you're reading...
Fiktif

…and this is all about

akhir dari kisah empat manusia:  saya, gua, gue, dan aku

a-girl-in-the-rain1Seorang gadis manis, bergincu pink lembut, beralaskan kaki flat shoes with strings, masih duduk di atas cushions sofa empuk berwarna merah marun sambil menikmati gerimis yang turun di balik kaca kafe yang mulai berembun. Sesekali, dia mengusap kaca tebal yang dingin ini. Merabanya dengan telapak tangannya, merasakan sensasi dingin yang entah kenapa begitu menggetarkan hatinya. Sesekali, dia menggerakkan ujung jemarinya dan membiarkan jemarinya itu menari-nari di atas kaca bagaikan seorang penari balet yang meliuk-liukkan tubuh lenturnya di atas panggung. Satu jemari itu menari, seolah penari kesurupan. Karena tanpa sadar, dia menulis nama itu.

Angga.

“Oh my God…” bisiknya perlahan sambil terburu-buru menghapus tulisan di kaca berembun itu. Tangannya bergetar saat menghapus nama seseorang yang tertulis tanpa disadarinya itu. Kenapa saya harus nulis nama Angga? Kenapa alam bawah sadar saya kini malah mengendalikan saraf motorik saya? Apa yang sudah terjadi? Dia menghela nafasnya, menyadari bahwa tingkahnya sudah mulai tidak waras.

Dia akan menikah dalam dua minggu.
Dia akan menjadi istri seorang lelaki baik yang dipacarinya selama bertahun-tahun, seorang lelaki yang selalu berhasil membuatnya tertawa selama bertahun-tahun, dan seorang lelaki yang kemudian berlutut di bawah kakinya lalu menyodorkan satu kotak kecil berwarna hitam yang terbuka di bagian penutupnya. He gave her the most beautiful diamond ring, yang kini melingkari jari manis sebelah kirinya. Yang berkilauan tertimpa sinar lampu yang tergantung beberapa meter dari tempat duduknya. Yang kini ia belai-belai dengan gelisah.

Tiga bulan yang lalu, ada seorang lelaki baik yang memberikan sebuah cincin bermata berlian sebagai tanda bahwa dia meyakini betul kalau hanya perempuan manis ini yang bisa menjadi pendamping hidupnya sampai maut menjemput. Tapi apakah dia pernah tahu kalau semalam tadi si perempuan tadi malah menangisi lelaki lain? Lelaki lain yang tak akan pernah tahu bagaimana rasanya dicintai seorang wanita begitu mendalam sehingga hampir saja ia ingin melempar cincin mahal itu ke dalam kloset wese dan membiarkannya hilang saja, selamanya?

Mendadak, perempuan ini merasa sangat, sangat berdosa.
Calon suaminya tak pernah membuatnya kesal. Tutur katanya halus dan lembut. Perilakunya sungguh sopan. Dan dalam tiga tahun terakhir ini, tidak pernah sekalipun dia menyakiti hati perempuan ini. 
Lantas apa yang kurang?
Tidak ada. Lelakinya itu nyaris sempurna!

“Lalu apa nama perasaan ini?” Ia membatin. “Perasaan ketika saya merasa sangat senang saat menerima SMS dari Angga. Perasaan deg-degan ketika kulit kami bersentuhan tanpa sengaja. Perasaan tidak bernama yang sering saya rasakan ketika jari-jemarinya merapikan anak-anak rambut saya?”

Perempuan itu masih diam. Masih mencoba berdialog dengan hatinya sendiri. Masih mencoba mencari tahu lewat rinai hujan yang belum juga reda di balik jendela. Masih mencoba untuk memberi nama pada getaran-getaran di hatinya setiap bertemu dengan Angga dan melihat senyum di wajah lelaki yang baru saja pulang ke apartemennya, membawa sebuah buku yang ia rekomendasikan semalam tadi.

She was still there. In her silence. In her own endless thoughts.
Sambil meraba cincin yang melingkar manis di jemarinya.
A ring which must end everything…

***

“Lagi di mana, Sayang?
Lho, bukannya kamu harus ke rumah Mama? Tadi pagi Mama bilang kamu akan ke rumah sore ini…
Di sana hujan?
Biasanya kamu suka banget sama hujan, kan? Malah kamu sering memaksa aku untuk nemenin kamu hujan-hujanan, remember?
Dua minggu lagi, ya?
Bagaimana perasaanmu, hm?
Dan aku juga begitu, Sayang.
Aku cinta kamu, Calon Istriku…..”

Seorang perempuan mendengarkan kalimat-kalimat itu dari balik pintu yang setengah terbuka. Hatinya remuk. Kalimat-kalimat tadi tidak hanya manis dan penuh cinta, tapi penuh dengan rasa sayang dan keinginan untuk menjaga sebuah hati yang rapuh. Sebuah rasa yang tak pernah terdefinisikan secara sempurna di dalam hatinya, karena selama ini, yang ia tahu, lelaki yang ada di balik pintu itu tak pernah mencintainya, seperti dia mencintai perempuan manis yang akan menjadi orang pertama yang dilihatnya saat matanya terbuka, setiap pagi.

And eventhough she knows that she’s the first sight he sees in every weekend, but she knows… she is not the  last person he sees in any other day…

Lelaki itu selalu pulang. 
Dan perempuan ini selalu menangis karenanya.

“Hey, sudah bangun, ya?” tiba-tiba lelaki itu sudah berdiri di depannya. Tersenyum hangat, seperti biasa. Meskipun lelaki itu sadar betul kalau perempuan kurus dengan bibir hitam karena pengaruh nikotin itu telah mencuri dengar percakapannya, tapi ia seolah tak terganggu. Biasa saja. Like nothing’s ever happened.

Dia malah mencium bibir kekasihnya, melumatnya sebentar, lalu menarik tangannya ke arah dapur.  “Aku lapar…” katanya.

Perempuan itu berjalan mengikuti langkah kaki lelaki di depannya sambil berusaha mencium harum tubuh khasnya yang berterbangan di udara, membuat sesak lubang hidungnya. Dia terus melakukannya; menghisap habis aroma perpaduan after shave cologne dengan tembakau yang terbakar itu dan menyimpannya kuat-kuat di dalam paru-parunya.

Kalau seekor unta menyimpan cadangan air di dalam punuknya, perempuan itu menyimpan harum tubuh lelaki itu di dalam paru-parunya. She might need it someday, pada suatu masa di mana lelaki itu memilih untuk meninggalkannya demi perut istrinya yang mungkin akan membuncit dalam waktu dekat.

“Kamu tadi telepon Lena, ya?” tanyanya pelan. Perempuan itu berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding dapur dan memperhatikan lelakinya asyik mengocok telur, tepung, susu, dan sedikit gula serta garam di dalam baskom kecil.

“Hmmm…” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.
“Aku dengar…” katanya, masih pelan.
“Hmmm….” Lelaki itu kini sibuk menyiapkan wajan anti lengket dan melelehkan sedikit mentega di atasnya.
“Aku cemburu…”
Dan lelaki itu menoleh. Meletakkan wajan. Mematikan kompor. Dan memandangnya. “Cemburu?”
“Iya, cemburu.”
“Kamu mencemburui Lena?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Karena dia akan menjadi istrimu. Karena Lena akan menjadi perempuan yang akan mencium bibirmu setiap hari, memelukmu setiap malam, dan besar kemungkinan kamu akan membuatnya hamil…”
She’s not your competition, and you know that…
“Aku tahu. Dia memang bukan sainganku, karena aku tak pantas berkompetisi dengannya…”
Lelaki itu berjalan mendekati perempuan yang kini mulai terisak. 
“Dengar ya, Lydia. Jangan bilang kamu cemburu dan tak pantas berkompetisi dengan Lena. Satu hal yang kamu harus tahu, aku juga cemburu dengan Raka, lelaki yang menunggumu setiap malam di apartemen itu. Yang menggendongmu ke kamar setiap kamu pulang dalam keadaan mabuk. Yang menyiapkan teh manis hangat supaya perasaanmu lebih tenang. Yang kamu nikahi tiga tahun yang lalu, apapun alasannya, tapi sudah menjadi suamimu yang sah!”

Lelaki itu bergetar.
Lydia menunduk.

“Dan kamu tahu, Lydia… Aku tak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintai kamu. Lena boleh menjadi bidadariku, boleh menjadi istriku, boleh menjadi orang pertama dan terakhir yang aku lihat saat terbangun atau hendak tidur…. Tapi… kamu nggak akan pernah pernah hilang dalam isi kepalaku, not even when I see her face, all day… all night….

What’s more painful:
Being with someone, but his heart is some place else?
Or not being with that someone, but knowing that his heart will always be with you?

***

Ponselnya bergetar di balik bantal. Dia berusaha untuk tidak peduli, tapi rasa penasarannya muncul otomatis setelah melirik sebentar ke arah jam weker yang berdiri di meja kecil, persis di sebelah kanan ranjangnya. Masih pukul dua pagi. Siapa yang meneleponnya pada jam-jam seperti ini?

Rasa penasaran itu berhasil membuatnya membuka mata dan mulai mencari ponselnya dengan telusuran jari-jarinya; sambil tentu saja, dengan pikiran yang mulai berkembang menjadi rasa khawatir, cemas, dan gelisah. Yang terbayang di dalam benaknya adalah wajah-wajah orang tersayangnya; mulai dari Bunda, Ayah, Amelia dan Norman, dua adiknya, serta Farid, kekasihnya.

Are they alrite?
Tapi bukankah Bunda, Ayah, Amelia dan Norman ada di rumah saat dia tertidur tadi malam? Atau jangan-jangan Farid? Hari Jumat kemarin dia bilang hendak mengunjungi teman lamanya di luar kota. Is he okay?

Matanya terbuka lebar, seketika. Rasa panik segera menjalari seluruh pikirannya. Dia mencari ponselnya yang bersembunyi di balik bantal, ponsel yang masih bergetar terus, dan tak segera diangkatnya meskipun kini telah berpindah ke telapak tangannya.

Bukan gelisah, bukan cemas, bukan pula rasa khawatir yang kini dia rasakan.
Karena sekarang yang ada di dalam pikirannya adalah, “You’re so funny, God… You’re so funny…

Because it wasn’t Bunda, Ayah, Amelia, Norman, or Farid.
It was someone else.
Someone who shits all over her mind, with all those wonderful things he does…

Dia diam saja, membiarkan ponsel itu bergetar terus sampai berhenti. Sama seperti menyaksikan kematian seekor ikan yang menggelepar-gelepar di atas tanah; ikan yang mati setelah bermenit-menit berjuang untuk hidup. Ah, atau mungkin bukan ponsel itu yang mirip dengan ikan, tapi justru dirinya yang kini sedang kesakitan sendiri? Megap-megap, kehabisan nafas?

Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Sebentar saja. Tidak seperti yang sudah-sudah.

Sleep already?
Well, I just wanna say goodbye.
I’ll take the first flight.
Destination: anywhere. 
From: Angga

And yes, now it’s official.
It wasn’t the fish.
It was herself who’s dying.

***

He always loves chocolate. Rhum raisin chocolate ice cream. Flanel suits. Washed jeans. 
He always adores Frank Sinatra. He knows every song and every word. He can sing his songs from morning to morning.
He always loves to pick up some lines to make someone happy. “You look gorgeous!” or “Hey, what’s that in your eyes? Oh My God…. Is that a star?”
He always laughs around like crazy and don’t care about how people may think about him.
He always wanders around the apartment, checking the refrigerator, and eats another scoop of ice cream.
He always does the same old thing for the past seven years, until one time, he’s changed.

Orang yang terakhir kamu kecup, sepuluh hari yang lalu, bisa jadi akan berubah menjadi seseorang yang sama sekali lain di sepuluh hari berikutnya. Lelaki yang tadinya selalu semangat menyambutnya pulang, yang tadinya selalu merindukan saat kekasihnya pergi lalu memohon agar segera pulang, kini malah berkata, “I’m in love with her….

Perempuan yang dinikahinya untuk menutupi hubungan kedua lelaki itu. Yang sengaja dinikahinya supaya kedua orang tua mereka tidak curiga. Yang berpura-pura menjadi seorang Istri yang bahagia, demi satu rekening yang terisi penuh setiap bulannya dan tak akan pernah habis meski dihabiskannya seperti keran air yang bocor. 

It was a fake marriage.
But he realized, it wasn’t a fake feeling.
Dia melihat sesuatu di kedua bola mata kekasihnya, and only God knows,
betapa sakit hatinya ketika mengetahui bahwa semua yang dilihatnya adalah cinta!

“Jadi kamu pergi?”
“Buat apa aku di sini?”
How about our business?”
We’ll talk later.”
“Soal apartment, mobil, tabungan, kantor….”
I said… WE’LL TALK LATER.”
“…”
“Oh ya, salam buat Lydia-mu itu. She has no idea how lucky she is…
“…”
“Udah, deh, nggak usah mewek gitu, ah. You are a husband, rite? You have to take care of your wife…

<silence>

“Mmm…. Angga….”
“Ya?”
“Boleh tahu, kamu akan pergi kemana?”
Dia hanya memandang lelaki yang pernah menjadi nyawa-nya selama tujuh tahun itu dengan mata yang memanas. “Anywhere, …. Anywhere, but near you…” 

***

Pukul setengah tiga pagi.

It’s no longer anonymous, because I know exactly what I’m feeling.
It’s a love.
And I just knew that from the moment he said that he’s leaving…

— kata Lena, sambil menyandarkan tubuhnya di punggung ranjang dan tak bisa berhenti menangis sambil memainkan cincin emas putih bermata berlian yang mungil, tanda cinta dari Farid, kekasihnya yang akan menikahinya dalam dua minggu —

What was I thinking?
Gua ini goblog, atau sudah keracunan sama cinta?
Gila! Gua lebih memilih perempuan yang hobi memaki-maki gua daripada Angga yang sudah nemenin gua selama tujuh tahun??? Gua lebih memilih perempuan yang lebih memilih menghabiskan waktunya bersama laptop, kopi, rokok, dan alkohol daripada gua? I don’t even know where she is now! *sigh*
Semoga gua nggak salah… Semoga gua nggak salah…
Because no matter how painful it is… And no matter how cruel this love is killing me…
I know I’m in love with her.
With Lydia. 

— bisik  Raka saat melihat taksi yang membawa Angga pergi entah kemana, hilang di ujung jalan —

Dia tidur seperti bayi. Innocent banget wajahnya. Gue sering memandangi wajahnya yang sedang tertidur, menelusuri lekuk hidungnya dengan ujung jari gue, meraba pipinya yang ditumbuhi rambut-rambut kasar yang lupa tercukur, dan menyentuh bibirnya, masih dengan ujung jari, dan biasanya, dia segera terbangun. Tersenyum. Lalu tidur kembali.
Gue tahu, gue bakal cemburu setengah mati dan mungkin bakal berubah menjadi orang paling najis di seluruh jagat raya setelah dia menikahi pacarnya yang kalem dan seperti bidadari itu.
Tapi biar sajalah.
Seperti yang selalu dia bilang, “Kenapa nggak kita nikmatin saja?”
Toh sekarang  gue tahu perasaan dia ke gue itu lebih dalam dari rasa cintanya buat perempuan itu…
Dan apalagi sekarang gue percaya, Farid nggak akan kemana-mana, meskipun dua minggu dari hari ini, dia bakal jadi seorang suami buat seorang perempuan bernama Lena..
.

— batin Lydia, di atas tempat tidur, di sebelah Farid, sambil menghisap rokok yang sudah terbakar ujungnya sampai separuh —

Aku harus belajar terbang, tanpa sayap.
Oh tidak. Aku tidak butuh sayap… aku butuh pesawat terbang!
Ya. Kepakan sayap saja nggak akan bisa membawaku sampai ke ujung dunia sana.
Aku butuh pesawat terbang! Bukan sayap!

— kata Rangga dalam hati, di atas bangku yang kosong, di sebuah airport yang belum ramai. Menunggu sebuah pesawat yang akan membawanya pergi dalam hitungan jam. Pergi entah berapa lama, untuk mengobati rasa sakit di hatinya —

waiting

***

 

 

About Lala Purwono

Published writer (or used to be, darn!). A wife. A mom. A friend that you can always count on.

Discussion

33 thoughts on “…and this is all about

  1. akhirnya….setelah sekian lama ak menunggunya jeung.
    komen dulu ah br baca :mrgreen:

    Posted by ipi | February 4, 2009, 5:01 pm
  2. EDAN!!!

    yang begini …lo bilang belum PD bikin Novel?!?!?

    Ouw gue rasa elo udah sinting La…

    Denger lo kalimat gue barusan!?..!?!

    ELO SINTING!!!

    Posted by yessymuchtar | February 4, 2009, 5:03 pm
  3. busyet dah pancalogi (klo 3 kan trilogi,ini ampe 5 gpp kan ak sebut gitu?) cerpen mu membuat ak pusing 7 keliling. Tapi satu yang gw ngerti klo raka n angga pernah menjadi sepasang kekasih kan??
    oalah jeung jeung…cerpennya bagus tp marai mumet je….:mrgreen:

    Posted by ipi | February 4, 2009, 5:21 pm
  4. dem! saya harus berkali-kali baca sampe ngerti banget siapa-siapa saja yang disitu…

    dan syok baca akhiranya… 😆

    Lala emang juara deh!

    Posted by Chic | February 4, 2009, 5:37 pm
  5. Ipi
    Hai, Ipi Darling… 🙂 Masih bingung juga ya? hehehe… ntar aku jelasin lagi kalau ketemuan di Jogja *eh, tapi di jakarta nanti ketemuan nggak sih, Pi?*

    Yessy
    Wah, udah deh.. Kalau giliran bilang gue edan aja, langsung semangat deh Ibu-nya Tangguh ini… wekeke… But thanks lho… 🙂

    Chic
    Haha… sampe shock gitu, sih, Chi… Butuh napas buatan nggak? hehe…….
    Makasih yaa…
    Juara apa?
    Juara tinju apa angkat beban? wekeke…

    Posted by jeunglala | February 4, 2009, 5:59 pm
  6. Speechless… it is so so cool La..

    Welcome a new born Indonesian Top Writer..

    Lala Fans Club Committe,
    Nug

    Posted by Nug | February 4, 2009, 6:33 pm
  7. Oopss.. sebuah cerpen toh…

    Posted by kucingkeren | February 4, 2009, 7:13 pm
  8. hohoho..mantap kalee!
    Terbitkanlah novel itu segera La..
    Dari pada aku bawa laptop ini dan membaca fiksimu di atas tempat tidur sambil tiduran. *berat* :mrgreen:
    T – O – P, anyway 😉

    Posted by p u a k | February 4, 2009, 7:48 pm
  9. muach muach…muach
    gile jeung….itu cerpen sangat2 amat rumit…harus hati2 bener bacanya biar gak kelewat satu kata pun….lu kok bisa ya bikin yg beginian?

    Love it!

    Posted by Ria | February 4, 2009, 11:16 pm
  10. Gua kok rada serem yaa lihat gambar yang dipejeng itu?

    Mana liatnya malam2 gini jadi lebih berasa horror *ngg*

    Udah githu, udah discroll down ke bawah itu masih aja nongol, huhuhu..

    Untung akhirnya nyampe ke kolom komentar ini juga, ahahaha 😀

    Posted by Indah | February 4, 2009, 11:31 pm
  11. Waw …. PAnjang Kali Lebar nich Tulisanya 🙂

    Ini bisa juga dijadikan promo sebuah Novel 🙂
    kliataanya dah banyak yg dukung dech 🙂

    Salam 🙂

    Posted by aribicara | February 5, 2009, 1:49 am
  12. Memang nggak diragukan lagi Kamu mempunyai talenta yang hebat untuk menulis… semoga semakin sukses di masa depan…. tapi jangan lupa sama PANGLATU …. kalau jadi orang paling terkenal ya… he.. he.. he…
    salam dari Penggemar setia …

    Posted by michaelsiregar | February 5, 2009, 2:24 am
  13. hello, Mbak..
    i’ve been a silent reader of yours..
    whoa, i love this story..
    kereeeeenn..
    a must published work, definitely..
    *lirik-lirik Om Daniel*

    best..

    Posted by miSSiSSma | February 5, 2009, 8:29 am
  14. @misSSiSSma:
    Napa kok lirik-lirik aku, Is… He-he.

    Posted by Daniel Mahendra | February 5, 2009, 11:15 am
  15. kurang apa lagi sich??? Nunggu apa lagi sich???

    Udah banyak yg dukung tuch untuk bikin novel… 😀 hehehehe

    Posted by Retie | February 5, 2009, 12:35 pm
  16. ooo….

    (setelah berulang kali baca..rumit euy, tp kereen!!)

    Posted by omoshiroi | February 5, 2009, 12:49 pm
  17. nice blog. aku nyasar kesini nih.
    mari berteman ^^

    btw, main2 ke blog happy ya. n jangan lupa komen. makasi.

    Posted by happy | February 5, 2009, 2:39 pm
  18. siapin sofa yang nyaman, laptop yang nyala dengan koneksi internet, jangan lupa kopi anget di mug..

    *enjoyed the story.. 😉

    Posted by Billy Koesoemadinata | February 5, 2009, 2:49 pm
  19. heheheh asyik abnget ceritanya…..lanjut mba

    Posted by omiyan | February 5, 2009, 4:42 pm
  20. @ Omiyan …
    Ini episode terakhir Om …
    Gimana sih … ndak nyimak ya …?
    (hehehe)

    Posted by nh18 | February 5, 2009, 4:54 pm
  21. Bagus sekali… luar biasa Jeng.

    Penulis novel ya…

    Posted by Erik | February 5, 2009, 6:22 pm
  22. keren banget jeung
    uda dibuat novel aja
    dijamin larisss…manisss…..
    saya dukung 200 %

    Posted by kejujurancinta | February 5, 2009, 6:28 pm
  23. baca pertama kali, asik tp kok ga ngerti y, trus ngulang lg…baru deh ngerti :))
    La, kmu jebolan sastra bukan?

    Posted by Si bulet | February 5, 2009, 7:41 pm
  24. bagus tuh =)

    Posted by Rian Xavier | February 5, 2009, 9:09 pm
  25. aq aku tak pungkiri lagi…..kamu jago sakali buat cerpen ni……
    kalau mau kamu buat buku trus terbitkan aq yakin pasti laku…
    bagus loh postingan kamu nih…..

    Posted by iwan | February 5, 2009, 9:23 pm
  26. sumpah… keren bangeeett…
    salam kenal ya mbak Lala…

    Posted by Ira Agus Kramayanti | February 5, 2009, 10:10 pm
  27. Hanya satu kata : keren banget!! hihihihihi 😛

    Posted by Ade | February 6, 2009, 5:28 am
  28. Ada lima orang yang sedang membangun kamar didalam hatinya yang diperuntukkan bagi seseorang yang terbaik menurut perasaannya. Tapi akal sehat dan realitas dunia memaksanya untuk menerima pribadi lain didalam kamar yang telah dibangun itu. Sehingga antara jeritan suara hatinya dengan getaran bibirnya ternyata memanggil nama yang berbeda. Andaikata direkam menjadi audio-visual , pastilah tidak klop dan tidak sinkron.
    Saran bagi kelimanya:
    Janganlah merasa terlalu bersalah atas putusnya sebuah cinta, dan janganlah terlalu merasa kasihan kepada diri sendiri atas hancurnya sebuah angan-angan. Karena realitas atas dasar nalar dan akal sehat juga bisa memberi kenikmatan dalam hidup kok.

    Posted by Sony | February 6, 2009, 6:00 am
  29. Hmmm, tadinya aku ga suka baca cerita ginian…. hehehe, tapi pagi ini aku coba baca…. dan ternyata…. memang aku gak suka….. hayah… ga tau kenapa aku ngga pernah suka, hati itu suka ngomong, loh kok ini begini sih, harusnya diginiin nih ceritanya, ah nanggung, mending sekalian aja diginiin, hati jadi berkemelut sendiri dan akhirnya begitu selesai membaca ini…… aku jadi ga suka, uuh memang aku ga banyak suka tentang novel walalupun udah banyak novel novel bertebaran dirumah

    Posted by Raffaell | February 6, 2009, 6:37 am
  30. do you have any idea what i’ve been through, thanks to you?
    aku membongkar keempat cerita lainnya supaya nggak lost, dan itu menyita bandwidth-ku yang berharga! *emosi*

    …but it is worth every minute, jeung. hueheheh!

    beneran, kalau nggak mengikuti dari awal, nggak bisa ketemu benang merahnya. tapi setelah membaca semuanya satu persatu, huu… ikut ujian nasional pun berani! *nantangin*

    keren, la!
    beneran mau nulis novel? aku dukung deh! sumpah! biar disamber cowok cakep!

    la, btw nih, the blings of my life ada di gramedia kan? aku mau cari ntar.

    Posted by marshmallow | February 6, 2009, 3:01 pm
  31. La,
    idenya gila.. heheheh
    kasian tuh tokoh Lena, kawin ama cowok yang punya simpanan, eh gak cinta pula.. malah cinta ama seorang gay.. duh.. kok bisa se-sial itu si Lena ini ..

    La,
    kalo bikin novel detektip gimana ?
    hehehe

    Posted by hawe69 | February 6, 2009, 3:37 pm
  32. keren banget mbak…..
    grrrr………..

    salut dech buat mbak….

    Posted by joicehelena | February 6, 2009, 3:58 pm
  33. La..lu dapet ide darimana sih?terus itu kemampuan nyusun kata2 duuuhhh..gw iri sangat!!!!!

    Posted by stey | February 9, 2009, 1:30 pm

Leave a reply to Sony Cancel reply

Catatan Harian

February 2009
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728