Terkadang, aku tak mengenali pantulan wajahku sendiri saat duduk di muka cermin. Yang kukenali hanyalah garis-garis tipis di sekitar dahi, kerut-merut yang mulai kentara di sekitar mata juga bibir, serta pipi yang senantiasa merah karena sapuan blush on.
Wajah itu memang wajahku, tapi ketika mataku mulai nyalang memandang, kedua bola matanya seolah berteriak. Seolah ingin berbicara tapi mulutnya membisu. Ada sesuatu yang ingin perempuan itu katakan, tanyakan, tapi aku memilih untuk beranjak dari muka cermin dan menghiraukan saja keinginannya.
Ah, aku tahu apa yang ingin dia ungkapkan. Bukannya aku tak tahu, tapi aku tahu! Justru karena itu aku memilih beranjak dari muka cermin, melupakan sebentuk wajahku sendiri di sana, menghapus ingatanku bahwa perempuan itu ada di sana untuk bertanya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang jengah kujawab dan tak pernah hilang sekalipun mataku terlelap.
Kamu tahu kenapa, kan?
Kamu tahu kenapa aku tak pernah ingin menjawabnya, kan?
Kamu tahu kenapa orang menghindar dari pertanyaan orang lain, kan?
Ya.
Karena aku tak tahu apa yang musti kujawab, dan menyadari bahwa ketidakbisaanku menunjukkan betapa bodohnya aku..
Dan aku takut bahwa aku memang sebodoh itu!
***
Pernahkah kamu duduk di muka cermin dan sosok itu balik bertanya padamu?
Saat menyisir rambut, mengoles krim malam, menyikat gigi, membersihkan make-up, mencukur jenggot, lalu memerhatikan baik-baik wajah yang terperangkap di dalam cermin lalu sosok itu memandangmu dengan mata yang menusuk?
Menanyakan:
“Inikah wajah yang ingin kamu lihat?”
“Apa yang sudah kamu lakukan untukku?”
“Sudah cukup baikkah kamu?”
“Apa kamu sudah melakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan untukku?”
Jenis-jenis pertanyaan yang melontar keluar dari bibir sosok di cermin, yang kemudian seolah menghantuimu selamanya?
Apa yang kamu lakukan:
Menjawabnya;
Atau lari dan seolah tak pernah melihat mulut itu bergerak mengeluarkan pertanyaan?
Di suatu pagi, untuk yang kesekiankalinya aku bercermin dan memandang sosok itu. Sosok seorang perempuan yang rambutnya pendek acak-acakan, jerawat yang berebut ingin bersembunyi dalam sapuan bedak, lipstick warna nude yang perlahan melapisi permukaan bibir yang gelap, sosok yang seperti biasa kemudian matanya seakan mengeluarkan tanya.
Tak seperti biasanya, dengan tenang aku memutuskan untuk tetap duduk. Balas memandangnya lembut, tapi ia tak pernah tahu kalau aku sedang mengurai keteganganku sembari menatap kedua biji matanya.
Aku lelah berlari.
Karena pada akhirnya, aku memang tak boleh berlari.
Jadi pagi itu, kuputuskan untuk duduk dan menjawab pertanyaannya.
“Inikah wajah yang ingin kamu lihat?”
Ya. Sekalipun ingin aku memiliki hidung bangir, dengan lubang kecil. Sekalipun aku ingin memanjangkan rambut yang tak tebal ini. Sekalipun aku ingin pipiku tirus, tak menggembung seperti ini… Tapi, ya. Ini wajah yang ingin kulihat.
“Apa yang sudah kamu lakukan untukku?”
I’m sorry if maybe I took you to an unpleasant journey. Maaf kalau bukan hidup seperti ini yang layak kamu tinggali. Aku sudah mencoba menjadi gadis yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku sudah menjadi gadis dengan karir, tapi maaf kalau bukan seperti perempuan-perempuan lain dengan karir yang cemerlang. Maaf, if I ruined you!
“Sudah cukup baikkah kamu?”
Tidakkah kamu mendengar apa yang baru saja aku katakan? I said, I’m sorry! Aku tak pernah merasa cukup untukmu, dan aku malu karenanya, God dammit!
“Apa kamu sudah melakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan untukku?”
I don’t know..
I don’t know.
Aku tak tahu dan tak akan pernah tahu.
Seberapa besar dayaku, kemampuanku, kehebatanku.. Aku tak pernah tahu apakah aku sudah cukup melakukan yang terbaik untukmu. Apakah tetesan keringat, buliran air mata, sakit hati, serta gelisahku setiap hari mengartikan bahwa aku sudah melakukan yang terbaik untukmu. Yang kulakukan selama ini adalah supaya kamu tetap bisa memandangku setiap hari, meski yang kamu lakukan hanyalah mempertanyakan kesungguhanku.
Dan wajah itu terdiam. Memandangku dalam tenang. Dua biji matanya menyuburkan gelisahku, lantas kemudian, senyummu pun mengembang.
“Mungkin kamu menganggapku sosok yang bawel dan menakutkan, bertanya-tanya seolah kamu tak mampu atau seolah kamu adalah perempuan yang gagal.
Padahal kalau kamu meluangkan waktumu tak lebih dari dua jenak setiap memandangku, kamu akan tahu bahwa aku akan tersenyum padamu.
Tak ada manusia yang gagal, Sayangku.
Yang ada adalah manusia yang belum berhasil.
Dan tak perlu malu dengan apa yang telah kamu lakukan, karena yang terpenting adalah langkah selanjutnya setelah apa yang sudah kamu lakukan.”
Aku terdiam.
“Dan lagi pula, you have done quite well! Stop sweating the small things and start looking at the big picture?”
Aku masih terdiam.
“Sekarang pandang aku. Sekarang juga.”
Aku memandangnya.
“Nah. Sudahkah kamu mengenaliku?”
Beberapa detik, kupandangi wajahnya yang tersenyum. Wajah seorang perempuan berambut pendek, berjerawat kecil-kecil di dahi, pipi tembem yang bersapu blush on, serta hidungnya yang pesek.
Kupandangi wajahnya, terus dan terus sampai kemudian kukenali dia.
Wajah tersenyum yang akhirnya kukenali.
Wajah yang sangat kukenali..
Wajahku sendiri.
***
Kantor, Senin, 17 Mei 2010