.
Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.
Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.
Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.
I hate you… Damn I hate you!
Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…
It’s his hometown…
It could be the place I’d stay for the rest of my life…
with him.
…
It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.
Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…
Hm.
Sudah Lala.
It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.
Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.
Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.
Saya musti memaafkan dia.
Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.
It’s time to let go.
Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.
I have to do it. Really have to.
Karena saya…
dan dia…
adalah sejarah.
*inget itu Lala….*
Jakarta.
Saya punya banyak alasan untuk membenci kota itu. OK. I don’t mind about the traffic yang katanya bikin stress pengemudi-pengemudi kendaraan bermotor. Sebabnya? Selama di Jakarta, saya nggak pernah nyetir sendiri dan merasakan urat kaki yang menegang karena bergantian menginjak kopling, rem, dan gas dengan interval pendek dan frekuensi sering. OK. I also don’t mind about the lifestyle yang katanya membuat timpang antara yang mampu dan tidak mampu. Sebabnya? Buat saya, selama mereka memang bisa, berarti kita nggak boleh iri. Mungkin mereka memang deserve to do that, berarti simpan saja segala caci maki yang sumbernya dari iri hati itu. Sudah, sudah. Jadi diri sendiri saja.
Lantas, alasan apa yang membuat saya benci dengan kota Jakarta?
Pertama…
Karena di Jakarta punya Pasar Asemka. Yang Papi bilang, “Itu tuh tempatnya jualan Barbie-Barbie yang murah La…” Dan pernah, sepulangnya dari liburan di Jakarta, Papi membawa pulang dua puluh boneka Barbie, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Sebagai pecinta Barbie, saya musti rela rebutan nggak penting dengan keponakan-keponakan saya yang luthu-luthu itu. Ah… inget usia, Lala! 🙂
Kedua…
Herannya, di Jakarta itu kenapa sih banyak banget tempat-tempat sepatu, tas, dan baju yang murah-murah? Sebel, sebel, sebel. Karena saya ini doyan belanja *yang murah-murah lho… shopaholic ukuran ikan teri lah, maksudnya.. hehe*, kalau ngeliat barang murah, suka kalap jadinya. Betenya, meskipun di Surabaya sudah bisa dapet sendal lucu-lucu yang harganya murah.. eh ndilalah, di Jakarta harganya malah jauh di bawahnya! Huaaa… nangis nangis deh…
Ketiga…
Kenapa sih, Glodok nggak buka cabang di Surabaya? Jadi saya nggak perlu repot-repot pesen DVD (bajakan) lewat temen saya dan saya musti ekstra sabar buat nunggu barangnya sampai ke rumah *ya, pastinya, karena nungguin temen saya dolan ke Glodok lah! FYI, dia bukan yang punya toko, Sodara-Sodara…* Bayangin, nih. 5rb sudah bisa dapet satu DVD. Di Surabaya? Paling murah 6500. Itupun pake ngotot dan merayu-rayu segala. Juga pake acara beli minim 3. Kalau di Glodok… hmmm… nggak pake nawar juga dapet, katanya. Selisih 1500 itu lumayan lho… Apalagi buat pecinta DVD seri seperti saya… Satu seri aja bisa sepuluh keping sendiri, tuh.. Coba ambil kalkulator atau pake sempoa bayangan. Selisihnya udah tau kan? Banyak kan? Nah ituuuu.. ituuuu yang bikin saya beteee… 🙂
Tapi, nih, ketiga faktor itu memang bukan alasan major yang membuat saya benci dengan kota Jakarta. Ada satu alasan lagi yang membuat saya begitu benci dengan kota yang sebenarnya nggak punya salah sama saya itu.
Hmm… kalian tahu, nggak, apa alasan saya kenapa sampai segitu bencinya dengan kota Jakarta?
OK. Saya kasih tahu, ya…
Kenapa saya benci kota Jakarta…. karena…. di kota itu, ada satu mantan kekasih yang bikin saya bete surete semelekete pada kota Jakarta. Ya. Dialah yang memicu perasaan benci saya terhadap kota yang punya sejuta kenangan bersama dia. I remember the busway… Gimana saya dan dia musti antre di shuttlenya, sambil melihat satu orang ‘melambai’ yang ngelirik manja ke arah dia… Atau saat saya nggak bisa mengatur keseimbangan di atas busway dan hampir terjatuh, lalu akhirnya saya dan dia tertawa karena melihat ada satu orang perempuan dengan sepatu stileto berdiri dengan santainya tanpa ada rasa kuatir bakal terjatuh? I remember the nitewalks… Kelaperan, ngider cari makanan… Nemu satu tempat sate enak dan nongkrong sampai malam. I remember the shopping hours.. Saat dia ngomel-ngomel karena saya terlalu banyak membelanjakan duit hanya untuk sepatu-sepatu dengan model yang sama tapi saya maksa beli tiga pasang sekaligus karena suka banget sama warna-warnanya…
Dan yaa… semua canda-candaan itu.. jealousy itu… gandengan tangan itu…. dan setiap pertemuan dan perpisahan yang diakhiri dengan kecupan sayang di kening…
Yes. I hate Jakarta for that.
Karena di Jakarta, bersembunyi mantan pencuri jiwa yang kini entah ada di mana. Jakarta memang masih seperti rimba belantara. Bukan dengan pohon-pohon, tapi dengan gedung-gedung menjulang. Di situlah lelaki jahat itu bersembunyi. Lari dari hidup saya setelah saya percaya bahwa mungkin dengan dialah segala petualangan saya berakhir…
Sejak berpisah dengan laki-laki itu, saya nggak pernah terbayang untuk bisa menyentuh Jakarta lagi. Not after all the painful moments I had… Nggak… Saya nggak berani… Saya takut menyusuri kota Jakarta yang penuh dengan kenangannya. Saya takut menginjakkan kaki di bawah langit yang menaungi tempat sembunyinya. Saya takut… saya akan terkenang lagi dengan dia…
Padahal…
I love Jakarta.
Ada beberapa teman baik yang menunggu saya di sana. Mbak Neph… sahabat masa kecil saya. Inang dan Naleng, teman-teman kantor (Naleng udah keluar, sih) yang cerewet dan bawel *kami bertiga ini memang kompak! Pantesan, cargo-nya mlorot mulu.. hahaha.. boong, boong… nggak ada hubungannya kaliee…*. Terus ada Bachry, Dedy, Ubay… tiga orang cowok yang selalu baik nganterin saya kemana-mana selagi ada di Jakarta…
Rasanya naif sekali, ya, kalau saya membenci Jakarta dan memutuskan untuk ‘jauh-jauh’ saja darinya hanya karena satu orang jelek yang merusak segalanya?
Sampai akhirnya…
Saya menemukan dunia ini. Blogsphere. Kecanggihan teknologi yang mengantarkan saya pada persahabatan Asunaro, gang Empat Sekawan beranggotakan EmiChan, Om NH, Abang Hery, dan saya. Pada persahabatan dunia maya yang sekaligus membawa kembali ketakutan saya.
…kopdar… di Jakarta.
Damn.
Harus Jakarta ya? Kenapa kalian nggak ke Surabaya aja sih? 🙂 Atau kumpul-kumpul di Bandung gitu, sambil makan bubur ayam enak dan belanja-belanja jeans? Atau nongkrong di mana gitu, sambil metik buah stroberi?
Tapi, again, itu bukan pilihan, dan naif sekali kedengarannya kalau saya bilang begini, “Jangan kopdar di Jakarta dong, saya tuh takut banget bakal keingetan sama orang ini…”
Iiihhh….. nggak banget, kan?
Itulah.
Karena saya nggak mau dibilang naif… Karena saya juga nggak mau dibilang terlalu terjebak dengan masa lalu… dan juga karena daripada saya dipaksa untuk kopdar di Tokyo, tempat EmiChan *gila Bow.. duit dari mane???*… akhirnya… saya memutuskan untuk melakukan ini.
I’m going to Jakarta.
From tomorrow… till ten days ahead.
Seandainya saya ketemu orang jahat itu di pusat keramaian… then let it be.
Seandainya saya tiba-tiba keingetan sama kenangan-kenangan saya di Jakarta dengan dia… then let it be.