I am a writer wannabe.
Saya pernah pernah menulisnya di side bar blog saya dan dengan segera seorang teman bernama Donny Verdian bilang, “Hey, kamu itu penulis!” Maksud dia, saya bukannya ‘wannabe’ tapi ‘already’ atau berhenti saja di “I am a writer.” Selesai.
Saat itu saya belum lagi menulis buku, meskipun blog menjadikan saya sebagai penulis yang sangat aktif (ah, terbayang kini di dalam kepala saya betapa dulu saya bisa menulis sampai sembilan cerita dalam satu hari!). Semua kejadian-kejadian kecil di dalam kehidupan saya berhasil saya ceritakan ulang di blog saya yang saat itu masih baru beberapa bulan saja umurnya. Entah kenapa, ketika masih ‘perawan’ dan belum ‘melahirkan jabang bayi‘, seorang saya tidak pernah berani menyebut dirinya sendiri sebagai penulis. Iya, karena menurut pemikiran saya, profesi yang sungguh hebat dan selalu berhasil membuat saya ternganga bangga dan iri tidak boleh disamakan dengan penulis di blog yang standar-nya, for me, that time.
I was a blogger. A writer wannabe.
Not until I can publish my own book and find it in the book store; I’m not qualified enough to be called as a writer.
Sudahlah, blogger saja. Tak perlu bilang bahwa saya adalah penulis; meskipun kini saya mulai menganggap bahwa setiap blogger adalah penulis-penulis yang menunggu giliran agar naskahnya segera dibaca oleh seorang editor lalu mulai berjuang di berbagai sidang agar dianggap layak cetak. Continue reading