archives

Archive for

Perpisahan

Ada suatu malam, ketika lengan merapat dan desah nafas mereka saling bersahutan, seorang Perempuan bertanya kepada Lelaki yang tengah merangkulnya erat, seolah melindungi tubuh Kekasihnya dari tiupan angin dingin dan menjaganya tetap hangat.

“Kamu takut berpisah denganku?” tanyanya dengan nada melankolis. Perempuan yang satu itu memang sangat sensitif, serta butiran kata-kata yang meluncur dari bibirnya selalu romantis.

“Kamu mau kemana?” si Lelaki balik bertanya sambil terus merangkul hangat.

“Misalnya saja, kita harus berpisah,” si Perempuan melanjutkan kalimatnya. “Kamu takut kita berpisah?”

“Sayang,” kata si Lelaki. “Memangnya kamu mau kemana?”

Perempuan itu menghela nafas. “Aku tidak bicara soal jarak dan waktu.”

“Lantas?”

“Aku bicara soal kamu. Aku bicara soal aku. Aku bicara soal kita selesai. Kamu, aku, selesai.”

“Putus?”

“Berpisah.”

“Aku tidak takut,” ujar Lelaki itu dengan tegas, sambil terus merangkul gadisnya dalam satu rangkulan hangat.

Perempuan menoleh, memandang wajah Kekasihnya. “Karena kita nggak mungkin berpisah?”

Si Lelaki menggeleng.

“Lantas?”

Si Lelaki memandangnya. “Karena aku tahu, ketika jarak masih bisa ditempuh dan waktu masih mau bergulir untuk kita berdua, Tuhan akan mencari cara untuk kita berdua agar bisa saling menemukan lagi, di suatu kepingan masa yang akan datang…”

“Yakin, Tuhan akan mencari cara untuk kita?”

“Tuhan tahu aku mencintaimu. Tuhan tahu, separuh jiwa ini sudah bukan lagi milikku, tapi milikmu. Tuhan tahu, cintaku buat kamu adalah kreasi terindahNya untukku, sehingga Dia akan mengajariku cara-cara untuk menemukanmu lagi, di belantara kehidupan yang entah kapan itu…”

“Jadi kalau kita berpisah, kamu bakal tenang dan tak sedih?”

Si Lelaki makin erat merangkul Perempuannya sambil menghadiahi kecupan sayang di ubun-ubun Kekasihnya. “Selagi bukan kematian yang memisahkan aku denganmu, Sayang, aku tidak akan sedih.”

“Kenapa?”

“Karena hanya kematianlah yang kuanggap sebagai perpisahan yang abadi. Ketika jeda dan jarak tak lagi mampu dijembatani dengan apapun, sudah tak mampu ditempuh dengan apapun, sekuat apapun kita menghabiskan energi untuk saling bertemu kembali…”

“…”

“Saat itu, aku berjanji akan sangat bersedih karena berpisah denganmu.”

Dan malam itu semakin melarut, sementara pelukan itu semakin merapat. Desah nafas mereka masih bersahutan. Dan untuk pertamakalinya, si Perempuan menikmati hembusan nafas yang keluar dari hidung Kekasihnya, suara nafas yang samar terdengar di telinganya, serta gerakan naik turun dadanya.

Karena itu artinya, mereka belum lagi berpisah…

**
Kamar, 30 Juni 2010, 11.34 Malam
Kepada ‘dia’
Terinspirasi dari kisah cinta Habibie-Ainun

Perpisahan

Ada suatu malam, ketika lengan merapat dan desah nafas mereka saling bersahutan, seorang Perempuan bertanya kepada Lelaki yang tengah merangkulnya erat, seolah melindungi tubuh Kekasihnya dari tiupan angin dingin dan menjaganya tetap hangat.

“Kamu takut berpisah denganku?” tanyanya dengan nada melankolis. Perempuan yang satu itu memang sangat sensitif, serta butiran kata-kata yang meluncur dari bibirnya selalu romantis.

“Kamu mau kemana?” si Lelaki balik bertanya sambil terus merangkul hangat.

“Misalnya saja, kita harus berpisah,” si Perempuan melanjutkan kalimatnya. “Kamu takut kita berpisah?”

“Sayang,” kata si Lelaki. “Memangnya kamu mau kemana?”

Perempuan itu menghela nafas. “Aku tidak bicara soal jarak dan waktu.”

“Lantas?”

“Aku bicara soal kamu. Aku bicara soal aku. Aku bicara soal kita selesai. Kamu, aku, selesai.”

“Putus?”

“Berpisah.”

“Aku tidak takut,” ujar Lelaki itu dengan tegas, sambil terus merangkul gadisnya dalam satu rangkulan hangat.

Perempuan menoleh, memandang wajah Kekasihnya. “Karena kita nggak mungkin berpisah?”

Si Lelaki menggeleng.

“Lantas?”

Si Lelaki memandangnya. “Karena aku tahu, ketika jarak masih bisa ditempuh dan waktu masih mau bergulir untuk kita berdua, Tuhan akan mencari cara untuk kita berdua agar bisa saling menemukan lagi, di suatu kepingan masa yang akan datang…”

“Yakin, Tuhan akan mencari cara untuk kita?”

“Tuhan tahu aku mencintaimu. Tuhan tahu, separuh jiwa ini sudah bukan lagi milikku, tapi milikmu. Tuhan tahu, cintaku buat kamu adalah kreasi terindahNya untukku, sehingga Dia akan mengajariku cara-cara untuk menemukanmu lagi, di belantara kehidupan yang entah kapan itu…”

“Jadi kalau kita berpisah, kamu bakal tenang dan tak sedih?”

Si Lelaki makin erat merangkul Perempuannya sambil menghadiahi kecupan sayang di ubun-ubun Kekasihnya. “Selagi bukan kematian yang memisahkan aku denganmu, Sayang, aku tidak akan sedih.”

“Kenapa?”

“Karena hanya kematianlah yang kuanggap sebagai perpisahan yang abadi. Ketika jeda dan jarak tak lagi mampu dijembatani dengan apapun, sudah tak mampu ditempuh dengan apapun, sekuat apapun kita menghabiskan energi untuk saling bertemu kembali…”

“…”

“Saat itu, aku berjanji akan sangat bersedih karena berpisah denganmu.”

Dan malam itu semakin melarut, sementara pelukan itu semakin merapat. Desah nafas mereka masih bersahutan. Dan untuk pertamakalinya, si Perempuan menikmati hembusan nafas yang keluar dari hidung Kekasihnya, suara nafas yang samar terdengar di telinganya, serta gerakan naik turun dadanya.

Karena itu artinya, mereka belum lagi berpisah…

**
Kamar, 30 Juni 2010, 11.34 Malam
Kepada ‘dia’
Terinspirasi dari kisah cinta Habibie-Ainun

Blaming…

Perempuan itu terbangun. Nafasnya turun naik seperti seorang pelari cepat yang sudah sampai di garis finish. Dengan tergesa, dia melihat jam weker digital yang berdiri manis di samping tempat tidurnya. Matanya segera terbelalak saat melihat angka-angka yang tertera di layarnya. Angka 4, dan 17. Artinya, tiga belas menit menuju pukul setengah lima. Dan kalau sedikit lagi sudah sampai pukul setengah lima, artinya dia sudah satu jam terlambat!

Tuhan!

Dia berteriak-teriak sendiri sambil bangkit dari tempat tidurnya. Pergi ke kamar mandi, mencuci wajahnya, menyikat gigi, lalu kembali ke kamar, mengaduk isi lemari sebentar untuk menemukan sehelai kaos dan celana jeansnya. Untung ia sudah menyiapkan traveling bagnya dari semalam. Entah apa jadinya kalau hari ini dia masih harus menyiapkan semuanya sementara jarum jam tak mau berhenti sejenak untuk berkompromi. Bisa-bisa dia semakin senewen.

Sambil terus berlari, hinggap dari satu tempat ke tempat lain, bolak-balik kamar mandi, lemari, tempat tidur, sampai akhirnya sambil menenteng traveling bagnya, dia berjalan ke dapur untuk mencomot sebutir apel merah dari atas meja saji lalu mulai meninggalkan kamar studio apartemennya. Usai mengunci pintu, dia melangkah menuju lobby sambil mengunyah daging apel yang masih segar itu.

Nafasnya masih sama memburu, bahkan lebih kencang dibandingkan saat ia baru bangun, sepuluh menit yang lalu. Sambil terus melangkah menuju lobby yang terletak dua belas lantai di bawahnya, dia berharap agar tak ketinggalan pesawat.

Semoga!

*

“Ngebut, ya, Pak!” serunya pada supir pribadinya yang sudah stand by sejak satu setengah jam yang lalu, sesuai dengan janji mereka kemarin. Dia menghempaskan tubuh di kursi belakang.

“Iya, Neng…” Supirnya melirik dari spion dalam. “Pesawat jam berapa?”

“Jam enam, Pak.”

Satu jam.
Dengan jarak tempuh sekian puluh kilometer.

Si Supir menghitung-hitung angka itu di dalam isi kepalanya sambil terus memacu mobilnya. Ketika ia menemukan jawaban dari hasil perhitungannya, pedal gas mobil itu makin ditekannya lebih dalam. Rupanya ia harus menekan lebih dalam dan jauh lebih dalam lagi jika tidak ingin si Eneng cantik ini terlambat naik pesawat.

Bruummm!!

*

Antrian yang mengular naga menyambut pandangannya ketika sampai di bandara. Tergesa dia berlari masuk, ikut mengantri sambil komat-kamit berdoa. Semoga masih sempat, semoga masih sempat…

Ada banyak doa yang terucap dari bibirnya. Semua doa yang ia tahu, termasuk doa-doa buatannya sendiri. Doa memohon keajaiban agar pesawatnya tak segera berangkat dan mau menantinya. Doa memohon keajaiban agar orang-orang yang sedang antri di depannya mendadak lenyap lalu dalam hitungan detik dia sudah berhasil check in dan bisa duduk dengan tenang di boarding room.

Tapi, keajaiban memang tidak datang berkali-kali. Dan pastinya, tidak di pagi itu.

Dari tiga jadwal penerbangan pagi itu, hanya ada dua loket yang terbuka untuk melayani seluruh penumpang. Rangkaian antrian yang bergerak perlahan itu semakin membuat emosinya turun naik, seperti degup jantungnya. Sementara waktu terus berdetik, tapi entah mengapa antrian itu tak bergerak secara signifikan. Berkali-kali dia menjulurkan lehernya, mencari tahu. Kegelisahannya begitu nampak lewat bulir-bulir keringat di dahinya, juga dalam setiap lekuk permukaan tangannya, dan tentu saja lewat gerutuannya yang keras. Berharap ada yang mengerti gelisahnya, tapi antrian di depannya tetap tak peduli.

Ow, shit!

Berdoalah perempuan itu semakin panjang.
Delay, dong, delay…
Sempet, dong, sempet…
Gue nggak mau terlambat!

Tapi doa egois itu tak terjawab.
Pesawat tetap membumbung tinggi, membelah langit kotanya dan terbang menuju pulau Dewata. Pesawat tetap membumbung tinggi, meninggalkan Eneng cantik berambut panjang yang akhirnya merasa lemas di depan loket check in hanya untuk mengetahui kalau dia ketinggalan pesawat..

Dammit!

**

Sepagian itu, Eneng cantik itu mulai berkoar-koar pada sahabat-sahabatnya.

“Lo tau, loketnya cuman buka dua, padahal itu buat ngeladenin tiga penerbangan. Gila, kan? Nggak professional banget nih, Perusahaan Penerbangannya!”

“Udah tiketnya super mahal, the most expensive local ticket I’ve ever bought, tapi pelayanannya jelek banget!”

“Masa, pas gue mau refund tiket, katanya nggak bisa. Nggak canggih kayak Perusahaan Penerbangan yang kelas Internasional itu. Tau gitu, gue ogah beli tiket Udara Asia!”

“Gue musti nambah total 900ribu! Gila, kan?”

“I am officially buying a business class ticket to have an economic service… D’oh!”

“Yaaa…. Padahal gue niatnya mo kasih kejutan buat Bokap, ketemuan di Bandara… Bokap, kan, nggak tau kalo gue bisa ikutan ke Bali… Kalo begini, rusak deh plan gue. Gue nggak bisa nyambut Bokap karena Bokap udah dateng duluan!”

“I have to wait ‘til 10.40 am… Oh, God! Sabar, sabar, deh….”

Perempuan itu terus menggerutu.
Terus menerus begitu.
Mulutnya maju, dahinya berkerut, emosinya masih turun naik.

Dengan sebal, dia duduk di kursi tunggu, sambil terus menghujat Perusahaan Penerbangan yang dianggapnya tidak professional sembari berjanji: “Gue gak bakal naik pesawat terbang ini lagi!”

**

Aku tertawa.

Tidak, bukannya aku menyukai seseorang sedang tertimpa masalah, dan bukannya aku seorang penari yang sedang menggeliat di atas luka orang lain, tapi saat itu aku tertawa karena aku merasa si Eneng cantik itu melupakan akar permasalahannya.

She woke up too late.
Dia. Terlambat. Bangun.
Sesederhana itu.

Semua berawal dari dirinya sendiri.

Seandainya dia tidak terlambat bangun, maka dia tak perlu merutuki jumlah loket yang hanya terbuka sebanyak dua saja untuk melayani tiga jadwal penerbangan.

Seandainya dia tidak terlambat bangun, maka dia tak perlu tertinggal pesawat dan tiket yang dibelinya dengan harga yang sangat mahal itu hangus.

Seandainya dia tidak terlambat bangun, maka dia tak perlu menghujat soal Udara Asia yang tak menerapkan system refund tiket.

Seandainya dia tidak terlambat bangun, maka dia tak perlu bersusahpayah membandingkan kalau perusahaan ini lebih baik dari itu, lalu membuat Sumpah bahwa dia tidak akan menaiki pesawat Udara Asia.

Seandainya saja dia bangun lebih awal sesuai rencana, tidak tidur terlalu larut, dan pergi dengan jadwal yang sudah dia buat sebelumnya… those accidents, those cruel words, tidak akan pernah ada…

Aku tertawa,
Bukan hanya karena seseorang itu melupakan bahwa dia adalah bagian dari permasalahan yang dia buat, tapi juga karena aku menertawakan diriku sendiri, yang seringkali melupakan bahwa aku juga melakukan hal yang sama…

**

When troubles come to your face, tak sekali dua kali kita menyalahkan keadaan. Mencari-cari alasan pembenaran, mencari-cari alasan bahwa kita tak bersalah tapi orang lain yang menyebabkan kita terjebak dalam kesalahan itu.

We… okay, I sometimes look for excuses of anything bad that happens in my life.
Contoh mudahnya adalah ketika aku mempermasalahkan angkot yang bergerak terlalu lambat sehingga aku terlambat sampai di tempat janjian dengan seorang sahabat. Ketika dia bertanya, aku hanya bilang, “Angkotnya lelet!”

Padahal, aku berangkat dua puluh menit lebih lambat dari yang seharusnya dan berharap agar angkot itu bisa bergerak secepat taksi! Gila, kan?

Ketika sebuah problem menghadang, kenapa aku malah meluangkan waktu untuk menyalahkan keadaan dan bukan mencari tahu akar permasalahannya?

Ketika sebuah masalah datang, kenapa aku malah sibuk mengkambinghitamkan kondisi tapi lupa bahwa aku adalah satelit tempat masalah itu mengorbit?

Ketika sebuah masalah muncul, kenapa aku malah menangis, meratap, menghujat, tapi melupakan kalau aku juga ambil bagian dari permasalahan itu?

Why don’t I take my times to think about my faults, mencoba menganalisa kesalahan itu, dan berhenti mengulanginya? Why don’t I learn my lessons and stop doing it again in the future?

Manusia memang tempatnya lupa dan salah.
Tapi aku yakin, Tuhan tidak akan pernah berhenti mengingatkanku.

Seperti twitter seorang selebritas yang tertinggal pesawat beberapa waktu lalu itu, yang kemudian hari ini mengingatkanku bahwa aku tak boleh lagi menyalahkan keadaan dan mulai belajar untuk mendewasa…

Yeah.
Point taken, God.
I won’t blame others.
I blame myself…
And I promise, I won’t do it again…

**
Kantor, Selasa, 22 Juni 2010

Catatan Harian

June 2010
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930