Learning From The Movies Vol.5
Life is about choices and it begins when you wake up every single day.
Ketika hari mendung, kamu memilih: stay in bed a little bit longer or wake up and take a shower, then go to work as usual?
Ketika membuka lemari pakaian, kamu memilih: which one is good, red or this dark blue shirt?
Ketika sampai di meja makan, kamu memilih: should I have my breakfast now or later?
Ketika ada di dalam mobil menuju kantor, kamu memilih: do I want Michael Buble or old songs from Def Leppard to lift up my mood?
Ketika sampai di kantor, kamu memilih: should I order breakfast from the cafetaria now or just a cup of coffee and one single bread with jam which I brought it from home?
Dan kamu tahu?
Semua pilihan-pilihan itu sudah tersodor di depan hidungmu ketika hari belum lagi pukul delapan pagi!
…sementara kamu tahu persis, satu hari adalah dua puluh empat jam yang utuh, yang tidak bertambah banyak meskipun kamu memundurkan jarum penunjuk di jam wekermu atau berkurang karena kamu terlampau lelah bekerja.
Satu hari adalah dua puluh empat jam. Tidak ada bonus, diskon, promosi buy one get one free, atau apalah namanya. Jatah dalam satu hari cukuplah dua puluh empat jam. Dan dalam kurun waktu sebanyak itu, pilihan-pilihan akan bermain-main di depan mata dan semuanya seolah berteriak, “Pick me! Pick me!” Dan memang, salah satu di antara mereka pasti memenangkan pertarungan itu dalam setiap detik waktumu.
I know, pilihan seperti warna baju yang akan dipakai, memutuskan untuk memanjakan tubuh lebih lama dalam pelukan selimut daripada segera berangkat kerja, memilih untuk sarapan sekarang atau nanti saja, atau siapa yang lebih mampu membangkitkan energi: sentakan suara Def Leppard atau suara mendayu dan seksinya Michael Buble yang sanggup menggerakan jempol kaki kamu seolah berdansa dengan musik swing jazz-nya, adalah pilihan-pilihan yang mudah. Yang tidak perlu berpikir sampai pusing kepala. Yang tidak membutuhkan diskusi atau dialog dengan hati kecil kita sampai berlarut-larut.
Memutuskan beberapa pilihan tadi adalah sangat mudah; it wouldn’t change our lives so significant.
So what if you chose Michael Buble? Meskipun akhirnya kamu akan sangat mengantuk misalnya (Oh NO! I love him with all my heart, actually.. hehe)
So what kalau akhirnya perut kamu keroncongan karena menunda sarapan? You can have your breakfast right away.
Mudah, kan?
Tapi bagaimana kalau saya bilang soal kamu telah salah memilih:
Jurusan atau fakultas saat menempuh jenjang pendidikan strata satu?
Pasangan hidup?
Pekerjaan?
What would you do?
Apakah kamu dengan mudah akan:
Berganti jurusan atau fakultas yang sekarang dengan yang benar-benar kamu minati?
Filing your divorce paper, karena memang sudah tak bisa kamu pertahankan lagi?
Membuat surat resign lalu buru-buru angkat kaki dari kantor dan mencari pekerjaan yang sesuai keinginanmu?
Is that what you’re really going to do?
Dan coba bayangkan sebentar. Dua puluh empat jam adalah periode waktu dalam satu hari, and in the first eight hours, kamu sudah dihadapkan dengan banyak pilihan-pilihan yang mutlak harus kamu ambil salah satu. Now, imagine your life. Ada berapa jam? Ada berapa hari? Berapa bulan? Berapa tahun? Terbayang, kan, betapa banyak pilihan-pilihan yang tersodor di depanmu? Dan apakah sebuah pilihan itu akan berhenti sampai di sana saja?
Oh, no, Guys.
Ketika kamu memilih: okay, I’ll have my breakfast now.
Pilihan selanjutnya adalah: then what should I have? Roti, nasi goreng, mie instan, atau bubur ayam?
Pilihan berikutnya bisa jadi: Selai yang mana? Nasinya sedikit atau banyak? Mie instan rasa apa? Bubur ayam beli di mana?
It would never stop.
Not until your life is over, all those choices will hunt you down, forever! 😀
Sama seperti ketika kamu memutuskan untuk pindah jurusan, bercerai, atau resign dari pekerjaan; kamu masih harus terus memilih; terus dan terus memilih.
Until one time, pernah nggak, sih, kamu duduk terdiam, pada sebuah hari yang sudah gelap, pada sebuah malam yang sangat tenang dan yang berisik hanya suara kucing kawin di depan pagar rumah, dan angan-anganmu terbang melayang seperti balon gas yang benangnya tak tergenggam erat oleh rangkuman jemarimu, lalu bertanya: “Did I made the right decision?”
Yeah. You start questioning your so called magnificent decision; pilihan yang kamu anggap sebagai satu-satunya pilihan paling masuk akal yang bisa kamu pilih and you did.
Dan bisa jadi, saat itu kamu merasa begitu bodoh, begitu menyesal, dan marah karena telah memutuskan sesuatu dengan gegabah, terlalu terburu-buru, dan tidak membawanya dalam doa yang tak putus-putus. Emotionally based.
So, apakah kamu pernah merasa seperti itu? Menjadi seseorang yang merasa telah salah memilih? Yang berpikir apakah kamu sudah melakukan hal yang benar saat kamu terduduk di ujung hari?
Have you?
Well..
Honestly…. I have.
Yeah,
I do.
Saya pernah dengan bodohnya memilih untuk bertengkar dengan Mami di hari terakhirnya bersama saya. Permasalahannya sangat sepele: she wanted me to stay in her room, tapi saya memilih untuk tidur di kamar saya. Itu adalah hari terakhir, PAGI terakhir. Mami cuman kepingin tidur ditemani oleh si Bungsu, tapi saya enggan tidur di sana karena baru saja Mami muntah dan isi perutnya mengotori kasur yang sengaja digelar di bawah tempat tidurnya.
I was so tired on watching her all the time. I guess, I was so damn emotional.
Dan akhirnya saya memilih naik ke kamar saya, setelah ngomel panjang pendek dan bilang, “Aku pingin tidur di kamar, Mi. Di kamarku sendiri. Pingin istirahat. Capek!” lalu saya naik ke kamar lalu tidur.
She didn’t say anything. She didn’t even begged me, anymore. She just looked at me and let me go.
I fell asleep dan terbangun menjelang pukul satu siang. Saya ingat, saya masih ada tanggungan segunung pakaian yang butuh disetrika. Bergegas turun ke bawah dan Papi tiba-tiba memanggil saya.
“Coba liat Mami, La… Mami tidurnya lucu, ya?” Kata Papi saat itu, menyeret tangan saya dan menyuruh saya masuk ke kamar.
Anehnya, saya tidak menurut. Saya hanya mengintip dari balik pintu dan melihat Mami tertidur dengan wajah yang sangat lucu; bibirnya membuka. Mirip seperti tidur lelahnya saat perjalanan dengan mobil ke luar kota. Saya mengintip tak sampai satu menit, lalu kembali ke tempat setrika dan mulai melanjutkan pekerjaan.
And for the next fifteen minutes, I lost my Mom… forever.
For-fuc*ing-ever.
Bisa terbayang bagaimana menyesalnya saya karena memilih untuk bertengkar pada hal yang sepele atau memilih untuk mengintip saja instead of mendatangi Mami dan mengelus anak-anak rambutnya? Mencium pipinya, barangkali? Memijit kakinya? Saya sangat menyesal!
Sekarang saya tanya sekali lagi sama kamu: Pernahkah kamu memilih melakukan sesuatu dan kamu sesali pilihan itu keesokan harinya (atau bertahun-tahun setelahnya, mungkin)? Pernahkah di ujung hari kamu menyesal telah memilih untuk bertindak, tidak berdasarkan pertimbangan yang matang dan melibatkan logika, tapi memanjakan egoisme dan emosi yang menyentak-nyentak semata?
Pernahkah?
If so, then you should see one of my favorite movies… City of Angels; a great movie that will make you realize that we shouldn’t regret anything…
Film ini bercerita tentang seorang Malaikat (Seth) yang jatuh cinta dengan seorang manusia biasa, Maggie. Malaikat ini hanya bisa mengawasi manusia yang bekerja menjadi dokter ahli bedah jantung dan sebaliknya, Maggie hanya bisa merasakan kehadiran Seth dengan penajaman intuisinya. I have no idea whether it’s impossible or not, tapi keduanya merasa terikat satu sama lain. Jatuh cinta dan saling membutuhkan.
One time, demi bisa mencintai Maggie secara utuh, demi bisa menyentuh kulit halus Maggie dan merasakan rambut perempuan cantik itu bergeser lembut di kulit permukaan telapak tangannya, atau mencium aroma tubuh Maggie yang terbang terbawa angin, Seth memutuskan untuk menjadi manusia saja, tidak lagi menjadi malaikat yang immortal. Demi seorang Maggie. Demi seorang perempuan yang akhirnya bisa dia cium, peluk, dan cubit pipinya. Demi seorang perempuan yang akhirnya tewas karena kecelakaan, hanya beberapa jam setelah ia berubah menjadi seorang manusia. BEBERAPA JAM SAJA!
Bisa terbayang bagaimana hancurnya perasaan Seth? He was an angel who turned into man for this lovely girl that he really cared about. Maggie was the only reason why he ever wanted to become a mortal. He gave up all his privilege and started being a man with limited ability, just because he loved Maggie too much. Just because he wanted to be with her, smell her sweet perfume, and breath together with her in his arms.
Tapi apa yang terjadi? She died. Tidak lama setelah ia mengambil satu pilihan yang sangat sulit untuk seorang Malaikat seperti dia.
Saya nggak tahu harus berbuat apa jika saya menjadi seorang Seth; saya sudah gila, barangkali! Benar-benar gila! 😦 Semua terasa sangat sia-sia, sangat tidak bermakna, dan berulangkali bilang pada hati: “Seandainya saya nggak terlalu menuruti hawa nafsu semata…. “
Itu kalau saya. Bagaimana dengan Seth? Well, he just said this heart-melting sentence:
” I would rather have had one breath of her hair, one kiss from her mouth, one touch of her hand, than eternity without it.”
Meleleh nggak, sih?? 🙂
Dia tidak menyesal; meskipun mungkin Malaikat yang lain menganggapnya bodoh.
Dia tidak menyesal; meskipun mungkin setelah ini dia bisa berdarah, terluka, atau menemui ajalnya.
Dia tidak menyesal; meskipun Maggie tak lagi ada di sampingnya, beberapa jam setelah ia memutuskan untuk menjadi manusia.
Dia hanya menyesal; kalau dalam seumur hidupnya, dia tidak pernah mencium harum rambut Maggie, mencium bibirnya, dan menyentuh tangannya…
Then it got me thinking.
Saya memang menyesal ketika saat itu memilih untuk bertengkar dengan Mami. Saya sangat menyesal karena harus mengintip saja tanpa benar-benar masuk ke dalam kamar untuk melihat wajahnya.
Tapi dengan semua kesalahan itu, saya semakin tahu, bahwa kehilangan seseorang yang sangat saya cintai adalah sangat luar biasa pedihnya… and if only I could, saya tidak ingin kehilangan siapapun lagi. Not ever (dan saya tahu, ini adalah sangat tidak masuk akal). Sejak itu, saya semakin tahu, bahwa pertengkaran dengan keluarga, dengan kerabat, dengan sahabat-sahabat tercinta, seharusnya tidak pernah terjadi. Saya harus sanggup mengendalikan emosi, saya harus sanggup menata perasaan, dan menjaga mulut saya agar tidak melontarkan kata-kata yang membuat hati mereka terluka (Oh God, I’m trying to control my mood and temper… it’s driving me nuts, already!) Because I will never know, apa yang terjadi setelah ini. Bisa jadi, pertengkaran tidak penting yang baru saja saya sulut, akan membuat saya menyesal sekali lagi. And believe me, regretting something ain’t fun at all.
Dengan memilih untuk tetap bersama keluarga, menghabiskan waktu dengan keluarga saja, jarang sekali dengan teman-teman (kecuali GangGila, pastinya), saya tahu, I have slim chance to find my true mate. Tapi, sudahlah. Saya tidak ingin menyesal.
Life is about choices, after all.
And once it is made, you could never take it back.
Because life is moving forward and not the other way around.
So?
Buckle up and keep on moving, will ‘ya?
***
My room, Feb 8, 2008 (3.38 AM)
Thanks God, internet gue sembuh! Yay! 😀
Dan mengendalikan semua itu ketika sedang PMS adalah perjuangan yang sunguh nggak mudah, kan, Sis? But we have to try, though…
Baru mau bobo, Sis… 🙂
Dan aku tidurnya satu setengah jam berikutnya hihihihi….
Miss you too
What else can I say? Your words are too perfect to comment! 🙂
Hey, Raff.
Aku suka banget deh sama kata-katamu yang ini nih: “I better choose the best for me and make sure kalau masalalu itu ngga mempengaruhi apapun….. dimasa mendatang.”
Karena memang, yang bisa luwes diubah adalah masa depan, bukan masa lalu, kan? 🙂
Bener banget. Pilihan itu memiliki bobot resiko yang berbeda-beda. Yang penting adalah mistakes make us more clever. Tapi…. untuk orang-orang yang mau belajar. Don’t you think? 🙂
Keputusan keliru memilih menjadi seorang Daniel Mahendra?
Atau kamu salah saat memerankannya? hehe…
Aku pernah ikut casting jadi Julia Roberts… tapi ditolak… Katanya aku terlalu cakep buat menjadi dia… *hey, lightened up! Nadamu sedih!* 🙂
I love this song too, Babe! Gue udah cerita kan, pas siang tadi gue dengerin lagu ini di radio? ADuh, berasa serendipity banget… musti segera cari MP3-nya! hehe…
Komentarnya serius?
Komentarnya bagus, lebih tepatnya, Mbak… 🙂
Memang, itulah gunanya waktu penjemputan dibuat sebagai misteri. Biar terlihat adil; mana yang benar-benar baik dan mana yang tidak…. *lah, kenapa komentarku jadi nggak nyambung gini, ya? hehehe*
Bukankah begitu, Mas Boy?
Dan segalanya terjadi dengan maksud yang sudah jelas, ya, Bunda?
Saya termasuk perempuan yang bawel dan sulit berhenti ketika bicara *okay, ketika makan juga.. hehe*, sehingga kans untuk ‘menyakiti orang lain lewat kata-kata’ adalah sungguh besar. Aduh, memang harus benar-benar disekolahin dulu mulutnya.. 🙂
Bunda,
mendengar cerita Bunda itu, saya juga jadi speechless. I remember my Mom.. 🙂
Salam balik… 🙂
Makasih buat komentarnya… Indah banget…
Manusia memang yang paling jagoan kalau disuruh bikin proposal ya, Bun… 🙂
Lala udah email ke Bunda Dyah, Bunda Tuti, dan Mbak Nina… Sudah terima kan? Bunda bisa ikut yaa… plis, plis… *merengek-rengek kayak bocah empat tahun minta permen.. hehehe*
Iya, Uda.
Dan bersyukur adalah satu hal yang sangat sulit dilakukan ketika manusia merasa sedang memiliki seluruh hidupnya… ketika manusia lupa bahwa dia hanyalah sekedar manusia…
Uni…
You’re absolutely right. Asking hows and whys will never turn back the time. NOTHING will turn back the time. Everything happens for reasons; it sure does help me a lot from having a feeling that I made a mistake or took a careless decision.
Just like what Carrie Bradshaw said, “As we drive along this road called life, occasionally a gal will find herself a little lost. And when that happens, I guess she has to let go of the coulda, shoulda, woulda, buckle up and just keep going.” 🙂
Ah,
I had a great day, today! It was so difficult in the beginning, but it’s getting better til the very moment 🙂 Thanks Uni! And how’s your day so far?
Apa yang keren, Ni?
Brad Pitt-nya menyumbang berapa persen dari deskripsi kerenmu itu? wekekeke…. Tapi tetep aku catet ya, Bu… thanks a lot!
Sip, Om.
Jangan berlomba-lomba bikin salah, deh… 🙂
Don, jadi kamu pernah remaja? Nggak langsung sebesar sekarang? 😀
Eh, eh….. jangan dikejar… Kalau dia nggak mau, jangan dipaksa lho ya… Inget itu, Don… Inget itu… hehehe…
Apa kabar, Don? Sibuk bener ya kayaknya….
Makasih, adikku yang cantik Retie a.k.a Mbak Titut..
Aku sudah nggak menyesal lagi, kok. Aku tahu, semuanya memang terjadi dengan maksud, bukannya tanpa maksud yang tidak jelas… Semuanya semakin jelas dengan bergulirnya waktu…. 🙂
Thanks a lot!
this is really encouraging! 🙂
Menyesalnya setelah tahu, kalau sebetulnya kamu niat ngebayarin kita-kita… wekekeke… kidding, Say.. kidding…
Tanggal 12? Ada apa yaa…. 🙂
AH, syukur deh bisa selesai juga…
Nah, sekarang masih merasa salah jurusan nggak? Atau malah merasa beruntung karena sebetulnya justru dengan salah pilih, Mas Sunarno telah mengambil jalan yang lebih tepat? 🙂
Benar dan salah itu persepsi masing-masing individu ya, Mbak? Ukuran kepuasan masing-masing orang tidaklah sama, jadi benar untukku, mungkin salah untuk dirimu…
Btw, Mbak Icha… tanggal 7-9 Maret 2009 nanti kita mau liburan sambil kopdar di Jogja.. Join po ra? 🙂
Baju apa?
Hem kantoran biasa warna hitam garis-garis putih! *hanya itu yang sudah disetrika! hehehe*
Hey, Stey!
kangen euy sama dirimuuu……….. (komentar oot, gpp ya… hehehe)
Hai hai…
makasih ya, Denok yang Debloeng… 😀
Aku lama juga nggak ke tempatmu… Jarang kamu update ya, soalnya terakhir berkunjung ke sana, ‘rumah’mu sudah ada ‘sawangnya’ hehehe…. 🙂 Sekarang udah di-update lagi? Ntar aku main ke sana ya…
hehe…
ngerti kok… ngerti……. 🙂
and you’re rite! 😀
It’s a nice blog. salam kenal ya.
Salam kenal juga….. 🙂
Udah? CUman mampir aja? Nggak kasih duit atau cenderamata gitu? 😀
Wah… komentarnya mencurigakan… hehehe…
Ciri-cirinya orang yang nggak konsisten, Bang… hehehe…..
Selamat malam, Abang…..
Apa kabarnya Pak SBY dan Ibu Mega? 🙂
Hehe, aku ini memang orang yang suka iseng menganalisa segala sesuatu, Ida. Jadi kayak orang kurang kerjaan gitu deh kesannya. Kalau belum nemu juga maknanya, jadi bete surete semelekete sendiri… Padahal hikmah kan tidak harus ketahuan pada saat itu juga, tapi dengan berjalannya waktu.. 🙂
Dan soal aku pandai mengambil hikmah dalam setiap kejadian, well, sepertinya aku cenderung ‘pandai menuliskan’ apa yang aku rasakan… Karena setiap orang, aku yakin betul, semuanya pandai kok mencermati semua kejadian yang terjadi di dalam kehidupannya… Dan setiap orang itu.. termasuk kamu, Say! 🙂
Ida jadi ingat Nenek dan berharap bisa memperlakukannya dengan lebih baik?
Why don’t you try being a nicer person to others, today? Paling tidak, kita tahu bahwa kita pernah salah dan berhenti melakukannya…
*aduh, balasan komentar yang berlebihan nih, kayaknya! hehe* Thanks Ida!
Hai, Hafid..
Salam kenal juga… Dari Surabaya juga.. 🙂
Baca komentarmu membuat aku berjuang untuk menekan perasaan biar nggak terharu, lho, Fid. Masalahnya, di dalam isi kepalaku, yang terbayang adalah melihat orang menanti ajalnya.. di depan mata kita. Waktu Mami meninggal, I was there, menyaksikan nafas-nafas terakhirnya. Ada perasaan yang tak terbilang sampai hari ini… Dan sungguh, I’d rather leave my sweethearts than being left…. 😦
Mami sakit diabetes yang sudah merusak internal organnya. Terutama paru-paru dan ginjal.
Menyesal, yang tidak berlarut-larut, membantu kita menyadari bahwa apa yang telah kita lakukan adalah tidak tepat. Seperti yang Bunda katakan, we’re just humans. Manusia saja… Semoga kita belajar…
Aku suka dengan komentar Bunda yang terakhir itu… Adem banget… Bener-bener adem…. Makasih Bunda..
Uni Ade..
Ah, aku jadi inget juga sama kalimat itu.
Dan memang benar, it’s how we deal with it… Mau benar atau salah… harus dijalani semua konsekuensinya…
Kopdar di Jogja? wah wah…menarik itu…dengan siapa saja, La? kabar-kabari lagi infonya ya….
hey, La..
tnyata kita punya banyak kesamaan. mulai dari favorit, ke-single-an kita, sampe ibunda tercinta.
I lost my mother too. n I regret so many things I’ve done to her. Reading ur post reminds me to myself.
Hehe…. Langsung ditengok, ya, Mbak…
Cara bikin tulisan sepanjang itu namun tetep enak dibaca?
haha… caranya, ngancem pembacanya untuk terus mbaca… 😛
life is precious because we have time limit that’s call death. if we have an eternity,maybe time isn’t that precious at all.
i’m sorry for your mom,but the most important thing is that you have learned the lessons quite well:)
oh btw, i like the quote from the movie very much as well:D
one thing for sure about this movie is that ,i think its true that the angels envy us (if they ever could feel envy), if we think about it deeply.
And of course not the other way around ,coz i often see some people wanting to be angels.while in my opinion its better to be human than angels,as God has put as in the highest in all of HIS creations right?
Hai, Dot. Been a while.. 🙂
Yeah, we, human, are the most special creatures that even angels could will envy. We should realize how special we are, therefore we could respect ourselves, our minorities, our disabilities in some points, because somehow, no matter how, we are the most perfect creations of God.
You’re right that life is special because it is limited. I remember how expensive is a limited edition’s bag… hehehe…
THanks for commenting my post, Dot.
It’s always nice to read your comment… 🙂
ni ngomong apa ya, Oyen kagak ngarti..ho..ho
hebat dah gaya penulisannya…mmm, yah kadang kelemahan manusia di situ, sering mudah memperturutkan hawa nafsu, maka ketika kita dihadapkan pilihan yang sulit, biarkanlah Allah membantu kita menentukan pilihanNya dan biarkan Dia menentukan untuk kita
ketika kita (merasa) salah memilih, maka penyesalan harus segera diganti dengan pembelajaran
mmm, Oyen harus belajar banyak neh untuk menulis lebih baik lagi seperti di blog ini
hiks…
sedih,La….