Keponakan-keponakanku menyambut ketukan pintu pagarku, kemarin malam saat aku bermain ke rumah Mbak Piet, kakak sulungku. Dengan gembira mereka mengulurkan tangan lalu mencium punggung tanganku seperti biasa, secara bergantian. Buru-buru mereka menyeretku ke kamar mereka lalu mengangsurkan sebuah boneka perempuan yang lucu.
“Ini buat Aunty,” kata Q, keponakan sulungku.
Adiknya mengangsurkan satu lagi Β boneka untukku. Sebuah boneka beruang yang memeluk bantal hati bertuliskan ‘I love you‘. “Ini juga buat Aunty, lho.”
Aku tersenyum. Senang, pasti. Pertama, karena senyum manis mereka yang selalu berhasil merontokkan kesedihan dan gundah gulanaku, dan kedua, tentunya karena boneka-boneka itu memang lucu. Continue reading