When love is lost, it’s not the letting go of your loved one that will hurt the most.
It’s the holding on to them that will be killing you…
~ Unknown
“Billy pulang kampung, lho, Bel.”
“…”
“This time is for good.”
“…”
“Sejak ayahnya meninggal, dia tau, dia harus pulang. Ibunya sendirian di sini, dia kasian.”
“…”
“Aku dikasih tau sama Dicky tadi pagi pas aku nyiapin sarapan. Kaget dengernya. Billy yang nggak pernah pulang dan milih untuk kabur ke luar negeri itu akhirnya pulang. Surprise banget!”
“…”
“Dicky bilang, semalem mereka ketemuan sama beberapa temen yang lain. Ada Iwan, Januar, Ratih, Siska.. reuni kecil-kecilan gitu, deh, Bel. Sampe malem, kayaknya. Soalnya pas jam sepuluh gue pamit mau tidur duluan, Dicky bilang dia masih sama Billy.”
“…”
“Billy sekarang berubah banget, Bel. Lebih tenang. Nggak kayak dulu yang grusa grusu banget jadi orang. Gemukan, katanya. Tapi tetep kayak dulu. Masih kayak bule.”
“…”
“Dia udah pindah ke Surabaya sejak semingguan yang lalu, tapi baru kemarin ngumpul sama temen-temen. Katanya masih ngurus pindahan. Dia beli rumah di daerah Citraland sana. Ngajak ibunya tinggal bareng sama dia.”
“…”
“Dia masih belum nikah, lho, Bel. Can you believe that?”
“….”
“Dicky sama aku mikirnya bisa sama, lho, Bel. Kirain Billy bakal kawin sama cewek bule gitu gara-gara kelamaan di Aussie. Eh, taunya masih jomblo sampai hari ini. Tau deh, kenapa.”
“…”
“Pas Dicky nanya, Billy cuman ketawa aja. Dia nggak tertarik cewek bule. Dia sukanya cewek-cewek Asia gitu.. Kayak, um… kamu.”
“…”
“Kayaknya dia belum bisa ngelupain kamu, Bel. Dia nanya kabarmu ke Dicky. Nanya apa kamu udah nikah, kamu tinggal dimana, kerja dimana.”
“…”
“He’s longing to meet you again, katanya. Dan pisah dari kamu waktu itu adalah kesalahan yang paling dia sesali.”
“…”
“Dia nyesel karena udah bikin kamu marah. Dia nyesel karena maksa pergi. Dia nyesel karena nggak pulang untuk maksa kamu ikut. He’s living his regret, Bel. Dia masih cinta banget sama kamu…”
“…”
“Dicky sampai sedih dengernya. Dia nggak sampai hati untuk bilang sama Billy kalau kamu…”
“…that I’m getting married in two days?”
“…”
“Kalau dalam dua hari ke depan aku bakal jadi istri orang dan penyesalannya sudah nggak ada artinya lagi?”
“…”
“Kalau secinta apapun dia sama aku, nggak akan memberikan pengaruh apa-apa?”
“Bel… Dicky nggak bilang apa-apa. Dicky nggak sampai hati.”
“Well, bilang Dicky, dia nggak perlu bilang apa-apa…”
“…”
“Karena Billy sudah tau, sejak seminggu lalu.”
Saya ingat wajah Billy. Bercahaya, ketika bertemu dengan saya, seminggu yang lalu. Saya ingat kalimat-kalimat penuh cintanya di surat elektronik yang datang rutin sebulan belakangan ini. Di telinga saya masih mendengungkan rayuan penuh cinta, kerinduannya, rasa penyesalannya karena telah meninggalkan saya demi mimpi-mimpinya saat itu. Di dada saya, masih mendenyutkan kenangan-kenangan kami berdua selama bertahun-tahun pacaran yang tidak akan pernah terlupa sekalipun saya amnesia.
He was the love of my life. Perebut semua logika, pembunuh semua rasa, pemantik rasa sakit yang tak berkesudahan sampai akhirnya Radja, calon suami saya, merangkul saya dengan cinta yang tak pernah saya rasakan sebelumnya.
Yes, Billy was the love of my life.
But now, he’s just a blast from the past.
Just like the kisses we shared, a week ago…
Will stay in the past.
**
Surabaya, Mar 15, 2014
Kata orang dewasa, anak kecil nggak boleh ikut campur urusan mereka. Aku cuma disuruh belajar dan bersikap baik di rumah. Tapi kadang, orang dewasa juga lupa, kalau aku masih punya telinga. Aku bisa tahu sesuatu lagi beres atau nggak di rumah.
![]() |
Gambar dari : http://weheartit.com/entry/66747180/via/Glamerina |
Aku sendiri masih belum mengerti arti selingkuh. Tapi Ibu selalu menggumamkan kata itu di sela isak tangisnya di kamar mandi. Oh, tentu saja aku mengintip untuk tahu. Mengendap dari selot pintu saat Ayah sudah membanting pagar. Ditambah lagi semua desisan marah yang datang dari kamar mereka kala aku berpura-pura menggelamkan diri pada halaman buku Fisika. Serta tak perlu kuhitung lagi helaan napas tak acuh dari Ayah saat Ibu mengurus piring sarapannya. Continue reading
Kepada kamu, yang mungkin sedang meringkuk di sofa sambil memandangi layar ponsel. Menunggu saya menghubungi, sekedar mengucap ‘selamat malam’. Atau sesekali melirik pintu berharap saya berjingkat masuk memeluk kamu.
Bagaimana kabar kamu? Sungguh saya sedang tidak baik, saya rindu sekali dengan kamu. Saya hampir gila menghitung hari yang tetsisa agar lekas menemui kam Continue reading
Saya senang dengan segala sesuatu yang serba rapi dan teratur. Itu sebabnya saya selalu menyusun pakaian sesuai dengan warna dan jenisnya. Supaya enak dilihat dan mudah diambil.
Saya tidak suka ribut-ribut. Saya hanya ingin hidup tenang. Dan itu tercermin dari warna kesukaan saya. Beige. Warna yang melambangkan keteduhan. Continue reading
Aku mengenalmu sudah sejak lama.
Sejak 6th yang lalu ketika kita sama-sama duduk di bangku SMA.
Senyummu,lesung pipitmu dan juga Poni Lemparmu tak berubah. Namun ada yang berbeda kamu semakin dewasa dan menarik. Mungkin itu yang membuat mataku berpaling padamu. Continue reading
Ini adalah Senin kesejuta kalinya kamu datang dengan muka tak bersemangat, tanpa make up tipis yang biasanya selalu menambah ceria wajahmu, kacamata yang aku tahu persis untuk menutupi mata bengkakmu karena menangis semalaman, dan senyum tipis yang kamu paksakan.
Di setiap Senin seperti ini, aku tahu kamu akan datang dengan sweater abu-abu kesayanganmu, sweater paling nyaman yang membuatmu merasa seperti dalam pelukan. Kamu akan melewati mejaku tanpa sapaan selamat pagi seperti biasanya. Satchel bag merahmu digeletakkan begitu saja di atas mejamu, lalu tanpa semangat, kamu mulai menyalakan komputermu dan mengecek emailmu. Continue reading
Aku rindu. Rindu rasanya tenggelam dalam pelukanmu.
Rindu rasanya diperjuangkan olehmu.
Nyatanya memang kamu tak lagi merindukanku.
Nyatanya memang kamu tak lagi berjuang.
Kamu lupa? Cinta butuh dua orang yang saling berjuang. Lalu bagaimana bila hanya aku yang berjuang? Jelaskan padaku, kamu gugur atau memang menyerah? Continue reading
Perempuan itu selalu kulihat, Mas. Di sana, di matamu.