Seorang kawan bicara soal Pangeran Berkuda dan Puteri yang ternyata tidak menunggu di atas menara, tapi di bawahnya.
Dalam bayangan saya, mungkin puterinya sedang memoleskan bedak, membubuhi gincu, dan berkali-kali melihat ke cermin sambil bertanya: “Sudahkah aku nampak cantik buat dia?” Lalu bersisir, lalu melirik cermin lagi, lalu melihat jarum penunjuk jam yang merambat terus sampai kembali ke angka dua belas, dan terus menerus begitu. Setiap hari. Setiap saat.
Saya membaca tulisan itu sampai berkali-kali.
Terus dan terus; seolah teradiksi.
Tiba-tiba, hati saya bergetar tak biasa.
Lagi-lagi, ketika saya sampai di satu bagian saat dia bercerita soal rasa enggannya menyelamatkan sang Puteri karena mereka telah menunggunya di bawah, bukan terperangkap bersama Naga dan semburan api panasnya. As a man, dia ingin mencari puteri yang lain… yang memang butuh diselamatkan…
Hm.
I began to wonder:
Apakah saya termasuk seorang puteri yang tak pantas diselamatkan? Yang mengurangi minat seorang Pangeran untuk menyelamatkan saya? Karena saya tidak menumbuhkan nyali kelaki-lakiannya?
Dan satu hal lagi.
Apakah saya benar-benar ingin diselamatkan?
Apakah saya malah menikmati duduk di dalam sebuah ruang, di atas menara, lalu menengok ke bawah, melihat Pangeran Berkuda yang ternyata kurang bisa menggerakkan minat saya untuk berteriak minta tolong, sehingga saya diam saja?
Bersembunyi, malah?
Takut ia melihat, mungkin?
Sampai sore ini, sampai menit saya mem-publish cerita ini, saya adalah Puteri yang tolol dan tak tahu apa yang dia inginkan.
Meskipun saya tahu, di dalam hati saya, jauuuhhhh di dalam sana, ada satu sosok Pangeran Berkuda yang berkali-kali lewat di bawah kastil yang ditunggui Naga dengan semburan nafasnya yang sanggup meluluhlantakkan semua yang ada di sekelilingnya…..
…tapi dia tak pernah menengok ke atas.
…tapi saya tak berani berteriak.
Dan masih terus begitu…
…
…
…Sampai hari ini.
***
Five minutes before Bro asked me to come down
Sudah lewat tengah malam. Mungkin pukul satu kurang beberapa menit. Persisnya sih nggak tahu. Yang jelas, sudah terasa terlalu lama Iyank membiarkan tubuhnya dimakan angin malam yang dingin.
Ah, mengapa semuanya terasa menyakitkan buat Iyank, terasa begitu melelahkan, sementara setiap hari Dion selalu menghabiskan waktunya di udara malam yang dingin cuma ditemani gitar dan rokok? Apa yang sebenarnya Dion cari di malam dingin dan panjangnya selama ini? Kebebasan? Kepuasan? Cuma itu? Ataukah ada keinginan-keinginan lain yang membuatnya bertahan dengan kebiasaan semacam itu?
Detik-detik berlalu kembali dan Iyank masih duduk di depan teras rumahnya yang terlindungi pohon yang rindang. Melindunginya dari hujan gerimis dan angin malam yang lembut dan dingin. Cuma sedikit. Karena dari duduknya, Iyank masih merasakan percikan air yang membasahi kulitnya.
Tapi semua itu tak membuat Iyank beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam kamarnya yang hangat, meringkuk di dalam selimut, ditemani boneka-boneka kesayangannya… Yah, seperti malam-malam kemarin, saat Iyank masih belum sepenuhnya memahami Dion.
Memang, apa yang dilakukan malam ini adalah semata-mata untuk memahami Dion, memahami orang tercintanya yang selalu menghabiskan waktunya dengan rokok dan bergumul dengan udara malam. Dan Iyank tak tahu mengapa ia berusaha untuk memahami Dion. Padahal saat pacaran dengan Yoga, Iyank tak pernah mencoba untuk memahami hobi ngebutnya. Tapi entah kenapa, sejak bertemu dengan Dion, kemudian jatuh hati padanya, Iyank benar-benar ingin mencoba untuk memahami, untuk tahu, untuk ikut merasakan apa yang Dion rasakan.
Semenit kemudian, sebuah sms masuk. Dari Lini.
Belum tidur, Yank? Don’t spend too much time out side. Just go to bed and try to forget it.
Iyank tersenyum. Kecil dan pahit. Dari semula Iyank bilang kalau ia mulai jatuh hati pada Dion, Lini tak pernah menyetujuinya. Lini tak pernah mengerti pada perasaan Iyank, pada kata hati sahabatnya itu. Bukannya Lini mencoba untuk mengerti, tapi ia tak pernah mau.
“Dia bukan seperti cowok-cowok yang pernah kau cintai, Yank…” kata Lini saat pertama kali Iyank berterus terang bahwa diam-diam dia menyimpan sebuah perasaan khusus dalam hatinya untuk Dion.
Dan Iyank tahu, memang inilah saatnya untuk mengakhiri mimpi-mimpinya untuk mencintai lelaki ganteng, pintar, dingin… Cowok-cowok di dalam hatinya yang telah mengecewakan Iyank terlalu pedih dan dalam. Iyank ingin mencoba mencintai lelaki yang hangat, perhatian… Ya, seperti seorang lelaki pada umumnya. Dan salahkah jika se-mua itu ada pada diri Dion? Apakah juga salah jika akhirnya Iyank memilih untuk menerima cinta Dion? Toh cinta tak bisa dipaksa harus jatuh di hati siapa?
Rupanya Lini tetap tak mau mengerti sekalipun Iyank berusaha meyakinkan Lini bahwa ia mencintai Dion dengan segala kekurangannya. Ia mencintai Dion karena Iyank tahu benar bahwa Dion memang tak seperti lelaki-lelaki yang kemarin. Dion berbeda. Dion sangat berbeda.
“Kamu cuma tahu Dion dari sisi luarnya aja, Yank…”
“Dan aku mencintai sisi itu, Lin…”
“Yang kamu lihat cuma dia itu baik, perhatian… Tapi bisakah kamu memahami bahwa dia selalu tak ada waktu untukmu, selalu keluar rumah tanpa alasan jelas, menghabiskan harinya dengan teman-teman bukannya denganmu, menghabiskan ber-puluh-puluh batang rokok…. Dan Yank, barangkali juga dia mencandu…”
Iyank tahu, itulah resikonya mencintai Dion. Dion yang jarang ada di rumah, Dion yang sulit dihubungi, Dion yang selalu menghabiskan harinya tanpa Iyank melainkan dengan teman-temannya yang lain… Ah, tapi memang itulah Dion yang sangat Iyank cintai!
Suara kucing yang bertengkar dari ujung jalan membuat lamunan panjang Iyank berhenti. Lagi-lagi Iyank tersadar kembali pada kesendiriannya. Bahkan tanpa terasa hujan sudah berhenti. Dan angin dingin itu berhembus makin pelan.
Tapi Iyank masih merasa dingin. Barangkali karena ia membiarkan tubuhnya cuma dibalut kaos berlengan sampai sikut dan celana pendek selutut. Sedikit demi sedikit Iyank merasakan pening dan mulai mengantuk.
Secangkir kopi pahit rupanya masih belum bisa membuat Iyank benar-benar terjaga. Belum berpengaruh untuk Iyank yang biasa tidur pukul sepuluh. Tapi itu tak meluruhkan niat Iyank untuk meminumnya sekali lagi. Membiarkan kerongkongannya dibasahi kopi pahit sekedar untuk membuatnya terjaga beberapa saat lagi.
Sedang apa ya Dion sekarang? Iyank mulai terusik dengan nama Dion. Ditaruhnya cangkir yang kosong itu di atas meja, sementara bayangan Dion masih menari-nari di atas langit. Iyank tak menemukan jawaban apapun. Tidak langit, atau bintang, atau bulan, atau apa saja yang bisa menjawab pertanyaannya. Semuanya membisu. Sedikit demi sedikit membuat hati Iyank terluka.
Sama terlukanya ketika Iyank tahu Dion memang benar-benar memakai narkoba. Lini yang menceritakan semua ini pada Iyank. Semua ini membuat Lini semakin serius memperingatkan Iyank untuk berhenti mencintai Dion dan menegaskan bahwa Dion bukan lelaki yang pantas dicintai oleh seorang Iyank.
Tapi Iyank tetap Iyank. Apapun kenyataannya, bagaimanapun sakitnya kenyataan itu, tak akan mudah menggoyahkan kata hatinya, nuraninya. Cintanya memang cuma untuk Dion, sekalipun Lini mengatakan bahwa Dion tak pantas untuk dicintai gadis setulus dan sebaik Iyank.
Segala cerita tentang Dion cuma megalir, tak pernah sepenuhnya menyumbat pikiran-pikiran Iyank, tak pernah menyurutkan niat Iyank untuk mencintai Dion sepenuh hati. Itukah sisi buruk yang Lini ceritakan? Ah, ternyata Iyank toh berhasil juga mencintai sisi diri Dion yang lain.
Tiba-tiba hujan turun lagi. Kali ini deras. Tapi Iyank bukannya masuk ke dalam atau minimal mendorong kursinya sedikit mendekati dinding, ia malah membiarkan dirinya basah. Mungkin inilah yang dirasakan Dion. Dingin, menggigil…
Iyank bertahan sekalipun bibirnya memucat. Warna bibirnya mulai membiru. Rambut pendeknya basah kuyup. Tapi Iyank tak mengubah posisinya. Ia tetap duduk dengan kaki dilipat oleh kedua tangannya, dengan kepala tegak ke muka… Iyank tetap bertahan, tetap tegar… sama tegarnya saat ia mendengar berita itu.
“Yank, Dion over dossis. Dia meninggal.”
Iyank tak bisa berkata apa-apa. Saat itu ia hanya terdiam. Dia tak sempat menangis karena Iyank memang tak ingin menangis. Ia hanya merasa bingung ketika Lini memeluknya erat-erat lalu menangis di bahunya. Iyank tak sempat menelaah kata-kata Lini. Cuma satu kata yang membuat Iyank sadar. Meninggal. Berarti Dion sudah nggak ada. Berarti Dion sudah nggak bisa lagi memeluknya, mengelus rambutnya, menggodanya, menciumnya…
Dan memang, Dion sudah pergi sejak pukul setengah sepuluh malam tadi. Dion sudah pergi meninggalkan Iyank yang betul-betul mencintainya. Tak sempat ada air mata karena Iyank merasa selama ini Dion tak sepenuhnya ada buat dia. Dion jarang meluangkan waktu bersamanya. Dion bukan cuma milik Iyank, tapi malam-malam panjang dan dingin inilah yang menjadi pemilik Dion seutuhnya.
Jika Iyank bertanya apa yang sedang dilakukan Dion sekarang, tak akan ada lagi yang bisa menjawabnya. Karena Dion sudah tak ada lagi di sini. Karena bintang, bulan, atau angin tak bisa lagi melihat dan merasakan Dion.
Hujan masih turun dengan derasnya. Dan tubuhnya yang basah sama sekali tak membuat Iyank bergeming. Ia tetap bertahan sekalipun badannya mulai terasa sakit.
Malam ini, Iyank ingin duduk dalam suasana malam. Menikmati malam yang dingin, hembusan angin, juga derasnya air hujan yang pernah dirasakan oleh Dion. Iyank ingin malam ini menghabiskan malamnya di luar, seperti yang biasa dilakukan oleh Dion. Karena Iyank tahu, di situ ada Dion…
http://www.friendplay.com/ugc/audio/mp3player_1.swf?artist=UtadaHikaru&title=FirstLove.mp3&url=http://www.friendplay.com/ugc/audio/mp3/1/1169_100029.mp3&song_info=215+played++0+comments++posted+1+month%28s%29+ago
**
Surabaya, February 26th 1999
Tanggal 20 Mei, Sabtu besok, mas Andra pergi. Iya, pergi. Mas Andra benar-benar pergi. Bukannya pergi lantas seminggu berikutnya saya udah bisa ngeliat dia naik Feroza-nya keluar dari garasi, tapi benar-benar pergi dan sampai kini masih jadi tanda tanya besar kapan saya melihat dia lagi.
Persis hari Sabtu besok pagi, saya udah nggak bisa lagi dekat dengan mas Andra, cowok yang selama ini udah jadi temen yang pengertian, kakak yang penyabar, sekaligus orang yang bisa bikin hati saya berdebar-debar kalau jemarinya menyentuh tubuh saya meskipun sekilas. Sentuhan kasih sayang ala ‘kakak’-nya itu sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan sebagian jiwa saya yang diam-diam menaruh perasaan buat dia. Sentuhan penuh kelembutan yang dibarengi tuturan kalimat nasehat itulah yang membuat alasan bagi saya untuk menangis ketika dia memberitahu saya akan rencana kepergiannya tanggal 20 Mei besok, hampir sebulan yang lalu.
“Sepertinya saya mau pindah ke Bandung, Nan. Ada peluang kerja di sana yang nggak bisa saya lewatin gitu aja. Nana tahu, kan, gimana susahnya mencari kerja saat ini? Ya mumpung ada kesempatan, saya harus berbuat sesuatu, Nan. Saya harus kesana, merebut kesempatan yang mungkin nggak akan datang lagi itu…”
Malam itu saya lihat ada binar-binar optimis di kedua mata mas Andra. Saya lihat, kilau mata itu memancar indah seiring dengan kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya. Saya heran, kenapa saat itu saya merasa persendian saya lemas seketika. Benar-benar lemas dan sepertinya tubuh saya ingin jatuh melorot ke bawah. Saya benar-benar kaget karena belum pernah saya men-dengar rencananya itu.
“Jadi mas Andra nggak bakal pulang lagi ke sini?” Saya mera-sa hopeless. Sepertinya ruang batin saya sudah penuh sesak dengan luka. Sudah sakit sekali karena menahan kekecewaan.
Mas Andra meraih jemari saya lalu berkata, “Tentu saya akan pulang, Nan. Tapi saya nggak bisa bikin janji dulu. Di sana saya nggak main-main, Nan, tapi ker-ja. Saya kan nggak bisa seenaknya pulang pergi Surabaya-Bandung?” Mas Andra menyentil hidung saya. “Tapi saya akan pulang, kok.”
Pulang…
Ah, saat itu, kata ‘pulang’ yang keluar dari bibir mas Andra terdengar begitu menyakitkan. Saya sadar, bukankah Bandung adalah tempat kelahirannya? Bukankah semua keluarga mas Andra mulai dari yang tua-tua sampai yang paling muda tinggal di sana? Lantas apa yang dimaksud dengan pulang?
Malam itu, saya menangis. Perlahan-lahan, butiran air mata menggenangi pelupuk mata saya lalu jatuh menetes ke pipi. Mas Andra yang memperhatikan peru-bahan itu lalu menghapusnya dengan jemari tangannya.
“Kenapa, Nan? Kok nangis, sih?”
“Abis kamu pergi sih, Mas. Abis kamu ninggalin saya. Abis saya nggak tau harus gimana lagi selain nangis…”
“Saya nggak akan ninggalin Nana, kok. Mana ada sih kakak yang ninggalin adeknya…?”
Adik. Ah, saya ini emang hanya seorang adik buat orang sebaik mas Andra. Semestinya saya nggak pernah membiarkan perasaan saya berkembang lebih jauh karena sejak semula saya hanya seorang adik di mata mas Andra. Mas Andra memang menyayangi saya sebagai adik. Sentuhannya yang penuh sayang itu adalah refleksi sayangnya kakak ke adiknya. Bukan seperti sikap Ray dulu pada saya. Bukan seperti seorang lelaki ke gadis pujaannya. Cuma kakak ke adik. Ah, jika saya tahu sejak dulu, kenapa saya berharap ada kembang-kembang lain muncul di hatinya? Kenapa saya harus berdebar-debar setiap dia menelpon, setiap dia datang, setiap matanya bertemu dengan mata saya, setiap jemarinya merangkum lembut semua kegundahan saya? Kenapa?
“Bagi saya, Surabaya adalah rumah kedua, Nan. Saya akan pulang dan saya janji kepindahan saya ke Bandung nggak akan pernah jadi kendala buat kita berdua. Saya janji, semuanya akan tetap seperti dulu…”
Tapi ternyata semuanya tidak seperti dulu lagi.
Sejak mas Andra mengatakan rencana itu, tak ada lagi telepon yang berdering darinya. Tak pernah lagi muncul batang hidungnya di rumah saya. Tak pernah lagi saya mendengar sapaan lembutnya saat melewati rumah saya dengan Ferozanya. Sejak malam itu, saya kehilangan mas Andra. Saya sudah mulai kehilangan dia.
“Kamu ada di mana, Mas?” HP, satu-satunya bentuk komunikasi untuk melampiaskan rasa kangen saya. Tapi itupun sangat susah karena yang lebih sering menjawab telepon saya cuma mailbox.
“Lagi ada di rumah temen.”
“Kok sekarang jarang ada di rumah, sih?”
“Sibuk, nih, Nan. Saya kan musti ngerjain skripsi saya. Ini aja lagi nanya-nanya temen yang udah selesai…”
“Ketemu, yuk, Mas? Saya kangen nih sama kamu…”
“Boleh… Tapi entar aja, ya. Nunggu skripsi-nya kelar. Eh, udah ya, Nan, entar-entar saya yang nelepon Nana, deh…”
Mas Andra nggak ngasih kesempatan pada saya untuk berdah-dah barang sedetik aja. Ah, mas Andra memang sudah berubah. Biasanya dia selalu menjawab, “Kangen? Iya… Nana kangen ya. Mau ketemu di mana?” Tapi sudah berkali-kali mas Andra selalu bilang, “Boleh…”, tanpa tau kapan bakalan terealisasi. Sepertinya saya sudah kehilangan dia, bahkan sebelum dia benar-benar pergi.
Pada Iis, saya ceritakan semuanya. Sahabat saya itu cuma mendengarkan saya dengan bijak. Dia nggak pernah sedikitpun menyela kalimat saya. Iis membiarkan saya menangis, menceritakan semuanya sampai tuntas, tanpa mengganggu sedikitpun.
“Kamu suka sama mas Andra, ya, Nan?” tanya Iis setelah saya ceritakan semuanya.
“Saya nggak tau, Is. Saya nggak tau apakah perasaan se-dih ini karena saya kehilangan lelaki yang saya sayangi, atau karena saya kehilangan kakak yang sangat saya sayangi… Mas Andra udah ngasih begitu banyak nasehat buat saya, Is. Dia udah ngasih begitu banyak cerita-cerita dan sudah banyak pula yang saya ceritain ke dia, Is. Saya nggak tau apa saya udah siap ngejalanin hari-hari saya tanpa dia. Saya nggak tau bakalan cerita ke siapa kalo suatu saat saya terantuk tangga, saya ketemu cowok keren, saya dimarahin mama, saya lagi kena masalah sama temen-temen… Saya nggak tau, Is. Sepertinya perasaan ini lebih dari sekedar suka. Saya butuh dia, Is. Saya butuh mas Andra.”
Saya memang butuh mas Andra. Saya butuh perhatian-perhatian darinya. Saya ingat, ketika dulu mata saya gatal karena gigitan semut, saya mengadu padanya. Lalu jemari-jemarinya mengusap lembut mata saya. Sambil melakukan itu, mas Andra bilang, “Mana… Mana yang gatal… Nggak keliatan kok, Nan. Udah, sebentar lagi juga ilang gatalnya.” Atau saat saya sedih karena mas Angga, kakak semata wayang saya, akan menikah dan menetap di Jakarta, mas Andra-lah yang menyejukkan perasaan saya dengan berkata, “Semua orang pasti akan pergi, Nan. Awalnya memang terasa sakit, tapi lama-lama Nana pasti akan terbiasa. Toh mas Angga kan enggak bener-bener pergi. Masa sih mas Angga nggak pulang untuk menengok orang tua dan adik kesayangannya? Jangan sedih, ya, Nan… Saya jadi ikutan sedih kalau kamu sedih.”
Perhatian-perhatian itulah yang kemudian membuat perasaan saya semakin berbunga. Siapa sih yang nggak suka dengan perhatian? Apalagi saya perempuan. Apalagi yang memberikannya adalah lelaki yang ganteng, yang sabar, yang baik, yang sangat melindungi saya. Apalagi yang musti saya rasakan selain semakin meng-gelepar karena perasaan cinta yang tak terwujudkan? Selain semakin berat menahan rasa cinta yang diam-diam memenuhi seluruh ruang benak saya?
Dan saya merasa, cinta itu akan selamanya tak pernah terlukis jelas dalam hari-hari saya dan mas Andra. Karena tanggal 20 Mei, hari Sabtu besok, sayap-sayap cinta itu akan terbang membawa mas Andra pergi…
*
Sabtu, 20 Mei.
Besok mas Andra akan berangkat ke Bandung, tanpa kami sempat bersua apalagi bercerita-cerita. Skripsinya yang sudah kelar sama sekali tak mengingatkannya pada janji mas Andra untuk ketemu dengan saya. Bahkan mas Andra sama sekali tak menelepon saya atau main ke rumah seperti biasanya. Sepertinya tanggal 20 Mei sudah lewat hampir tiga minggu yang lalu, padahal jelas-jelas hari ini masih tanggal 19.
Pulang dari kampus, saya sengaja lewat depan rumahnya. Saya sempat melihat Feroza hijau kesayangannya dimasukkan ke dalam truk besar bersama barang-barangnya yang lain. Dari dalam Starlet, saya sempat melihat tante Anisa dan suaminya terlihat sibuk mengawasi orang-orang yang memindahkan barang-barang mereka ke dalam truk. Dari dalam Starlet pula, saya melihat mas Andra duduk di trotoar bersama Arif, Niko, dan Bastian, sahabat-sahabatnya.
Sebetulnya saya ingin turun dari mobil lalu mendekatinya, tapi sepertinya tubuh saya kaku dan kaki saya enggan untuk berjalan mendekatinya. Saya hanya memandang mas Andra dari dalam mobil, lalu menangis perlahan-lahan, seiring laju mobil saya meninggalkan rumahnya. Saya nggak tahu kenapa begitu bodoh saya meninggalkan rumahnya. Kenapa saya nggak mampir sebentar, just to say goodbye, sebelum dia pindah. Saya hanya bisa menangis. Saya hanya bisa duduk di dalam mobil, lalu menangis sepuasnya di sana. Saya nggak berani menyapa dia, saya nggak berani mengucapkan selamat tinggal, karena saya nggak mau percaya kalo mas Andra memang benar-benar akan pergi ke
Bandung, until forever. Sampe selamanya…
Tuk-tuk-tuk.
Tiba-tiba saya mendengar seseorang mengetuk jendela Starlet saya. Ketika saya menoleh, saya melihat mas Andra tersenyum manis pada saya. Senyum yang sangat manis. Senyum yang sangat saya rindukan, hampir tiga minggu ini. Senyum yang akan selalu saya rindukan.
“Boleh masuk?” tanya mas Andra, masih dengan senyum manisnya.
Saya mengangguk lalu membuka pintu untuknya. Mas Andra segera duduk di samping saya lalu diam sebentar. Saya tahu dia memandangi saya dalam diamnya. Saya tahu itu lewat ekor mata saya.
“Besok saya pergi, Nan,” katanya perlahan.
“Saya tahu.”
“Mulai besok kita nggak bisa seleluasa dulu untuk saling ketemu, untuk saling curhat… Saya sudah bilang Bastian untuk nyediain waktunya buat ndengerin curhat Nana.. Saya udah bilang juga sama Niko dan Erwin untuk ngejagain kamu.”
Saya diam.
“Mulai besok, kalau ada apa-apa, nggak usah ragu-ragu untuk cerita ke mereka, ya, Nan? Mereka semua sudah saya kasih tau, kok…”
“Tapi semuanya nggak akan sama, Mas. Saya nggak akan bisa seleluasa itu bercerita dengan mereka. Saya tidak mengenal mereka sebaik saya mengenal mas Andra. Mereka nggak akan pernah bisa menjadi seperti mas Andra. Kenapa sih mas Andra melimpahkan semuanya pada mereka? Kenapa, sih, Mas… Kenapa? Kenapa seolah-olah kamu harus mengakhiri semuanya? Saya ngerasa sudah kehilangan mas Andra, jauh sebelum kamu benar-benar pergi…” Saya berhenti sebentar untuk menangis. Saya biarkan air mata itu turun begitu banyak dari mata saya. Biarlah. Saya nggak peduli sejelek apa muka saya di depan mas Andra, sesembab apa muka saya sekarang. Saya ingin mas Andra tau kalo semua yang saya lakukan ini adalah refleksi rasa sayang saya buat dia. Refleksi rasa takut saya kehilangan dia…
“Mas Andra sendiri kan yang bilang kalo semuanya nggak akan berubah? Kapan sih mas Andra mau menepati janji? Kapan mas Andra berhenti mengucapkan janji-janji yang nggak bisa mas Andra penuhi?”
“Nan…”
“Sebetulnya saya nggak tau kenapa saya menangis,” kata saya sambil mengusap air mata saya. “Saya juga nggak tau kenapa begitu mudah kalimat-kalimat itu keluar dari mulut saya. Padahal dalam hati saya sakit sekali, Mas. Asal mas Andra tau, semua itu cuma tirai yang menyelubungi perasaan saya yang sesungguhnya… Sebenarnya, kalau saya bisa atau berhak, saya akan melarang mas Andra pergi meninggalkan saya, meninggalkan semua kenangan-kenangan yang udah kita lewati bersama… Tapi saya nggak bisa, Mas. Saya bukan orang yang tepat untuk melarang kamu. Saya cuma adikmu.”
“Kamu bukan cuma adik saya, Nana… Kamu juga seorang sahabat, seseorang yang membuat saya tertawa, seseorang yang bisa menjadi tempat cerita saya… Jangan dikira saya nggak merasakan semua itu. Saya merasakannya, Nan, sama seperti kamu.”
Saya terdiam. Terkejut.
“Saya sengaja nggak ingin bertemu kamu karena saya nggak ingin merasakan perpisahan. Saya ingin membiasakan diri saya untuk nggak ketemu kamu, supaya begitu kamu jauh dari saya, saya udah terbiasa. Tapi, Nan, begitu saya ngeliat kamu lewat di depan rumah saya tadi, entah kenapa saya ingin cepat-cepat berlari menemuimu. Entah kenapa saya ingin mendengar suaramu. Karena itulah sekarang saya datang ke sini. Saya ingin melihatmu, sekali lagi, sebelum kita ketemu lagi suatu saat nanti…”
Mas Andra merangkul tubuh saya lalu menyimpan saya dalam pelukannya. Saya sadar, mas Andra ternyata juga merasakan kepedihan yang sama. Tapi sepedih apapun, perasaan saya tetap lebih pedih, karena saya akan kehilangan tiga sosok sekaligus. Sahabat, kakak, juga belahan jiwa…
“Nan, nanti malam keluar, yuk?” kata mas Andra setelah melepaskan pelukannya. “Kita nonton, kita ke kafe, trus… kemana lagi, Nan? Ehm… kita ke…”
Saya nggak mendengarkan celotehan mas Andra berikutnya. Saya biarkan dia membuat rencana. Saya biarkan dia membuat janji-janjinya. Untuk yang pertama kali, saya melihat wajahnya berseri-seri saat membuat janji dengan saya…
Ah..
Besok, hari Sabtu, tanggal 20 Mei.
Mas Andra memang akan pergi. Tapi dia akan kembali lagi. Saya percaya, kalau masih ada umur, sepanjang Tuhan masih memberikan kesempatan, saya akan bersua lagi dengan mas Andra. Dan semoga Tuhan juga memberikan kesempatan pada saya untuk mengatakan bahwa saya membutuhkan dia…
http://www.friendplay.com/ugc/audio/mp3player_1.swf?artist=BoyzIIMen&MariahCarey&title=OneSweetDay&url=http://www.friendplay.com/ugc/audio/mp3/1/1637_15002223.mp3&song_info=7+played++0+comments++posted+1+month%28s%29+ago
Surabaya, 2 Mei 2000
Kapan2 maen ke Surabaya, dong, Mas…
Seperti mencoba menata kembali kepingan hati yang jatuh berserakan atau mengumpulkan kembali sisa-sisa kekuatan untuk bisa berdiri tegak kembali setelah badai… atau bahkan seperti melekatkan kembali irisan kulit yang terluka dengan perban yang akhirnya malah melengketi setiap perih. Seperti itulah aku, ketika kutahu dia melabuhkan hatinya. Tidak denganku. Tapi dengan Denise, sebelah jiwaku sejak dulu.
Denise memang tak pernah membayangkan semua kejadian yang terjadi begitu cepat dan seperti telah tertata sempurna layaknya sebuah skenario layar lebar, dan kutahu persis sahabatku itu bahkan tidak berani untuk merencanakan babak demi babak yang akhirnya berujung pada hari itu. Aku tahu. Aku yakin, sangat meyakininya. Karena Denise adalah sahabatku, juga dia… dia yang sangat kusayangi.
Hhh…
Menghela napaspun kini seperti berjuang.
Seperti berjuang melawan perih dengan menatap kedua bening mata Denise yang mengalirkan air mata tak tertahan, saat ini.
Denise menggenggam tanganku.
“I’m sorry, Lia…”
Dengan pandangan seperti itu, dengan raut wajah yang menyimpan gundah dan gelisah, dengan kedua bola mata yang basah dengan air asin hangat seperti itu… menatapku, lekat, dan memohon aku membuka pintu maaf dan meluruhkan semua bendungan emosi dan luka hati. Bisakah aku?
But she’s your bestfriend, Liana. Sayapnya adalah kamu… dan kamu adalah sayapnya. Masih bekukah kamu?
Aku seperti mendengar sesuatu. Sayup-sayup. Seperti mengajak berdialog, seperti mengajak untuk duduk dan merenung lalu berbuat sesuatu. Seperti menuturiku… seperti nuraniku. Diakah?
Aku tak tahu bagaimana cara mendengarkan nurani.
Suatu kali, pernah dia mengatakan sesuatu padaku.
Dia berkata, “Orang-orang jarang yang menggunakan nuraninya… Padahal kamu tahu, Lia, jarak antara otak dan hati tak lebih dari dua jengkalan jari… tapi herannya masih banyak orang yang tak mendengarkan hati…”
Tapi aku tak tahu bagaimana cara mendengarkannya, menggunakannya.
Hati dan otak tak terlampau jauh jaraknya, tapi mengapa yang kugunakan selama ini adalah otak semata yang menginstruksikan sesuatu hanya menurut mau dan keinginanku? Bukan hasil dari penyelaman hati dan nurani?
Saat aku bertanya caranya, dia hanya menjawab, “Kamu pasti bisa, hanya belum mencoba.”
Bagaimana?
Aku masih sulit menerjemahkan hatiku sendiri.
Dulu kuanggap aku paling bisa menerjemahkan dialog hati kecilku, tapi setelah berulangkali kulakukan apa yang diinginkan hatiku, yang ada malah suatu perih dan luka. Seperti ketika kuanggap Andy adalah segalanya… adanya malah dia memberiku luka yang saking dalamnya bahkan hingga kini bukan hanya masih membekas, tapi masih menganga perih. Kulakukan semua yang hatiku bilang, tapi yang ada malah luka demi luka yang datang seperti antrian orang menonton bioskop.
Jadi sejak saat itu, kubilang tegas, nurani telah menyesatkan aku.
Hati kecil, bukan lagi yang paling tahu.
Tapi logika dan otak.
Keyakinan yang kemudian meluntur sejak kukenal dia, yang tersayang… dan yang senyum lembut serta pandangan teduhnya adalah sebagian kecil dari kerinduanku yang terbesar.
Dia…
Dia yang kini menjauh…
Dia tidak menjauh, Liana. Dia masih ada untuk kamu. Untuk perih dan luka. Untuk memeluk setiap kamu lemah… Dia masih berbagi cerita, dia masih membagi ruang pikirnya untuk semua ceritamu. Kamu tidak kehilangan dia, dia masih sahabatmu….
Tapi dia lebih memilih Denise..
Aku jadi ingat Denise lagi.
Aku masih melihat matanya memerah. Sungguh. Aku ingin memeluknya, tapi aku seperti ingin berlari saja dari kenyataan ini. Terlalu pahit, terlalu menyakitkan. Aku tak sanggup. Aku tak berusaha membuat diriku menyanggupi.
“Lia…please…”
Aku menunduk.
What please? ‘Please, don’t be mad, okay?…’Please, forgive me?’… ‘Please, let me show you how I feel?… Please understand me for loving him that much?’… Please itukah yang ingin kamu ucapkan, Denise? Dan kamu berharap aku bisa memahami kamu yang menjatuhkan hatimu kepada dia yang sangat kucintai? Please… please… Lalu bagaimana dengan aku? Perasaanku? Sakitku? Please do something with me too, Denise!
Aku meronta… ingin menangis.
Tapi aku ingat dia lagi.
Ingat kalimat-kalimat bijaknya saat kami duduk berdua di teras rumah dan ia mulai berfilsafat.
“Jangan menempatkan harga dirimu terlalu tinggi, Lia. Karena ketika kamu merasa harga dirimu direndahkan oleh orang lain, yang ada hanyalah rasa sakit. Beda kalau kamu menempatkan harga dirimu di tempat yang rendah. Ketika harga dirimu dilecehkan, kamu hanya bisa tertawa dan orang lain yang menghinamu justru akan merasa percuma.
Pelajaran ini justru aku dapat dari tukang becak. Percaya nggak?”
Aku masih terdiam saat itu.
“Waktu itu aku marah dan bilang… dasar tukang becak, goblok!… dan tahu apa yang dia bilang? … Hmmm… dia bilang, ‘Mas, kalo saya pinter nggak akan jadi tukang becak…’… Kamu tahu essensinya apa? Ini soal pride. Dan akhirnya malah aku yang diam dan ketawa.”
Hh..
Harga diri.
Harga diri yang kini sedang kutempatkan di tempat yang paling tinggi.
Aku terlalu angkuh untuk memberi maaf. Aku terlalu angkuh untuk merendahkan sedikit saja. Aku terlalu terluka. Bisakah ada yang mengerti? Maukah Denise menyadari bahwa dia telah melukaiku dengan mengambil semua ruang di hati dia? Tidak menyisakan sedikitpun untuk aku… atau kenangan-kenanganku… apalagi cinta yang tulus, yang kubina dan kupelihara sedemikian rupa sampai berbunga… sampai tinggal terpetik… sampai tinggal tercium wanginya.. sampai dia akhirnya malah mencabut sampai akar-akarnya dan mengeringkan lahan tumbuhnya.
Dari awal, dia memang tak pernah berjanji apa-apa.
Mungkin dia sayang… aku tahu itu.
Tapi kalau soal akan menitipkan hati dan menyuruhku untuk menjaga hatinya… tak pernah ada kata-kata itu meluncur dari bibirnya.
Karena kuingat persis.
Suatu sore, menjelang aku pulang ke rumah, dia pernah mengatakan kalimat seperti ini:
“Sebagai manusia, kita harus nothing to lose. Mengalir saja, tanpa berharap terlalu tinggi pada sesuatu. Karena jika sesuatu itu tidak tercapai… apa yang kamu dapat? Sakit, Lia. Sakit.
Contoh kasusnya seperti ini.
Seandainya suatu saat kamu mengenalkan aku pada Denise… lalu tiba-tiba aku merasa sesuatu buat dia… dan naksir dia… Apa yang kamu lakukan?”
“Aku akan marah. Aku pasti kecewa.”
“Itu karena kamu berharap terlalu tinggi padaku.”
“Maksudnya?”
“Liana, apa menurutmu setiap keinginanmu harus terpenuhi? Lantas bagaimana dengan keinginan orang lain?”
“Maksudnya?”
“Kalau kamu berharap aku jadi kekasihmu tapi aku menyukai orang lain… apa aku harus jadi kekasihmu? Lantas bagaimana dengan kebahagiaanku sendiri?”
Sore itu, adalah suatu sore yang paling menyadarkanku atas segala bimbang dan raguku.
Kalimat-kalimat itu jelas.
Sangat jelas.
Ini menjelaskan tentang kedekatan kami, tentang apa artinya aku buat dia, dan seperti apa dia menginginkan dirinya dalam aku, pikiranku.
Aku mencintainya, dia tahu itu.
Aku sungguh menginginkan dia, … ah.. dia juga sangat mengetahuinya.
Tak kurang-kurang kubilang aku sangat menyayanginya.. and he knew it.
Tapi dia berkata seperti itu.
Dan aku sakit hati.
Terlebih di bagian ini, ketika kubilang padanya dengan air mata tertahan (dia tidak mengetahuinya, karena kami berbicara di telepon), “Jadi maksud kamu… aku harus berhenti berharap pada kamu? Aku harus berhenti memiliki great expectation dari hubungan ini?”
Yang kutakutkan adalah satu.
Kata iya.
Dan ketakutan itu terjadi.
Karena dia bilang, “Iya.”
Sore itu, aku seperti terempas dari kehidupan. Dari kebahagiaan.
Dia memang benar. Aku terlalu tinggi berharap, sampai aku terlalu kesakitan untuk menanggung ketiadaan pemenuhan atas harapan itu.
Kupikir dia menyayangiku
Kupikir dia mulai membuka hatinya padaku.
Tapi aku salah.
Aku sama sekali salah.
“…. Lantas bagaimana dengan kebahagiaanku sendiri?….”
Jadi dia tidak bahagia?
Kalau kini dia merajut cinta bersama Denise, artinya dia sudah menemukan kebahagiaannya?
Dia menemukan kembali bahagianya, Liana. Setelah bertahun-tahun larut dalam kilasan-kilasan trauma yang datang dan pergi seperti slide show presentation. Hadir, mengusik, pergi lagi, lalu hadir..pergi…hadir.. pergi. Kini dia menemukan rumahnya kembali, Liana. Tidakkah ada sedikit saja rasa sayangmu untuk dia? Katamu dia adalah orang yang sangat berarti untukmu, tapi kemana perginya kamu ketika dia membutuhkan sayangmu? Restumu…
Dia tak perlu restuku.
Siapa aku?
Dia memang orang yang tersayang bagiku… tapi siapa aku?
Aku hanya seorang Liana, sahabatnya.
Dia memang sering membagi ilmu dan pandangan-pandangan hidupnya denganku. Dia juga memang selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan memberi nasehat. Dia yang kemudian melarut secara homogen dalam mimpi-mimpiku setiap malam, tanpa ada penolakan-penolakan, karena memang kuinginkan. Dia yang bilang, “Have a nice dream” tanpa tahu kalau definisi “a nice dream” adalah mimpi dengan dirinya sebagai tokoh sentral.
Tapi aku tak lebih dari itu.
Sahabat.
Indah.
Tapi masih tak lebih menyenangkan dibandingkan kata ‘Kekasih’.
Jadi dia tak perlu restuku.
Karena dia hanya sahabatku.
Dia tak butuh terbukanya pintu hatiku.
Karena terbuka atau tidak, dia lebih memilih Denise…
Denise, yang baru dikenalnya beberapa bulan yang lalu, ketika aku berjanji akan mengenalkan sahabatku itu dengan dia…
Harusnya kutahu, dia tertarik.
Harusnya aku menyadari, setiap gerak bola matanya seperti berusaha menangkap senyum manis Denise.
Mustinya saat itu, ketika dia larut dalam canda dan memandang terus kedua bola mata Denise dengan sangat antusias, dan memperhatikan semua cerita, aku tahu apa yang sedang terjadi.
Lebih-lebih ketika enam pekan berikutnya dia berkata, “Sepertinya aku menyukai Denise, Lia..”
I should’ve known it!
Tapi aku bodoh.
Karena aku masih berharap.
Great expectation… and it hurts too bad.
Saat itulah, kuingat kembali kata-katanya saat itu.
….“Kalau kamu berharap aku jadi kekasihmu tapi aku menyukai orang lain… apa aku harus jadi kekasihmu? Lantas bagaimana dengan kebahagiaanku sendiri?”…
Egoisnya aku…
Ahh…
Ternyata aku masih sama saja.
Masih seperti anak kecil yang baru tumbuh gigi, karena semua kalimat-kalimat bijak itu belum terkunyah sempurna olehku.
Kapan aku mulai berubah?
Kapan aku tetap seperti ini?
Tetap menggenggam harga diri erat-erat sementara ingin merangkul Denise dan mengucapkan selamat atas hari bahagianya esok pagi?
Denise masih menangis.
Memegang lutut dan memohon di kakiku.
Hei… siapa aku?
Dia tak perlu melakukan itu semua hanya karena aku terlalu gengsi memberikan restu dan merelakan dia bahagia.
“Denise…. please don’t cry. Besok kamu harus tampil cantik. Kalau kamu menangis terus seperti ini, kamu akan terlihat kurang segar dan kamu akan menyesalinya. Sudah deh…..”
Denise memandangku tak percaya.
“Lia… kamu…”
“Iya.”
“Kamu nggak marah lagi, kan? Kamu memaafkan aku kan?”
“Apa yang perlu dimaafkan?” Kupandangi Denise. “Maafkan aku, Denise. Aku yang salah. Aku yang egois. Aku…”
Denise malah merangkulku.
Dia menangis, aku juga.
Dia sahabatku, aku juga sahabatnya. Masih pantaskah aku menghilangkan semua yang indah-indah selama belasan tahun hanya karena aku yang terlalu emosional dan menyikapi semua ini dengan otak tanpa hati?
“Denise… sekarang pulanglah. Tenangkan hatimu… supaya besok bisa lancar. Aku akan datang pagi-pagi dan membantu kamu bersiap-siap. Boleh kan?”
Denise menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih, Liana…”
“No. Thank you, not me.”
Denise tersenyum lalu pergi.
Hmm…
Ada perasaan tenang menyusup di hatiku. Rasanya seperti telah memenangkan satu pertandingan dan aku melonjak gembira karena telah berhasil melakukannya.
Tapi… ada satu pertandingan lagi.
Bukan dengan Denise.
Tapi dengan dia.
Aku mengambil telepon, lalu mendial nomor ponselnya.
Belum lama, kudengar suaranya.
Suara yang kurindukan.
‘Kenapa, Lia?’
‘Apa kabar?’
‘Baik. Kamu juga?’
‘Iya…. Ngg….’
‘Kenapa?’
‘Aku kangen.’
‘Iya, aku tahu. I miss you too.’
‘Maafkan aku.’
‘Aku juga.’
‘Aku nggak enak sama kamu.’
‘Aku merasa enak-enak aja, kok.’
‘..nngg…’
‘Kayak Moerdiono aja… ah eh ng gitu… hehehe…’
Aku tertawa. Aku kangen candanya. Sudah sekian lama aku berhenti menemui dan menelepon dia. Mungkin lebih dari dua bulan aku memutuskan tali silahturahmi dengan dia. Padahal kuingat betul dia pernah bilang, “Kalau kamu memutuskan tali silahturahmi, berarti kamu memutuskan pula tali rezekimu…”
Bisa terbayang, kan, bagaimana mungkin aku tidak mencintainya?
Cinta yang bukan berarti harus memiliki…
Hh…
‘I just wanna tell you this.’ Aku harus bicara. Ini penting.
‘What is it?’
Seperti mencoba mengeluarkan sesuatu yang sangat besar dari rongga mulutku, seperti berusaha mengunyah tanpa gigi, seperti berusaha menggengam tanpa jemari… aku seperti tak bisa melanjutkannya.
Tapi kamu harus bisa, Lia. Dan aku tahu kamu pasti bisa melakukannya. Ini bukan kekalahan, ini justru menunjukkan betapa dirinya sangat berarti dan betapa kamu sangat berarti dalam hidupnya. Ini saatnya kamu menerjemahkan aku sebagaimana mestinya. Coba dengarkan aku, Lia. Please. Dengarkan aku…
Lakukan, Lia. Tell him.
Itukah hatiku?
Betulkah yang kudengar samar-samar tadi adalah ‘hatiku’? Apa aku tidak salah menejermahkannya? Benarkah? Setelah sekian lama menutup telinga untuk hati, ternyata ia tak berhenti menuturiku?
Hatiku mengajakku berdialog.
Dan aku mendengarnya!
Hmm… jadi aku harus melakukannya.
Meski berat, meski menyakitkan. Tapi aku harus melakukannya dengan hati yang lapang dan pikiran yang tenang.
‘Sam…?’
‘Iya.’
‘Aku sayang kamu… Semoga kamu bahagia…’
Kutahu, itu yang dia butuhkan. Itu yang ingin dia dengarkan.
Bagaimanapun, dia adalah sahabatku, dia selalu menjadi bagian terbaik dalam babak-babak kehidupanku.
Dia, Samuel, yang sangat kucintai, kubanggai, kusayangi… Yang senyumnya adalah termanis, yang kalimatnya adalah peneduh, yang kedua bola matanya adalah seperti pelita…
Dia, Samuel, seorang sahabat yang akan selalu menempati ruang terindah dalam hatiku, hidupku.
Meski aku tahu…dia… yang tak pernah menjadi kekasihku…
http://widget.lyricsmode.com/i/scroll2.swf?lid=96135&speed=1
Lyrics | Wilson Phillips lyrics – You’re In Love lyrics
***
Originally written on Dec 11, 2004