Seorang Istri menyiapkan sahur, menjelang pukul tiga pagi. Masih memakai daster, rambut acak-acakan, dan mata mengantuk, perempuan berusia awal empat puluh itu sibuk di dapur. Menghangatkan lauk kemarin, sop kemarin, dan menjerang air panas untuk membuat teh manis. Sambil menanti air mendidih dan lauknya sudah hangat, perempuan itu mengambil tiga piring bening kosong dan menatanya di atas meja makan. Satu untuknya, dua untuk kedua puteri-puteri tercintanya.
Sepuluh menit kemudian…
Sambal goreng hati ayam kemarin…
Sop bening kemarin…
dan teh manis hangat spesial pagi ini..
telah tertata rapi di atas meja makan.
Dia mengambil mangkok tempat nasi dan meletakkannya di atas meja, di tepi kiri, bersebelahan dengan mangkup sop yang asapnya mengepul panas tapi harumnya sungguh menggoda selera.
Pukul tiga pagi itu, dia membangunkan puteri-puteri cantiknya. Si Sulung yang sebentar lagi lepas SMU dan si Bungsu yang masih di awal Sekolah Dasar. Masih mengantuk, mereka duduk bersama Ibu tercintanya yang sudah nampak segar setelah mencuci wajahnya sebentar di kamar mandi.
Masih di pukul tiga lebih sedikit itu, mereka bersantap sahur bersama.
Dengan denting sendok garpu yang masih sering beradu karena si Bungsu yang belum terbiasa berpuasa sehingga masih sangat mengantuk.
Dengan sikap ogah-ogahan si Sulung yang sedang berdiet ketat dan menganggap bahwa sarapan itu merusak programnya.
Dengan si Ibu yang dengan tenang meladeni Bungsu menyendokkan nasi dan lauk untuk puteri kecilnya.
Semua terlihat biasa-biasa saja… Tak ada yang istimewa…
Kecuali satu ini.
Puasa kali ini…
…tanpa sang Ayah.
**
Si Suami, Ayah kedua puteri cantiknya, sudah tidak bisa menemani Istri sahur lagi. Sejak penyakit stroke mendadak yang menderanya dalam waktu belasan jam, setahun kemarin, tak ada lagi keceriaan sang Ayah memenuhi rumah kecil mereka, tak ada lagi canda tawa sang Ayah yang memang suka bercanda.
Setahun kemarin, persis dua minggu setelah lebaran, lelaki empat puluh empat tahun itu berpamitan pada dunia. Setelah berjam-jam berjuang di ruang operasi, dia meninggalkan seorang wanita, belahan jiwanya selama puluhan tahun, dua perempuan kecil yang menjadi pelita hidupnya, penyemangat hari-harinya.. juga keluarga yang sampai kini belum bisa menghilangkan sosoknya dari kedipan mata.
Siapa yang menyangka bahwa Lebaran kali ini akan terjelang tanpa Suami… tanpa Ayah?
Siapa yang menyangka bahwa mereka harus sahur bertiga saja… tanpa Suami.. tanpa Ayah?
Siapa yang menyangka bahwa mulai sekarang, tak akan ada lagi sosok Suami… sosok Ayah… yang akan melindungi mereka, membuat mereka tertawa…
Tidak ada.
Tidak.
Suami… Ayah… adalah lelaki yang begitu sehat… begitu bugar… dan di wajahnya… ya, di wajahnya, selalu ada ulasan senyum yang membuat hari-hari lebih berwarna. Ketika berita tentang Suami yang terjatuh di jalan dan stroke mendadak lalu di rawat di rumah sakit terdekat, berita yang ia dengar dari mulut keponakan terdekatnya itu, dia masih menganggap bahwa Suami akan baik-baik saja.
…saya akan merawat dia… meskipun ia lumpuh… tak bisa bicara… saya akan terus menjaga dia… seperti dia selalu menjaga saya selama ini…
Tapi waktu telah berkata lain. Tidak sampai dua puluh empat jam kemudian, Istri disodori dengan satu kenyataan pahit yang mendadak.
…dia meninggal…
Dan Istri pun terjatuh pingsan…
Si Sulung meraung…
Si Bungsu… Si Bungsu itu hanya bertanya-tanya, “Ayahku kenapa??? Ayahku kenapa??? Kenapa semua nangis??? Kenapaaa….”
Lalu seorang Sepupu memeluknya erat. Hanya memeluk saja agar si Bungsu tidak histeris… Meskipun si Sepupu merasakan kepedihan yang amat sangat… Meskipun si Sepupu memeluknya sambil menangis terus… terus… dan terus, tanpa henti…
**
Dan Puasa kali ini memang sangat berbeda.
Yang biasanya bersantap sahur berempat, kini hanya bertiga.
Yang biasanya selalu ramai dengan lelucon Suami yang menggodanya setiap saat Istri menyiapkan sahurnya, kini tidak ada.
Yang biasanya mendapatkan tugas untuk membangunkan anak-anak mereka, kini si Ibu melakukan semuanya.
Ayah sudah tidak ada.
Suami sudah berpulang.
It will never be the same like it was.
Puasa..
Lebaran..
Ulang tahun..
Hari jadi pernikahan…
Arisan keluarga…
Liburan bersama…
Tidak akan pernah sama lagi.
Dan Istri tahu, it’s time to let him go…
**
Anak-anak sudah tertidur kembali di kamarnya. Kegiatan di sekolah sudah menanti mereka beberapa jam lagi sehingga usai sholat Subuh, mereka memilih untuk tidur lagi, mengumpulkan sedikit energi untuk sekolah.
Tapi tidak dengan Istri.
Dia memilih untuk terduduk di atas sajadahnya dengan tubuh masih terbalut mukena putih yang wangi, meskipun beberapa menit yang lalu dia usai menunaikan sholat subuhnya. Dia membaca surat Yassin, membaca beberapa lembar Al-Qur’an, lalu mencurahkan isi hatinya kepada si Pemilik Nyawa yang selalu mendengarkannya, kapan saja.
Ia bercerita tentang hatinya…
tentang ketakutannya…
tentang resahnya…
tentang kerinduannya…
Dan di ujung doa itu… dengan air mata membasah, ia berbisik begitu lirih sambil menutup wajahnya…
Ia berbisik ini…
“Mas…. aku kangen…. Aku kangen kamu….”
Air mata itu terus mengalir.
Mengalir.. terus.. dan terus…
Sampai ia tak kuasa lagi.
Sampai ia jatuh tertidur di atas sajadah dan bermimpi tentang Kekasih Hatinya.
**
(UntukTante Nanik: Lala juga kangen sekali sama Om Sapto, Tan… Kangen sekali!)
In Memoriam: Sapto Harijoso
keterangan photo di bawah (kiri ke kanan) :
Buka Puasa Bersama, setahun kemarin. Duduk di kursi: Om Totok dan Papi; duduk di lantai: Om Wuri, Om Sapto, Lek Wiwin, dan Om Yoyok … the laughter that we won’t forget… never…