archives

Archive for

Tiga Anak Manusia

Ada tiga anak manusia,  kakak beradik, dan kesemuanya tidak lagi berusia muda. Si Bungsu sudah hampir menggenapi usianya sampai tiga puluh dan si Sulung pun sudah memiliki dua buah hati yang sungguh lucu dan menggemaskan. Kegemaran mereka bertiga adalah menghabiskan waktu bersama-sama setiap akhir pekan. Lengkap bersama suami dan istri mereka, serta anak-anak yang lucu-lucu itu. Agendanya bisa apa saja. Dari keliling mal untuk mencari barang kebutuhan atau sekedar duduk, bercengkerama di sebuah tempat makan pinggir jalan, sambil bercanda dan bercerita.

Tiga anak manusia itu tak pernah menyangka akan sedemikian akrabnya sampai-sampai mereka berjanji untuk selalu meluangkan waktu bersama-sama ketika akhir pekan itu tiba. Segala agenda di luar janji itu, haram hukumnya untuk tetap terlaksana. Mereka memang begitu menghargai kebersamaan ini. Every minute counts, kata si Bungsu. Setiap detik waktu bersama keluarga adalah segalanya, buat si Bungsu.

because it’s all that they have…

Waktu yang berpacu… Waktu yang berjalan, yang telah menyuguhkan drama kesedihan tak berujung ketika salah satu orang tercinta mereka terpanggil bertahun-tahun yang lalu dan menyisakan luka, meskipun setelah lama kemudian mereka baru menyadari bahwa kesedihan itulah yang justru melekatkan kembali perasaan tak ingin berdekatan yang sempat ada. Perasaan ingin berjauhan karena kesibukan masing-masing itu berangsur menghilang ketika mereka menyadari bahwa all that they have is a family…

Tapi.. tunggu…

Tiga orang anak manusia, kakak beradik…

Dan kehilangan salah satu orang tercinta…

Dan waktu yang mereka habiskan bertiga dengan keluarga masing-masing…

Ada yang aneh di sini.

Kemanakah orang tercinta mereka yang lain itu? Tidakkah mereka mengajak satu orang itu ke dalam agenda rutin mereka tiap akhir pekan tiba? Kalau betul bahwa orang itu tidak pernah ikut bercengkerama dengan tiga orang anak-anak itu… ada apa? Kenapa? Apa sebabnya?

Hm,

Ternyata…

Tiga anak manusia itu sedang marah…

Tiga anak manusia itu sedang kecewa…

Dan tiga anak manusia masih tak bisa melupakan kesedihan mereka…

Karena sang Ayah…

…yang tak setia.

**

Sejarah telah menuliskan tinta hitam di lembar kehidupan tiga anak manusia itu. Seorang Ayah yang mereka cintai, telah membuat kata-kata seperti Cinta, Janji, dan Setia, menjadi kata-kata tanpa makna. Si Sulung marah dan terluka. Si Tengah diam mengurung diri di kamar, tapi memelihara rasa bencinya. Si Bungsu, masih bergelendot manja dengan si Ayah dan baru tahu kemudian, bahwa lelaki yang menjadi kebanggaannya itu telah menciptakan neraka di rumahnya sendiri. Setelah belasan tahun, Surga itu telah melumer dan si Bungsu menyadari, it was a living hell.

Dan setelah sang Bunda tak lagi ada…. Mereka tidak tahu, bisakah mereka masih menyimpan luka itu di dalam hati… Karena perempuan terhebat, tercinta, dan terhormat, yang telah melarang mereka untuk menyimpan kebencian dan rasa marah itu, tak lagi ada…

Rasa marah seketika membuncah di dada tiga anak manusia itu.

…I could never forgive him… Ayah telah melukai Bunda… And I don’t have any reasons left to love him…

Apalagi ketika si Ayah memutuskan untuk menikahi perempuan dari neraka, yang telah memporak porandakan keluarga bahagia itu selama belasan tahun lamanya, sebelum tanah di atas pusara Bunda tercinta mereka mengering… sebelum mereka mengganti pakaian berkabung mereka…

I could never forgive him.. never…

Dan sudah bertahun-tahun lamanya mereka memelihara kebencian itu. Sudah bertahun-tahun lamanya, mereka memutuskan untuk saling menggenggam jari-jemari masing-masing dan menjauhkan diri dari sang Ayah yang lebih memilih manusia lain ketimbang darah dagingnya sendiri.

Sudah sangat lama….

Sudah sangat, sangat lama…

Sampai akhirnya…

Mereka rindu.

**

Sosok itu nampak seperti wajah Ayah.

Tubuh yang kurus, rambut yang penuh dengan uban, dan langkah kaki yang gontai.. Apalagi jenis pakaian yang dipakainya, sungguh-sungguh mirip dengan Ayah. Polo shirt berkerah, dimasukkan rapi ke dalam celana bahan yang panjangnya melebihi sedikit di bawah mata kakinya, dan sandal laki-laki berbahan kulit. Wajahnya pun mirip. Ditunjang dengan bingkaian kaca mata di wajah tuanya, si Sosok itu terlihat sungguh menyerupai Ayah.

Tiga anak manusia itu tengah menghabiskan waktu di ujung pekan, seperti pekan-pekan sebelumnya. Ketika mereka tengah berada di sebuah game center, si Sulung melihat sosok itu, lalu menyentuh pundak adiknya, si Bungsu.

“Bungsu, coba kamu lihat itu deh…” Sulung memberi kode melalui kerling di matanya. Bungsu pun mencari-cari apa yang dimaksud kakaknya.

“Itu? Kenapa?”

“Mirip Ayah, ya?” kata si Sulung.

Bungsu melihat sosok itu sekali lagi. Dia memang mirip Ayah! Lalu si Bungsu pun menganggukkan kepalanya.

“Hm… dia memang mirip Ayah, ya?” tanya si Bungsu. “Memangnya kenapa?”

Lalu jeda sebentar.

Lalu terdengar hela nafas berat.

Lalu si Sulung berkata, “I miss Ayah, Bungsu… I miss him…”

Dan air mata itu mengalir tak tertahan dari kedua mata si Sulung, satu-satunya dari tiga anak manusia itu yang menjadi saksi sejarah bagaimana Ayah telah mencabik-cabik hati Bunda.. yang harus menahan geram ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa si Ayah memang bukanlah lelaki yang Sulung kenal… yang harus menahan air mata ketika Bunda menangis di bahunya dan berusaha menjadi sumber kekuatan Bunda-nya untuk terus melangkahkan kaki…

Bungsu tahu, sungguh berat buat Sulung untuk mengakui bahwa ia merindukan Ayah…

Bungsu tahu, sungguh najis buat Sulung untuk menitikkan air mata buat lelaki yang telah membuatnya trauma pada komitmen kesetiaan…

Bungsu tahu persis apa isi hati Sulung, si Kakak yang dicintainya…

Tapi Bungsu pun tahu, mereka semua sangat merindukan Ayah dan menanti lunturnya sakit hati mereka untuk memeluk Ayah dan mencium kedua pipi keriputnya…

Dan ketika Sosok itu, sosok yang sungguh mirip dengan Ayah itu nampak jelas di mata, tidak bisa tidak.. mereka harus mengakui bahwa sebenarnya mereka masih mencintai Ayah… Sangat, sangat cinta.

Kemudian…

Di akhir pekan itu…

Tiga anak manusia itu…

membuat sebuah janji.

Di akhir pekan berikutnya, akan ada Ayah di tengah-tengah mereka.

Akan ada Ayah di sela-sela canda tawa mereka.

Akan ada Ayah yang bercanda-canda dengan cucunya.

Akan ada Ayah yang bisa mereka peluk, rangkul, cium, sepuas mereka.

Dan tanpa mereka sadari, di akhir pekan itu, mereka menangis bersama… dan saling berangkulan sambil menyadari bahwa… all that they have is their father… dan jarum jam yang berputar tidak akan pernah mundur ke belakang, tapi selalu ke depan… Sebelum waktu memutuskan kapan saatnya berhenti, tiga anak manusia itu tidak ingin menyesal dan mengorbankan segalanya hanya karena rasa benci yang terlalu dalam.

Ya, Ayah.

Ketiga anak manusia itu akan datang akhir pekan ini.

It’s a promise!

Catatan Harian

September 2008
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Celotehan Lala Purwono