Home.
Buat saya, kata home memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan house, karena… tidak semua houses disebut home… Tidak sembarang rumah, bisa dibilang a place where you belong. Seperti yang pernah saya rasakan pada rumah saya sendiri, ketika rumah adalah seperti bangunan dingin tanpa cinta dan saya musti berlari-lari mencari kehangatan rumah lain, a place that I could feel more comfortable enough. Hm, proses berlari-lari yang ternyata menguras energi saya dan membuat saya tersenyum sendiri, karena.. there’s no place like home… Ya. Bangunan dingin yang akhirnya saya penuhi lagi dengan cinta, karena saya menginginkannya.
Yes… this house that I’m living right now is a place that I called home.
Setiap kelupasan catnya adalah kenangan yang tak terulang kembali.
Setiap anak tangganya adalah sejarah yang tak terbeli.
Setiap detil dalam bangunan di rumah saya, adalah kasih sayang seorang Ayah yang ingin melindungi tiga anak-anaknya dan seorang Istri yang semasa hidupnya telah menunggu Suaminya dengan kesetiaan yang amat sangat.
Dan saya memang telah pulang.
Ke pelukan rumah yang sekarang menghangat sejak kehadiran dua orang manusia; seorang Kakak yang sempurna dan Istrinya yang bawelnya setara sama saya π After six whole years I spent running and running… I’m finally home…
Ya.
I’m home.
Ke sebuah benda, tempat, dengan definisi yang jauh lebih tinggi derajatnya ketimbang tempat biasa. Ke sebuah rumah hasil kerja keras seorang Ayah, dua puluh tahun yang lalu. Ke sebuah tempat yang menyimpan banyak tawa, sedih, dan sejuta rasa lainnya. To a house that I called home.
Tapi perjalanan itu belum usai…
Belum lagi selesai.
Ketika bertumbuh semakin besar, ketika usia semakin menghabis karena gerusan waktu… mulai tumbuh pikiran ini dalam isi kepala saya.
Bagaimanapun hangatnya rumah ini… tetap saja… it isn’t mine…
Mungkin, di usia menjelang tiga puluh ini (OK, OK, in the next one year and 5 months), saya bebas tinggal di sini… Bebas bangun jam berapa saja… Bebas pulang larut malam (meskipun harus ijin dan biasanya selalu lolos-lolos saja)…Β Bebas untuk tidak tidur dan mewujudkan imajinasi dalam rangkaian kata-kata… I canΒ do most of everything that I want. Tapi tetap saja… it isn’t mine…
Berkompromi dengan keluarga apakah boleh memelihara kelinci, my favorite living creature beside human (or men.. hihi)… Bolehkah mengundang teman lelaki untuk menginap di rumah (idih, maksudnya La?? hihi)… Siapa yang harus bayar gaji pembantu… Dan sejuta kompromi lainnya…
Argh, how I wish I could buy my own house…
Sebuah rumah… takperlu dengan dimensi ruang yang besar dan menghebohkan seperti istana… tapi cukup yang mungil-mungil saja. Dengan halaman yang super luas dan teduh dengan pepohonan… Dengan kandang kelinci dan anjing… Dengan kolam renang dan kebun buah-buahan yang bebas petik… Ya, ya. Sebuah rumah di daerah yang masih hijau atau bahkan di pedesaan sekalian… Tempat saya menghabiskan waktu dan mencari inspirasi untuk menulis…
Tapi, tapi…
Is that house gonna be a home for me?
Rumah idaman, rumah yang berasal dari imajinasi seorang saya tentang konsep kesempurnaan, masih dari kacamata seorang Lala?
Mungkinkan kesempurnaan perwujudan imajinasi itu bisa menjamin langkah-langkah saya untuk segera pulang, setelah menghabiskan berjam-jam waktu di kantor, di tempat warung kopi yang tidak murah, ke mal-mal yang tidak pernah sepi bahkan saat lebaran?
Hmmm…
Then I remember one thing.
Rumah yang saya tinggali sampai hari ini adalah rumah yang sederhana saja. Tidak mewah. Tidak memiliki halaman yang luas. Beberapa bagian dindingnya masih terhiasi dengan cat-cat yang terkelupas dan butuh untuk segera direnovasi. It’s twenty years old now. Rumah yang cukup tua.
Tapi kenapa saya bisa menyebutnya sebagai home instead a house?
Karena di situ… saya merasakan hangatnya cinta… yang ada dalam setiap canda tawa Bro… yang ada dalam setiap omelan panjang pendek Mbak Ira… yang ada dalam setiap ketukan di pintu kamar tiap pagi hari oleh seorang Bro yang gemas karena adiknya yang gembul ini molor melulu… π
Ya. Hangatnya cinta itu yang membuat saya bisa dengan bangganya mengatakan bahwa I am home.
Lalu, lalu…
It got me thinking…
No matter how perfect your house…
No matter how small it is… or how bad is the condition…
No matter that it is rented or its yours…
I always believe, that a picture perfect of a place that we called home is…
a house…
any kind of houses…
that filled with so much love.
So, have you found one? π