Seorang lelaki.
Koruptor.
Mengais uang, mengisi tabungan, berfoya-foya, bersenang-senang, dengan uang yang didapatnya melalui cara-cara yang tak halal. Uang rakyat disulapnya menjadi mobil-mobil mewah, yang disimpan dalam garasi rumah-rumah yang sangat mewah, dan disimpan selagi lelaki itu berkelana keliling dunia, dari benua satu ke benua yang lainnya, menginap di hotel mahal satu ke hotel mahal lainnya.
Uang rakyat disulapnya menjadi berlian untuk istri, tabungan untuk anak-anaknya, sekaligus menyekolahkan mereka setinggi langit.
Permisi, Pak. Boleh aku tanya sedikit saja.
“Bisakah kamu tidur nyenyak karena telah merampas uang yang bukan menjadi hakmu?”
Ini yang selalu kulakukan setiap hari.
Kunanti dirimu di muka teras, mencoba duduk tenang di atas sebuah kursi rotan yang lama-lama membuat pantatku sakit karena terlalu lama duduk di sana, sambil berkali-kali melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Melihat putaran waktu yang terus berputar dan berputar sekalipun kuingin jeda sebentar saja.
Kutajamkan pandanganku, seperti meneliti sebutir beras. Kupicingkan mataku, seperti mengintip lubang kunci. Kuakomodasikan penglihatanku dengan maksimum, supaya aku tak terlewat memandangi sosokmu yang mungkin saja berkelebat di depan rumahku.
Tapi kamu tak ada.
Sudah kusiapkan secangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng untukmu, untuk menyambutmu pulang.
Tapi ya. Kamu tetap tak pulang. Continue reading