you're reading...
Fiktif

Perempuan yang Menunggu

Catatan ini dibuat di Twitter, 53 twits, mulai pukul 22.16 – 23.43
Dgn hashtag: #fiksiLala

***

Ada sebuah bangku, di bawah pohon rindang yang sesekali menampung butiran air hujan dan menumpahkan ke bawah dalam tiap bisikan angin.

Bangku kayu yang basah terhujam panah tangisan langit, lalu mengering sendirinya oleh terik mentari di musim kemarau

Seolah angkuh menantang musim. Biar hujan mengguyur, biar matahari membakar, bangku kayu itu tetap di sana. Merapuh bersama waktu.

Ia tidak angkuh, bisik Pohon. Ia tidak bisa melangkah. Keempat kakinya tertanam dalam di tanah, mencengkeram sampai mata kakinya. Ia terpaksa!

Lalu kulihat rupa wajahnya. Garis-garis yang terlukis di bilah tubuhnya. Lalu kusentuh permukaan tubuhnya. Lembab, dingin, sepi.

Bangku itu seolah berdenyut saat kuraba, saat kutelusuri seluruh wajahnya. Ia seperti mengajakku berbicara!

Kulekatkan permukaan tanganku, makin kurasakan denyut tubuhnya. Samar kudengar ia berbisik, “Kamu masih lama?”

Aku tersentak. “Masih lama?” Kenapa ia bertanya dan kenapa pertanyaan itu yg mbuncah dari mulutnya membuat aku terdiam.

Bangku itu menggeliat. “Sudah berapa musim musti kutemani?” Denyutnya makin kencang. “Tidakkah kamu lelah? “Aku sampai tak sanggup menghitung berapa musim aku musti menemanimu di sini,” katanya padaku. “Aku mulai lelah.. Bahkan helai daun-daun pohon di sampingku sudah berganti beberapa kali, rontok dan tumbuh kembali. Tapi kamu..msh di sini. Kamu tak beranjak. Kamu tak bergerak. Kamu hanyut dalam waktu.”

Denyutnya melambat. Denyutku yg semakin cepat!

Aku diam, tapi pikiranku yg gaduh. Pertanyaan itu mengusikku. “Sampai kapan menunggu?” Ah. Memangnya aku tahu?

Aku tak tahu, se-brp lama lagi musti menunggu. Waktu berlarian di depanku. Musim bergantian menyapaku. Tapi aku msh tak tahu.

“Jika lelaki itu mmg ingin berada di sampingmu, ia tak segan2 untuk segera pulang dan mencium bibirmu.” Bangku mulai rewel.

“Dan jika ia mencintaimu lebih dr anganmu, tak mungkin ia biarkan kamu menunggunya sampai 6 musim lamanya!” Pohon menimpali.

Pohon merunduk. Bangku mulai rapat memeluk. Aku kehabisan nafas. Aku kehilangan argumen untuk membalas mereka. Aku diam.

Mrk benar. Cinta mampu menumbuhkan sayap dan mengajak seseorang terbang melayang menjemput kekasihnya. 6 musim terlalu lama..

Lelaki itu memang tak akan pernah datang. Lelaki itu akan terus menjadi fatamorgana dalam hatiku yg haus akan rindu.

Karena jika ia benar mencintaiku, angin akan membisikkan rindunya lalu membuatku sabar menunggu. Tdk dlm sepi. Jg sendiri.

“Aku bodoh, ya?” Kusandarkan tubuhku di dadanya. Bangku kayu memelukku. Pohon makin merunduk, melindungiku dr terik matahari.

“Bodoh?” Pohon tersenyum. “Tidak. Kamu hanya jatuh cinta yg terlalu dlm lalu mengabaikan logika.”

“Logika itu kau tinggalkan di bawah kolong tempat tidur lalu kau menyepi di sini,” timpal Bangku.

“Aku juga mengabaikan kalian…” Kuelus lembut punggung tangannya. Denyutnya terasa lembut. Tidak sekencang tadi. “Aku terlalu egois. Memaksa kalian ttp di sini, menemaniku dalam tiap putaran musim, dan tak peduli kalau kalian sdh lelah.. Tak kupedulikan catmu yg tkelupas. Tak kupedulikan daunmu yg rontok.” Kupandangi mereka. “Aku hanyut dlm anganku sendiri..

Meski kalian tahu semua ini percuma, tp kalian sll ada..Tidak seperti lelaki itu, yg kutunggu 6 musim lamanya, tp tak ada.”

“Karena kami sahabatmu,” tukas Pohon. “Kami menghargai pendapatmu dan inginmu meski kami tahu…” Ia tersenyum.

“Lalu kenapa akhirnya kamu menanyakan sampai kapan aku bakal menunggu di sini?” Bangku kayu membingkai senyumnya.

“Karena…” Bangku kayu makin erat memelukku. “Kami tahu.. Di sudut taman sebelah sana, seorang lelaki tlh lama mengamatimu.”

“Dia tak berani menyapa, krn km selalu sibuk dengan mimpi2mu dan fatamorgana itu,” lanjut Pohon. “Tp ia pnh bertanya pdku..”

Aku diam saja. Mataku malah sibuk mencari sosok lelaki yg dimaksud oleh kedua sahabatku itu.

“Dia tanya.. Apakah ia boleh beristirahat di bangku ini. Ddk di sampingmu. Krn rupanya ia sdh tak sanggup lg membeku sendiri. Ia sama sepertimu. Menunggu. Dan ia mulai risau pada waktu. Ia butuh kepastian. Boleh ikut duduk atau pergi saja.”

“Tapi.. Umm.. Lantas.. Aaah, bagaimana kalau lelaki itu datang? Bagaimana kalau ia dtg dan menemuiku berdua dg yg lain?”

“Berhentilah merancang mimpi dan mulailah menjalani hidupmu,” tukas Pohon. “Mimpi memang indah, tp tak pernah bs kau sentuh.”

“Biarkan ia menemanimu. Lewati musim2 yang baru. Hatimu yg akan menjawab seiring waktu, masih sudikah kamu menunggu.”

Pohon makin merunduk. “Dan aku tahu, hatimu bakal tahu, siapa yg akan membuat kedua belah pipimu paling bersemu..”

“Siapa tahu mmg lelaki yg tengah mengintipmu itu. Atau siapa tahu juga sebaliknya, lelaki yg kau tunggu bakal dtg mjemputmu.”

“Skenario Tuhan tak segampang itu ditebak seperti sinetron buatan manusia. Byk kejutan, dg akhir tnp air mata.”

“Jadi kenapa musti mengunyah waktu sendiri kalau remah2 itu bisa kamu nikmati bersama dg seseorg yg lain?”

Bangku makin rapat memelukku, lagi dan lagi. “Biarkan ia duduk di sini, ya? Biarkan ia membuat wajahmu kembali ceria..”

Ada sebuah bangku kayu. Di bawah pohon rindang. Yg sewaktu2 berbisik setiap angin mengusik.

Ada seorang lelaki, yang berdiri menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon yg rindang, beberapa meter jaraknya dari bangku kayu.

Dan ada seorang perempuan, yg duduk sendiri, bercakap2 dalam diam, dengan pikiran yg menggemuruh

Perempuan yg isi hatinya penuh dg mimpi tentang Kekasih yg berjanji kembali tapi tak segera penuhi sampai 6 musim lamanya..

Perempuan itu mulai lelah. Lelaki yg diam2 mengamatinya jg mulai lelah. Mrk perlu duduk bdua dan bercerita ttg kelelahannya.

Aku, perempuan itu, akhirnya berkata, “Bilang padanya.. Temani aku di sini, sampai wkt jelaskan apa maunya…”

Musim ke-6 mulai berakhir. Daun mulai rontok. Bangku itu makin renta. Mrk kini tak banyak bicara. Denyutpun tidak.

Tapi tak apa. Kini seorang lelaki duduk di sampingku, membagi cerita, mengurai tawa bersama. Aku.. Bahagia.

Ya. Aku bahagia. Meskipun di sudut hati selalu kutunggu, lelaki fatamorgana itu, sampai hatiku kebas, mati rasa..

***

Kamar ponakan, Senin, 30 Agustus 2010

About Lala Purwono

Published writer (or used to be, darn!). A wife. A mom. A friend that you can always count on.

Discussion

6 thoughts on “Perempuan yang Menunggu

  1. iya lah lupain aja lelaki fatamorgana itu.
    ngapain menunggu fatamorgana kalo ada yang nyata2 di depan mata… 😀

    Posted by arman | August 31, 2010, 7:03 am
  2. Penantian yang sia2 nduk..
    Selak kiamat lho he he he
    salam hangat dari Sukolilo

    Posted by Pakde Cholik | September 2, 2010, 11:49 am
  3. kalo ngak ada kepastian mending cari yang pasti aja 😀

    Posted by orange float | September 4, 2010, 3:48 pm
  4. ini kapan yak?
    kok aku ga tau

    Posted by depz | September 5, 2010, 12:05 pm
  5. Logika pasti bilang begitu. Untuk apa menanti yang sia-sia. Tapi apakah urusan hati selalu bisa dijalankan dengan logika ?

    Posted by Emiralda | March 18, 2011, 10:18 am

Trackbacks/Pingbacks

  1. Pingback: tariadmojo.com mo digusur « Oyen punya cerita - September 1, 2010

Leave a reply to depz Cancel reply

Catatan Harian

August 2010
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031