Do you know the kind of feeling; ketika kamu sedang mendapatkan masalah, urat lehermu tegang, kepalamu pusing, dan kamu tak tahu apa yang musti kamu lakukan lalu akhirnya kamu memilih untuk sleep on it dan menganggap bahwa you’ll have all the answers at the morning after?
Do you know the kind of feeling; ketika kamu bertengkar dengan Kekasihmu, kakak kandungmu, rekan kerjamu, atau orang-orang yang dekat denganmu, kamu menganggap bahwa kamu akan berbaikan dengan mereka setelah malam ini berlalu? That you’ll have the opportunity to make everything up at the morning after?
The Morning After.
Aku selalu menganggap bahwa Pagi Hari akan menyelesaikan setiap masalah. Setelah tertidur, gelisah dalam mimpi, meluangkan waktu panjang untuk berpikir semalam suntuk, dan berdoa sebelum tidur, “Tuhan, semoga permasalahan ini menemui titik terang esok pagi”, Pagi Hari akan menyelesaikan semua masalah.
Titik terang; seperti matahari yang muncul di ujung timur dan memudarkan langit yang gelap.
Titik terang; cahaya yang menyerobot di balik awan-awan yang tadinya gelap, iluminasi yang tertangkap bak lukisan indah oleh mata telanjang.
Titik terang; sebuah pertanda bahwa selalu ada jawaban untuk gelisahku semalaman.
Kuanggap, di pagi hari, semuanya akan jauh lebih baik dari tadi malam.
Dan di pagi hari, semua permasalahan semalam akan menemukan jalan keluarnya.
Itu dia kenapa kubilang, “I want to sleep on it,” ketika sedang bermasalah. “And hope for everything will be better in the morning after,” ketika suasana hatiku sedang kacau.
Sampai kemudian aku berpikir, “What if there’s no morning after? What if what I have is today, and today is all I have?”
Bagaimana kalau matahari tidak akan terbit dan yang kumiliki hanyalah hari ini? Untuk setiap jumput masalah, untuk setiap percikan kemarahan dengan Saudara tercinta.
Bagaimana kalau matahari tidak mau terbit dan yang tersisa hanyalah hari ini? Untuk setiap genggam gelisah, untuk setiap coretan luka pada hati Sahabat.
Masihkah aku harus menunggu keajaiban Pagi Hari?
Masihkah aku harus sleep on it first and wait for miracle in the morning after?
Atau,
Sudah waktunya aku berhenti untuk berharap pada The Morning After dan mulai menyelesaikannya sekarang juga, whenever I have the chance to do it?
Dan aku berpikir, pagi ini. Right about this moment.
Untuk apa berputus asa mencari jalan keluar kalau energiku masih penuh? Jika kantuk belum meraja dan tubuh belum lelah? Masalah memang tidak selesai dengan segera kalau waktu yang tepat itu belum datang, dan masalah tidak akan selesai hanya dengan cara memikirannya sampai semalam suntuk; tapi, jika bisa dipikirkan hari ini, kenapa musti menjejali esok hari dengan permasalahan yang kemarin? Setiap hari, bisa jadi timbul masalah yang baru lagi. Bayangkan kalau masalah yang kemarin masih kita pikirkan hari ini. I’m gonna be exhausted!
Lantas; why do I have to wait to say, “Please, forgive me.”?
Kenapa tak dibiarkan kata-kata maaf itu meluncur keluar tepat ketika rasa sesal datang menghampiri? Mengapa harus menunggu esok dan menghukum hatiku semalaman sampai tak bisa tidur untuk sesuatu yang bisa kulakukan sore tadi, misalnya? Dan terbayang betapa jahatnya aku membuatnya marah sampai semalaman dan orang itu terbangun dengan perasaan yang tidak nyaman saat memandangku di esok paginya, kan?
Aku selalu berkata, “I’ll sleep on it first. I always have the answers at the morning after, dengan isi kepala lebih jernih lagi.”
Tapi kini aku ingin mulai untuk berkata, “I’ll try to do my best today. But if today isn’t enough, I hope that I still have my chance tomorrow…”
Ya.
Kesempatan untuk menikmati pagi hariku.
Hari baruku.
Dan, mmm…
Permasalahan baruku.
Sambil ditemani secangkir teh manis hangat dan sebuah suara kecil yang terus menuturiku untuk terus melakukan yang terbaik yang aku bisa hari ini…
**
Kantor, 27 Mei 2010, 10.50 Pagi
Dia nampak cantik meski kebaya putihnya banyak bernoda darah. Ah, andai dia tidak memakainya untuk orang itu; lelaki yang sudah membuatku bunting 3 bulan itu..
(Meramaikan kompetisi Fiksi Mini dan aje gile, susah bener nulis fiksi sependek ini untuk orang sebawel diriku! Hahaha)
Terkadang, aku tak mengenali pantulan wajahku sendiri saat duduk di muka cermin. Yang kukenali hanyalah garis-garis tipis di sekitar dahi, kerut-merut yang mulai kentara di sekitar mata juga bibir, serta pipi yang senantiasa merah karena sapuan blush on.
Wajah itu memang wajahku, tapi ketika mataku mulai nyalang memandang, kedua bola matanya seolah berteriak. Seolah ingin berbicara tapi mulutnya membisu. Ada sesuatu yang ingin perempuan itu katakan, tanyakan, tapi aku memilih untuk beranjak dari muka cermin dan menghiraukan saja keinginannya.
Ah, aku tahu apa yang ingin dia ungkapkan. Bukannya aku tak tahu, tapi aku tahu! Justru karena itu aku memilih beranjak dari muka cermin, melupakan sebentuk wajahku sendiri di sana, menghapus ingatanku bahwa perempuan itu ada di sana untuk bertanya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang jengah kujawab dan tak pernah hilang sekalipun mataku terlelap.
Kamu tahu kenapa, kan?
Kamu tahu kenapa aku tak pernah ingin menjawabnya, kan?
Kamu tahu kenapa orang menghindar dari pertanyaan orang lain, kan?
Ya.
Karena aku tak tahu apa yang musti kujawab, dan menyadari bahwa ketidakbisaanku menunjukkan betapa bodohnya aku..
Dan aku takut bahwa aku memang sebodoh itu!
***
Pernahkah kamu duduk di muka cermin dan sosok itu balik bertanya padamu?
Saat menyisir rambut, mengoles krim malam, menyikat gigi, membersihkan make-up, mencukur jenggot, lalu memerhatikan baik-baik wajah yang terperangkap di dalam cermin lalu sosok itu memandangmu dengan mata yang menusuk?
Menanyakan:
“Inikah wajah yang ingin kamu lihat?”
“Apa yang sudah kamu lakukan untukku?”
“Sudah cukup baikkah kamu?”
“Apa kamu sudah melakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan untukku?”
Jenis-jenis pertanyaan yang melontar keluar dari bibir sosok di cermin, yang kemudian seolah menghantuimu selamanya?
Apa yang kamu lakukan:
Menjawabnya;
Atau lari dan seolah tak pernah melihat mulut itu bergerak mengeluarkan pertanyaan?
Di suatu pagi, untuk yang kesekiankalinya aku bercermin dan memandang sosok itu. Sosok seorang perempuan yang rambutnya pendek acak-acakan, jerawat yang berebut ingin bersembunyi dalam sapuan bedak, lipstick warna nude yang perlahan melapisi permukaan bibir yang gelap, sosok yang seperti biasa kemudian matanya seakan mengeluarkan tanya.
Tak seperti biasanya, dengan tenang aku memutuskan untuk tetap duduk. Balas memandangnya lembut, tapi ia tak pernah tahu kalau aku sedang mengurai keteganganku sembari menatap kedua biji matanya.
Aku lelah berlari.
Karena pada akhirnya, aku memang tak boleh berlari.
Jadi pagi itu, kuputuskan untuk duduk dan menjawab pertanyaannya.
“Inikah wajah yang ingin kamu lihat?”
Ya. Sekalipun ingin aku memiliki hidung bangir, dengan lubang kecil. Sekalipun aku ingin memanjangkan rambut yang tak tebal ini. Sekalipun aku ingin pipiku tirus, tak menggembung seperti ini… Tapi, ya. Ini wajah yang ingin kulihat.
“Apa yang sudah kamu lakukan untukku?”
I’m sorry if maybe I took you to an unpleasant journey. Maaf kalau bukan hidup seperti ini yang layak kamu tinggali. Aku sudah mencoba menjadi gadis yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku sudah menjadi gadis dengan karir, tapi maaf kalau bukan seperti perempuan-perempuan lain dengan karir yang cemerlang. Maaf, if I ruined you!
“Sudah cukup baikkah kamu?”
Tidakkah kamu mendengar apa yang baru saja aku katakan? I said, I’m sorry! Aku tak pernah merasa cukup untukmu, dan aku malu karenanya, God dammit!
“Apa kamu sudah melakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan untukku?”
I don’t know..
I don’t know.
Aku tak tahu dan tak akan pernah tahu.
Seberapa besar dayaku, kemampuanku, kehebatanku.. Aku tak pernah tahu apakah aku sudah cukup melakukan yang terbaik untukmu. Apakah tetesan keringat, buliran air mata, sakit hati, serta gelisahku setiap hari mengartikan bahwa aku sudah melakukan yang terbaik untukmu. Yang kulakukan selama ini adalah supaya kamu tetap bisa memandangku setiap hari, meski yang kamu lakukan hanyalah mempertanyakan kesungguhanku.
Dan wajah itu terdiam. Memandangku dalam tenang. Dua biji matanya menyuburkan gelisahku, lantas kemudian, senyummu pun mengembang.
“Mungkin kamu menganggapku sosok yang bawel dan menakutkan, bertanya-tanya seolah kamu tak mampu atau seolah kamu adalah perempuan yang gagal.
Padahal kalau kamu meluangkan waktumu tak lebih dari dua jenak setiap memandangku, kamu akan tahu bahwa aku akan tersenyum padamu.
Tak ada manusia yang gagal, Sayangku.
Yang ada adalah manusia yang belum berhasil.
Dan tak perlu malu dengan apa yang telah kamu lakukan, karena yang terpenting adalah langkah selanjutnya setelah apa yang sudah kamu lakukan.”
Aku terdiam.
“Dan lagi pula, you have done quite well! Stop sweating the small things and start looking at the big picture?”
Aku masih terdiam.
“Sekarang pandang aku. Sekarang juga.”
Aku memandangnya.
“Nah. Sudahkah kamu mengenaliku?”
Beberapa detik, kupandangi wajahnya yang tersenyum. Wajah seorang perempuan berambut pendek, berjerawat kecil-kecil di dahi, pipi tembem yang bersapu blush on, serta hidungnya yang pesek.
Kupandangi wajahnya, terus dan terus sampai kemudian kukenali dia.
Wajah tersenyum yang akhirnya kukenali.
Wajah yang sangat kukenali..
Wajahku sendiri.
***
Kantor, Senin, 17 Mei 2010