archives

Archive for

Cinta

Cinta memang hadir tanpa alarm. Tanpa peringatan. Tanpa suara terompet yang terdengar begitu kencang dan membangunkanmu dari tidur panjangmu, membuatmu tergopoh-gopoh untuk segera menengok siapa yang akan datang ke dalam hatimu.

Tidak.

Cinta hadir tanpa disertai gemerincing lonceng kecil yang berbunyi di setiap langkah, membuat tersadar dan bersiap menyambutnya. Cinta tidak pula hadir dengan pesan di langit, apalagi di handphone, hanya sekadar bilang bahwa dia akan datang. Siap-siaplah.

Tidak.

Cinta hadir tiba-tiba. Tak perlu menunggu siap tidaknya kamu. Tak perlu menunggu, mau tidaknya kamu menerimanya bertamu. Cinta datang tanpa perlu persetujuanmu. Mau tak mau, kamu harus mau.

Karena cinta, meski datang seolah tanpa diminta, tapi sejatinya ia datang karena hatimu yang subur untuk tempat tumbuhnya. Seperti magnet yang mencari pasangannya, cinta akan bergerak segera mencari kutubnya. Ingin berlekatan. Ingin berdekatan.

Jadi cinta yang hadir tiba-tiba itu, sejatinya adalah soal waktu.

Ketika rasa kagum berubah kecanduan, bersiap-siaplah cinta datang mengetuk pintu hatimu sewaktu-waktu.

Buka saja pintu hatimu.

Persilahkan masuk, suguhi teh manis hangat dan pisang goreng panasmu.

Jika cinta itu mengetuk tepat di sebuah hati yang menunggu, bilang padanya, untuk tetap singgah dulu, sampai waktu yang belum tentu.

Dan jika cinta itu tak baik buatmu, bilang padanya, ada hati perempuan lain yang lebih pantas dia singgahi, dan bukan hatimu.

Tapi, selalu titipkan pesan padanya, untuk datang kembali lain waktu.

Siapa tahu.

Di saat itu,

tak ada lagi,

perempuan yang lain-lain itu.

Karena lelaki yang sedang kamu cintai setengah mati itu, hanya milikmu. Satu.

**

#Cerpen 9: Ayah dan Rahasianya (@dinikopi)

Kata orang dewasa, anak kecil nggak boleh ikut campur urusan mereka. Aku cuma disuruh belajar dan bersikap baik di rumah. Tapi kadang, orang dewasa juga lupa, kalau aku masih punya telinga. Aku bisa tahu sesuatu lagi beres atau nggak di rumah.

Gambar dari : http://weheartit.com/entry/66747180/via/Glamerina

Aku sendiri masih belum mengerti arti selingkuh. Tapi Ibu selalu menggumamkan kata itu di sela isak tangisnya di kamar mandi. Oh, tentu saja aku mengintip untuk tahu. Mengendap dari selot pintu saat Ayah sudah membanting pagar. Ditambah lagi semua desisan marah yang datang dari kamar mereka kala aku berpura-pura menggelamkan diri pada halaman buku Fisika. Serta tak perlu kuhitung lagi helaan napas tak acuh dari Ayah saat Ibu mengurus piring sarapannya. Continue reading

Cerpen #8 : Balasan Sepotong Rindumu (Sarah Aghnia)

Kepada kamu, yang mungkin sedang meringkuk di sofa sambil memandangi layar ponsel. Menunggu saya menghubungi, sekedar mengucap ‘selamat malam’. Atau sesekali melirik pintu berharap saya berjingkat masuk memeluk kamu.

Bagaimana kabar kamu? Sungguh saya sedang tidak baik, saya rindu sekali dengan kamu. Saya hampir gila menghitung hari yang tetsisa agar lekas menemui kam Continue reading

Cerpen #7 : Saya, Kamu, dan Dia (Ochie Motskee)

Saya senang dengan segala sesuatu yang serba rapi dan teratur. Itu sebabnya saya selalu menyusun pakaian sesuai dengan warna dan jenisnya. Supaya enak dilihat dan mudah diambil.

Saya tidak suka ribut-ribut. Saya hanya ingin hidup tenang. Dan itu tercermin dari warna kesukaan saya. Beige. Warna yang melambangkan keteduhan. Continue reading

Cerpen #6 : Candu Itu, Kamu. (Hilda Nurina)

Saya tidak pernah tahu benar apa itu definisi candu.
Mungkin candu adalah kegilaan saya pada warna beige. Warna kalem yang membuat hati saya menjadi teduh. Yang membuat saya ketagihan melukis apartemen dengan nuansa warna yang menenangkan itu. Yang membuat saya terus menambah satu demi satu koleksi benda berwarna beige untuk memenuhi seluruh ruangan.
Atau mungkin juga, candu itu kegemaran saya akan roti tawar bersemir srikaya. Saya menggilai rasa nikmat dan rasa manis dari lapisan tebal srikaya yang saya kunyah. Membuat saya tak pernah berhenti menikmatinya setiap pagi.
Lagi dan lagi. Continue reading

Cerpen #5 : Kamu, Kebiasaanmu (Nur Laily)

Aku mengenalmu sudah sejak lama.

Sejak 6th yang lalu ketika kita sama-sama duduk di bangku SMA.
Senyummu,lesung pipitmu dan juga Poni Lemparmu tak berubah. Namun ada yang berbeda kamu semakin dewasa dan menarik. Mungkin itu yang membuat mataku berpaling padamu. Continue reading

Cerpen #4 : Senin Terburukmu (Alicia Lumiere)

Ini adalah Senin kesejuta kalinya kamu datang dengan muka tak bersemangat, tanpa make up tipis yang biasanya selalu menambah ceria wajahmu, kacamata yang aku tahu persis untuk menutupi mata bengkakmu karena menangis semalaman, dan senyum tipis yang kamu paksakan.

Di setiap Senin seperti ini, aku tahu kamu akan datang dengan sweater abu-abu kesayanganmu, sweater paling nyaman yang membuatmu merasa seperti dalam pelukan. Kamu akan melewati mejaku tanpa sapaan selamat pagi seperti biasanya. Satchel bag merahmu digeletakkan begitu saja di atas mejamu, lalu tanpa semangat, kamu mulai menyalakan komputermu dan mengecek emailmu. Continue reading

Cerpen #3. Aku Berhenti (Asri Ayu)

Aku rindu. Rindu rasanya tenggelam dalam pelukanmu.

Rindu rasanya diperjuangkan olehmu.

Nyatanya memang kamu tak lagi merindukanku.

Nyatanya memang kamu tak lagi berjuang.

Kamu lupa? Cinta butuh dua orang yang saling berjuang. Lalu bagaimana bila hanya aku yang berjuang? Jelaskan padaku, kamu gugur atau memang menyerah? Continue reading

Cerpen #2 , by Jean Maryam

Perempuan itu selalu kulihat, Mas. Di sana, di matamu.

                         Ada sosok cantik yang selalu kau bawa kemanapun. Iya disana, di matamu. Harusnya aku cemburu lalu memakimu dengan buas setiap kali matamu membawanya pulang kerumah ini. Tapi aku kalah, aku kalah oleh seorang perempuan yang bahkan hanya kutemui di matamu.
                         Aku tidak ingin tahu secantik apa dia. tidak ingin tahu sepintar apa dia. tidak ingin tahu sehebat apa dia. tidak ingin tahu gaya apa yang dia pakai saat bercinta denganmu. Aku tidak peduli!
                         Aku hanya ingin tahu kenapa perempuan itu bisa selalu di matamu, kenapa cintanya begitu tak bisa kau sembunyikan. Dan lagi-lagi aku kalah oleh seorang perempuan yang selalu menari-nari saat aku menatapmu.
                         ‘aku yang sekedar isterimu ini’ hanya sedang menikmati setiap debit emosi yang menjalar panas, keluar dan hampir membuncah sebentar lagi. Aku selalu bersusah payah melihat matamu lebih dalam dan berharap menemukanku disana. Tapi kosong, selalu begitu. Perempuanmu itu sudah sangat memiliki matamu, bahkan memilikimu.
                         Memang selalu begitu . butuh berapa kali penegasan lagi ? tidak sehari . tidak seminggu . tidak juga setahun aku memperhatikanmu seperti ini . tapi 4 tahun. 4 tahun sejak pernikahan kita dan dia selalu kau bawa kerumah ini, lewat matamu. Tanpa sungkan, kau mengajaknya dan membiarkannya bersama kita dalam retinamu saat kita bercinta. Dan itu pedih. Kau mencumbunya, bukan aku. Tapi aku kalah. Harus kalah. Dan akan selalu kalah. Perempuanmu itu memang seharusnya selalu di matamu, membuatmu selalu jatuh cinta dan begitu merah muda.
                “kau bahagia, Mas. Teramat.. harusnya aku senang melihatmu. Harus!”
                         Mas, terima kasih sudah mau mencintai anak-anaku dan selalu mau menjaga perasaanku selembut dan selama ini. Terima kasih sudah mau bertahan sejauh ini. Terima kasih sudah menjadikanku ‘sekedar isteri’ yang sangat kuat, Mas terlalu sempurna menjadi Suami dan Ayah, dan tentunya Mas terlalu manut menjadi seorang anak tunggal.
                         Demi Mas dan hati yang sudah mau Mas korbankan, Aku siap menjadi ‘sekedar isteri’ selama apapun itu. Demi anak-anak yang selalu mencintaimu dan selalu menunggumu kembali setelah ‘rapat luar kota’ setiap empat minggu, Demi ibu dan ayah Mas yang teramat ingin menjadikanku isteri mu yang kenyataannya ‘sekedar isteri’ saja, dan demi perempuanmu yang sempat kurebut lelakinya.
***

Cerpen # : 1Selalu Ingin Kembali. Padamu. (Karina Armelia)

Aku tahu sudah lama kita bersama, menjalani satu hari penuh dengan bahagia seolah tak ada dosa, meski sebenarnya, pada dunia kita berdusta.
Empat tahun kita bersama, betulkah hanya kebisaan terakhirku yang tak kamu suka? Kembali ke Jakarta, ke anak istriku di sana? Aku… hanya bisa meminta maaf.
Tahukah kamu bahwa di sana pun aku tak bahagia, aku masih memikirkan kamu yang kutinggal, memikirkan hari yang lambat laun bergerak maju, hingga tanggal tua tiba dan aku dapat segera melaju. Menuju kamu yang di sana, yang sesampainya di situ selalu menyuguhkan aku segelas air putih untuk berkumur dulu.  Continue reading

Catatan Harian

July 2013
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Celotehan Lala Purwono