archives

Archive for

Past? Present? Or Future?

Karena cerita saya di posting berjudul JakartaPhobic, teman-teman langsung ‘menuduh’ saya masih belum bisa melupakan masa lalu saya. Mereka beranggapan, kalau segala ketakutan saya menjelang liburan 10 hari di Jakarta di akhir bulan Juli kemarin, adalah semata-mata karena saya belum bisa berdamai dengan masa lalu saya… yang bernama Orang Jelek; a supposed to be great guy that turned out as a bad one. Dan segala ketakutan saya terhadap Jakarta adalah bentuk manifestasi rasa cinta yang masih saya rasakan.

Bahkan, orang hebat satu ini bilang, “Tidak bisa tidak, kamu masih terpaut padanya!”

Dengan alasan apapun, dia masih keukeuh bilang hal yang sama. Itu artinya: Saya belum bisa melupakan masa lalu… In a nutshell, seorang Lala masih hidup di masa lalunya… tidak berpijak di masa kini…

Seperti yang dibilang Pacar ketika kemarin kami asyik ngobrol kangen-kangenan, tiba-tiba dia menyinggung soal bisakah saya menghadapi masa lalu saya kalau suatu saat kelak saya bekerja di kota Jakarta, kota yang dulu sempat jadi kota Terganas dan Terjahat… khususnya buat seorang perempuan dua puluh delapan tahun bernama Lala alias saya ini.

Segalanya tentang ketidakmampuan saya menyelesaikan urusan masa lalu saya.

Can you deal with the fact that today is today and yesterday is past?”

Sepertinya itu yang terpikir di benak Pacar yang mungkin sampai hari ini masih meragukan bahwa apapun itu, tidak akan sedikitpun mencuri rasa cinta saya buat dia.

Karena memang…

Seperti yang dibilang salah satu sahabat saya… Saya ini, adalah manusia yang hidup di masa lalu.. Tidak berani menghadapi masa depan… atau orang yang ingin stand still… menikmati apa yang ada sekarang sambil membiarkan imajinasi melayang ke masa lalu… tanpa menikmati apa itu mimpi masa depan…

Benarkah?

Apakah saya hidup di masa lalu?

Tak bisa melepaskan diri dari kukungan masa lalu?

Terjebak dengan kisah-kisah bertahun-tahun kemarin yang masih menyisakan luka, pedih, atau bahagia?

(seperti posting saya belakangan ini yang tak jauh-jauh dari Mami, Mami, dan photo-photo jadul yang membuat saya tersenyum sendiri saat melihatnya)

Tapi apakah itu dengan semerta-merta menjadikan saya sebagai orang yang takut untuk bermimpi tentang masa depan?

Senaif itukah segala faktor itu membuat saya ditahbiskan sebagai perempuan yang tak ingin kemana-mana selain di sini saja?

Hmm…

Mari kita lihat, di bagian masa yang mana saya tinggal.

Kemarin?

Hari ini?

Atau Esok Hari?

Let’s take a look…


You Live in the Present


You take things one day at a time.And it turns out, that’s a pretty great way to live.You aren’t consumed by the past, and you’re aren’t obsessed with the future.

You live in the now, and you enjoy each moment.

While most people don’t live in the present enough, make sure you don’t live in it too much.

It would be a mistake to forget your past or neglect to plan for the future.

 

Do You Live in the Past, Present, or Future?
Jadi saya adalah orang yang hidup dan menikmati hari ini saja? Dan saya menikmati segalanya yang bisa saya nikmati hari ini? Katanya pikiran saya tidak banyak tersita untuk memirkan masa lalu dan masa depan bukanlah hal yang membuat saya terobsesi?
…. Am I that kind of person?
… ataukah situs penguji itu sudah kadaluarsa dan butuh untuk segera diperbaiki? 🙂
Hmmm…
Saya rasa… Mungkin situs ini tidak sepenuhnya benar, meskipun ya, saya ini orang yang sangat sangat berusaha untuk mensyukuri apa yang sudah saya punya… (walaupun kadang kalau lagi isengnya kumat, saya suka godain Bunda dan bilang begini, “Bun, Bun.. Kok aku pingin operasi mancungin idung yaa… Terus pingin ini lho…. gedhein s**u biar seksi kayak Pamela Anderson… Terus, yaa… sedot lemak…!” Lalu hal ini sukses bikin Bunda Tercinta menceramahi saya panjang lebar! Hahaha)
Lepas dari saya hidup di masa manapun…
Kemarin, kah…
Hari ini, kah…
Atau esok hari…
Saya tetaplah seorang Lala yang bawel, moody, cerewet, bandel, dan secantik Luna Maya *yang merasa fans-nya Luna Maya, silahkan angguk-angguk setuju dan bilang kalau saya memang mirip idola kalian! hihi*
Meskipun selalu dengan catatan…
Stay allert.
Dan lalu saya rajin-rajinlah latihan lompat tali supaya bisa dengan mudahnya berpindah-pindah dari kemarin, hari ini, lalu ke esok hari… 🙂

(Mi Familia Quiz) Siapa Mirip Siapa?

Warning:

Ini adalah postingan narsis. Barangsiapa yang sedang dalam kondisi mual, tidak enak badan, migrain, flu berat, dan segala penyakit lainnya, mohon berhati-hati dalam membaca blognya Jeung Lala kali ini.

Masih nekat?

… Beneran?

Jangan salahkan saya lho ya.. kalau tiba-tiba kalian merasa mual mendadak dan repot-repot cari tas kresek untuk menumpahkan segala yang mengganjal di tubuh kalian… hihihihi…

Karena apa?

Karena ini adalah ajang pamer photo sekalian mau nanya sama kalian: SIAPA MIRIP SIAPA?

Di bawah ini adalah photo orang tua saya… Papi dan Mami yang saya cintai…

Ini si Papi-nya Lala yang ganteng… 🙂

My Dad, My Hero

My Dad, My Hero

Dan Mami-nya Lala yang cuantik tenan…. (Mom!!! Kok Lala ga bisa semancung dirimuh???!!!)

My Mom.... my light in the darknes...

My Mom.... my light in the darknes...

Dan di bawah ini adalah photo ketiga putra putrinya yang bandel (ups, maksud saya, cuman Si Bungsu aja yang bandel… Sulung dan Tengah sih  beres semuah! hehe).

Si Sulung, Mbak Pit…

My Role Model

Mbak Pit: My Role Model

Si Tengah, Bro…

My So Called Guardian Angel

Bro: My So Called Guardian Angel

Dan si Bungsu, Lala…

si Bungsu Bandel

Lala: si Bungsu Bandel

Sudah puas mengamati photo saya yang centil dan menggemaskan itu (hey, saya sudah peringatkan kamu supaya hati-hati saat membaca posting ini kan??? Bukan tanggung jawab saya kalau masih kepingin muntah mendadak! Wekekekeke)?

Nah, tugas kamu… Teman-teman saya tercinta…. Tolong perhatikan. SIapa yang lebih mirip dengan siapa.

Siapa yang mirip Mami….

Siapa yang mirip Papi…

Dan siapa yang versi blendednya alias campuran di antara keduanya…

psssttt.. sekalian sama alasan-alasannya ya? (idih, Lala.. udah postingan narsis, pake acara maksa, pula! hahaha)

Mmm.. kenapa tiba-tiba saya nanya begitu?

Karena dari sekian banyak orang yang melihat dan memperhatikan, katanya saya lebih mirip Papi daripada Mami… Ahhh… kok anak perempuan bisa mirip kayak Ayahnya sih…. Garang dong kalau gituh.. (walaupun iya juga sih, saya emang mirip kayak satpam! hahaha)

Dan, dan… oh ya.. katanya nih, Mbak Pit juga mirip sama saya… Tapi lucunya, Mbak Pit dibilang mirip Mami sedangkan saya malah mirip Papi! Lha??? Kalo gitu, kok saya bisa dibilang mirip Mbak Pit??? Piye tho…

So..

So…

What dya think, Guys?

Feel free to insult me! (“Tapi masa sih kalian tega menghina orang sebaik saya??” kata Lala sambil mengerjapkan kedua kelopak matanya dengan centil dan penuh pengharapan.. hihihi)

just because of a bracelet…

Suatu malam, saya membeli sebuah gelang. Dengan tali double berwarna hitam dan ada huruf-huruf dari bahan monel dengan batu permata (imitasi) yang nampak bling-bling. Gelangnya sendiri cukup sederhana, cuman barisan huruf berkilauan yang membentuk nama saya alias LALA sehingga membuat gelang ini cukup menarik.

Tapi…

Saya sempat dibikin jengkel karenanya. Kenapa begitu? Karena ternyata, memakai gelang ini sangat susah! Gelang dengan nama saya itu tidak seperti gelang yang biasa saya pakai, alias tanpa model pengait segala. Gelang baru ini malah memiliki dua pengait (karena tali yang dobel itu tadi) sehingga saya nggak hanya kerepotan sekali, tapi sampai dua kali! 😦

Di atas ranjang malam itu, saya heboh sendiri melakukan segala macam usaha untuk mengaitkan gelang tersebut sehingga bisa terlingkar dengan manis di pergelangan tangan kanan saya. Mulai acara menggigit ujung kiri lalu berjuang memasukkannya di lubang rantai kanan, sampai harus pakai acara mengempit ujung yang satu dengan jari-jari kaki segala!

Intinya cuman satu : SUSAH!!! 🙂

(malah mungkin, kalau malam itu saya iseng mendokumentasikan peristiwa langka itu, saya berani jamin kalau kalian mengira sedang melihat acara sirkus di mana gajahnya sedang akrobat! hahaha)

Dan ketika saya akhirnya menyerah karena sudah tak mungkin lagi memakai gelang itu tanpa bantuan siapapun, dengan segera pikiran konyol ini terlintas dalam pikiran saya: “Coba kalau aku punya suami, pasti deh nggak akan ada cerita aku bikin atraksi akrobat segala seperti ini…”

karena pasti, dengan mudahnya saya akan minta tolong dia dan masih dengan mudahnya, dia akan mengaitkan gelang ini, dalam waktu tidak lebih dari satu menit saja…

Pikiran konyol ini membawa saya kembali ke salah satu scene di serial favorit, Sex and The City. Saat itu, Samantha memiliki kesulitan yang sama ketika memakai gelang berlian menjelang pernikahan kedua Charlotte York, sahabatnya. Dia sampai bergulingan di atas kasur, terjatuh-jatuh, terguling-guling… dan berkeringat.. dan jengkel.. dan marah-marah…

Then what did she do?

Hm, dia menelepon pacarnya, mengajak si Pacar untuk have sex with her, lalu setelah itu… minta tolong si Pacar untuk membantunya memakai gelang!

SAMPAI SEGITUNYA!!

Seketika itu saya langsung sadar.

Apakah senaif itu? Hanya karena saya kesulitan memakai gelang lantas dengan semerta-merta saya merasa betapa beruntungnya memiliki seorang Suami? Dan menggebu-gebu segera ingin menikah? Yang mungkin, akhirnya bisa jadi melupakan apa esensi dari pernikahan itu sendiri…

Pernikahan bukan sekedar finding a husband or wife to live together… hopefully till forever…

Tapi menurut saya, pernikahan adalah having a partner to make our lives better than ever… happier than it used to be… and stronger to struggle in life…. ever after.

…bukan sekedar untuk dimintai bantuan memakaikan gelang.. membetulkan genting.. memasakkan nasi… memuaskan nafsu biologis.. dll.. dsb

Setelah sadar pada konsep pernikahan yang saya inginkan, pada esensi sebuah pernikahan yang saya tahu, akhirnya saya meletakkan gelang tersebut di dalam tas, sambil berkata dalam hati, “Ah, besok pagi minta tolong Mbak Ira aja ah….”

And yes…

I was smiling.

 

rahasia yang terbongkar

Ternyata, menjelang hari-hari ‘bersejarah’ seperti bulan puasa ini, bukan saya saja yang merindukan kehadiran Mami. Setelah 26 tahun melewati Puasa-Lebaran lalu Puasa lagi, lalu Lebaran lagi, Bro pun merindukan Mami. Sama seperti saya, si Bungsu yang masih betah melajang di usia mendekati tiga puluh tahun ini.

Semalam, Bro mengungkapkan semua perasaannya, tentang rasa rindu yang membuat sesak dadanya ketika malam menjelang lalu membuat matanya tak lagi berkompromi untuk segera terpejam. Besok pagi rutinitas telah menunggunya. Jadi, ia harus segera terpejam, segera menghilangkan rasa sesak di dada, lalu tidur, lalu lupakan semuanya.

Tapi Bro tak sanggup.

Hatinya mengaduh kesakitan dan sedikit amarah. Semalam, dia bilang, “Aku jadi jengkel, Mbul *ini panggilan sayang dia ke saya*. Aku jengkel, gimana caranya supaya aku bisa komunikasi sama Mami? Kalau aku kangen pingin ngobrol sama Mami, aku sampai jengkel sendiri…”

karena tidak akan ada komunikasi dua arah lagi, kan, Bro? Karena segala kesempatan kita untuk saling bercakap-cakap dengan saling memandang, menyentuh, atau mendengar nafas masing-masing telah hilang sejak Allah merindu Mami, kan?

“Kalau yang lain masih enak bisa ngobrol sama Ibu-nya saat mereka kangen… tapi aku? Gimana caranya?”

Saya meraba kesedihan itu. Kesedihan seorang anak laki-laki Mami satu-satunya yang menjadi kebanggaan keluarga karena prestasinya di dunia tulis menulis dan komputer. Kesedihan seorang lelaki usia 32 tahun yang merindukan sosok Ibu-nya setelah enam tahun destiny telah memisahkan dunia mereka.

Ini pemandangan yang sangat menyentuh buat saya.

Apalagi ketika Bro bilang, “Kenapa harus secepat itu ya, Mbul? Saat kita masih belum bisa membahagiakan Mami… Belum bisa ngasih Mami ini itu… Belum bisa seperti sekarang…”

… itulah kenapa, Om… waktu Om cerita tentang kompaknya Om dan Tante Sruntul mencoba memberikan yang terbaik buat Ibu (yang terkena musibah tertabrak sepeda motor itu), saya jadi sedih sendiri karena saat itu belum bisa melakukan apa-apa…

Lalu mulailah cerita melebar kemana-mana.

Tentang…

…paling tidak saat itu kamu sudah kerja, Bro.. jadi masih bisa beliin Mami sesuatu… Lha kalau aku?

…tapi tidak seperti sekarang kan… kalau sekarang, aku bisa mengusahakan pengobatan Mami, tidak seperti dulu, berhenti berusaha karena kurang biaya…

Dan segala cerita-cerita yang menjadi latar belakang kenapa saat itu tidak ada biaya untuk menanggung segala obat yang diperlukan Mami, just to make her life longer..

Termasuk cerita tentang ini:

“Kita sampai kebingungan waktu itu, ya, Mas,” kata Mbak Ira, istrinya. “Nyariin duit buat nebus obatnya Mami…”

…sampai frustasi segala karena Mami membutuhkan obat yang luar biasa mahalnya.. apalagi untuk ukuran kami saat itu. She needs 5 or more ampuls dengan harga satu biji satu setengah juta. Itu sudah sangat, sangat, sangat mahal untuk Bro. Dan keuangan Papi yang morat marit kala itu, sudah habis-habisan untuk biaya lain-lainnya, membuat Papi menyerah… (ADUH, DAD!!!)

“Saat itu Dokter bilang, she wouldn’t make it… Ginjalnya sudah rusak terlalu parah, nggak akan bisa sembuh…”

…and they were expecting for miracles… while the time was ticking desperately…

Sampai di situ, air mata saya mengalir. Hati saya langsung sesak seketika. Saya berteriak, “Kok aku nggak dikasih tahu, sih, Bro?”

“Dikasih tahu apa?”

“Dikasih tahu kalau Mami udah nggak ada harapan…”

“Saat itu juga nggak divonis kalau usia Mami tinggal berapa bulan lagi, kok.. Cuman dikasih tahu kalau ginjalnya sudah rusak parah…”

“Tapi kan tetep aja, artinya kamu udah tahu Mami sedang menunggu waktunya…”

Saya menangis.

“Kenapa sih Bro, kamu nggak kasih tahu aku? Kamu jahat, Bro.. Jahat!”

“Mbak Pit juga jahat.. Dia nggak ngasih tahu kamu juga, kan?”

Saya masih menangis. Air mata saya seperti berebut turun dari kedua bola mata.

“Kamu masih anak-anak saat itu, Mbul…”

I was twenty two… I was grown enough.”

“Aku sama Mbak masih mikir kamu anak kecil dan nggak perlu tahu…”

“…”

“Lagipula, would it make any difference if we told you all that story?”

….

…. would it?

Hmmm…

Paling tidak, kalau saya tahu Mami sedang kesakitan dan menunggu waktunya, saya nggak akan kabur-kaburan setelah pulang kuliah dan memilih untuk langsung pulang ke rumah… Lalu… Lupakan saja omelan-omelan saya yang tidak penting ketika harus memijit kaki Mami… Dan ya.. pastinya, setiap Mami bilang sesuatu, saya pasti akan menurut. Segala kalimat yang keluar dari bibir Mami hukumnya adalah haram jika tidak dipatuhi.

…tapi…

Tetap saja tidak menjawab pertanyaan Bro. Would it make any difference?

Apa saya malah shock, mungkin?

Bahkan tidak bisa menyelesaikan kuliah dengan baik, mungkin?

Atau ekstrimnya… apa dengan memberitahukan tentang kondisi Mami saat itu, maka saat ini Mami bisa ikut senang kalau tahu si Bungsu Bandelnya ini sudah bekerja di sebuah Perusahaan yang lumayan dengan gaji yang bisa memberinya hadiah tiap bulannya?

it wouldn’t change anything.

Sejarah kehidupan manusia sudah tertulis sempurna dalam master plan Tuhan yang Maha Hebat. Saya, kamu, dan semua orang tidak bisa mengubah apa-apa, kecuali berusaha untuk berdamai dengan segala kesedihan yang mungkin ada. Lalu mencari hikmahnya. Lalu mencari sisi positifnya. Bahwa segala dalam dunia ini terjadi karena maksud, bukan sekedar untuk mencelakai, tapi memberi pelajaran.

Di sini, saya baru sadar…

Lalu merasa sangat beruntung…

Lho??? Beruntung La? Maksud lu?

Hm, tahu kenapa?

Karena sejak saat itu, sejak saya kehilangan Mami yang pergi sangat mendadak dan tanpa sempat memberikan firasat apapun, si Bandel Lala ini mulai menghargai waktu kebersamaan dengan keluarga… Menghargai seorang Ayah yang kini sedang sakit dan sering kangen dengan anak-anaknya… Menghargai perjumpaan dengan Kakak-kakak tercinta… Dan telepon yang semenit dua menit dari keluarga adalah waktu yang sangat berharga…

So, now… I know why God ‘asked’ Bro to keep his mouth shut and kept this secret just between him and my sister…

Because God wanted me to learn something…

…and I’m learning…

I am… 

(Ajari saya, ya, Allah… keep on giving me Your lessons so I can learn most about everything…)

it’s not a fairytale…

A wedding invitation.

Buat seorang perempuan lajang dan mendekati tiga puluh tahun seperti saya, menghadiri undangan pernikahan, apalagi anak-anak teman Mami, adalah sebuah tantangan tersendiri. Seperti menghadapi tantangan kuis Fear Factor, di mana membutuhkan nyali luar biasa *hah! hiperbolis.com ituh! hahaha* dan ya, pastinya, harus memiliki ekstra kesabaran dan kuping yang tebal *atau bebal? hehe*.

Kenapa?

Because I have to deal with the same questions.. over and over again…

 

“Kapan nyusul, Mbak Lala?” tanya Tante A.

“Nyusul kemana, Tante? Lala mau maem dulu, baru nyusul…” kata saya cengengesan.

 

“Mbak, si XX (yang lagi mesra-mesranya di pelaminan) aja udah menikah, kok Mbak Lala belum juga sih? Ayo, ndang cepetan…” kata Tante B.

“Biarin yang laen duluan aja, Tante… Lakon menang keri (jagoan menang terakhir)…” tukas saya, masih cengengesan.

 

Dan segala macam pertanyaan sejenis yang bikin kuping saya mendadak tuli sementara (tapi langsung waras ketika saya memutuskan untuk makan ikan kakap asam manis dengan brutalnya! haha). Kalau hati lagi emosi jiwa, mungkin saya akan marah-marah seperti di posting ini, lalu ‘menyikat’ seluruh hidangan dengan anarkisnya 🙂 Tapi berhubung saya agak jaim dengan kebaya atau gaun yang saya pakai, saya tahan aja deh, daripada nantinya malah dibilang begini, “Pantes aja nggak laku-laku, wong kelakuannya kayak gitu…” 😀

Sampai akhirnya, di sebuah pesta pernikahan teman (anak teman Mami, termasuk tetangga juga), saya bertemu dengan kawan lama. Namanya Ratih. Seumuran saya, dengan satu anak dan satu bakal anak. She was a close friend. She was one of the lead singer at my band. Dan saya sapa saja dia.

Sudah lama saya tidak bertemu Ratih. Terakhir bertemu, saat dia menikah dengan lelaki pujaannya, seorang lelaki yang menjadi idola di kompleks perumahan saya. Lalu setelah menikah, Ratih ikut suaminya, tinggal di bawah atap yang sama dengan mertua.

I thought she was living her dreams… A fairytale… Seorang perempuan cantik seperti Ratih, menikah dengan lelaki tampan seperti Bekti… Kisah cinta dari sekolah dasar, berpisah ketika SMP, lalu bersatu kembali saat kuliah… Lalu menikah… Lalu dikaruniai anak…

Seharusnya saya cemburu. Dan memang, saat itu saya sangat cemburu.

Then I said this to her, “Eh, Tih, aku iri deh sama kamu…”

“Iri kenapa, La?” tanya si Ratih dengan heran.

“Ya iri… Kamu udah menikah, sama laki-laki yang kamu cintai… terus udah punya anak, pula. Aduh, how complete, Tih…”

Lalu Ratih tersenyum. Saya tidak menangkap senyum itu sebagai senyum bahagia. Saya malah menangkap, ada kegetiran di sana.

“La, percaya deh sama aku… enakan jadi single kayak kamu… trust me…

Saat itu, Ratih berhenti melanjutkan ceritanya karena Bekti berjalan mendekati kami berdua lalu said hello. Bekti yang ganteng, anak yang lucu. Sebelah mananya yang bikin Ratih bilang enakan jadi single seperti saya?

Malam itu, Ratih berjanji untuk menelepon saya. Dia bilang, “Ntar aku cerita lewat telepon ya, La…” Dan saya mengangguk saja. Hm, saya masih merasa sangat aneh. How come she said something like that? I knew, she looked so skinny and pale. Tapi tetap saja, it kept me wondering around…

Besoknya, Ratih menepati janjinya. Lalu dia bercerita panjang lebar tentang rumah tangganya yang penuh konflik.

“Bekti nggak seperti yang kamu bayangin, La…”

Di dalam bayangan saya, Bekti adalah lelaki yang sempurna. Ganteng, baik, bersahaja, dan pandai mencari uang.

“Dia kasar sekali…”

Kasar, Tih??? But he seemed so NICE! WONDERFUL!

“Dia juga sangat posesif. Sampai-sampai, aku nggak boleh keluar dari rumah…. Aku nggak boleh ketemu sama siapapun… termasuk Mama sama Papa!”

OK. Saya kenal betul dengan sifat posesif. Tapi kalau sampai nggak diperbolehkan bertemu dengan orang tua sendiri? Halloooowww… maksudnyaaaa???

“Kamu tahu, La… aku terpaksa melunasi semua hutang-hutangnya.. Mertua sampai menjual rumah mereka untuk menutup hutang suamiku… Dan kamu tahu? Parahnya… dulu pernah, saat suamiku yang idealis itu mengorbankan pekerjaan demi harga dirinya, aku sampai harus menjual perhiasan-perhiasanku, kenangan-kenangan dari almarhum Papa…”

Lalu saya mendengar isak tangis Ratih di ujung sana. Saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan. I just wanted to hold her, right in that second.

I’m not happy, La… Kamu salah kalau kamu berpikir, menikah identik dengan kebahagiaan. Tadinya aku pikir menikah dengan Bekti adalah impian yang terwujud. Meskipun Papa menentang habis-habisan, tapi aku tetap keukeuh dengan pilihanku. I knew what I felt. AKu tahu aku mencintai Bekti, jadi aku paksa Papa untuk menerima Bekti… Dan ya, Papa akhirnya mengalah…. Meskipun hingga akhir hayatnya, Papa nggak tahu kalau sebenarnya aku merasa malu sekali telah melakukan kesalahan ini, La… He was right. I was wrong. Sedih lho, La.. Sedih banget…”

Ya, Tih… saya bisa merasakan kesedihan itu…

“Itulah kenapa aku bilang lebih enak jadi single kayak kamu, daripada menikah lalu tersiksa seperti aku…”

Saya terdiam.

“Dan asal kamu tahu, La… I’m filing my divorce…

I didn’t know what to do but held my breath.

***

Kabar terakhir yang saya tahu, Ratih melahirkan bayinya dengan selamat. Bayi yang lucu sekali. Ibu dan Ayahnya saja berwajah cantik dan ganteng, jadi kemungkinan besar, bayinya memang sangat cantik. Saya tidak tahu bagaimana cerita ‘kekejaman’ Bekti di kehidupan rumah tangga mereka, tapi yang saya tahu persis, saat itu, saya bertemu dengan Ratih, Bekti, dan kedua anak mereka di sebuah mal. Keluarga kecil itu nampak bahagia. Bekti terlihat sangat menyayangi mereka dan anak-anak yang lucu itu nampak sangat menggemaskan.

Saat Bekti ijin sebentar untuk membayar minuman, saya bertanya pada Ratih.

“Tih, how’s your marriage? Are you happy now?”

Dan Ratih hanya menggeleng.

“Aku masih nggak bahagia, La… Tapi aku harus mencoba untuk merasa bahagia… demi anak-anakku…”

Wajah Ratih terlihat sayu. Badannya masih kurus. Sangat kurus. Jauh lebih kurus daripada ketika ia masih lajang dulu. Perkawinan telah ‘merusak’nya, kata Ratih. Tapi, masih kata dia, “Ini adalah pilihan, La…  Ketika kamu sudah memutuskan sesuatu, kamu sudah harus siap dengan segala kemungkinannya…”

“Hm, lantas, soal divorce itu, gimana?”

Ratih tersenyum. “Lalu nasib mereka gimana, La….” Teman baik saya itu memandang kedua bocah yang asyik bermain sendiri. Kedua bola mata Ratih terlihat berkaca-kaca. Seperti kedua bola mata saya sendiri, yang tak bisa menahan air matanya untuk mengalir karena perasaan yang tak terbilang…

*ah, Ratih… I hope you’re happy… I really do…*

 

 

Sayang, Mengapa Kita Harus Bertengkar?

Originally written: August 13th, 2002

 

Sayang, mengapa kita harus bertengkar?

Aku sendiri juga heran mengapa kita berdua harus membuang-buang waktu kita hanya untuk menuruti nafsu amarah, hanya untuk melegakan perasaan kita, hanya untuk memuaskan keegoisan kita.

Kemarin, saat di hatimu terletup api cemburu dan aku malah tidak berusaha memadamkan api itu dan menolak untuk merendahkan harga diriku, kita bertengkar lagi. Hebat. Saling teriak, saling tuduh, saling emosi… Tidak ada yang bisa dinalar oleh logika saat itu, karena yang bermain hanya nafsu semata. Cuman intuisi, yang kadang-kadang menyesatkan.

Seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, akhirnya kita merasa lelah. Capai. Setelah adu argumen, mencari alasan-alasan yang tepat untuk saling menjatuhkan, kita pun akhirnya duduk berangkulan, saling memagut bibir, kemudian kita bercinta lagi. Jika kita akhirnya bercinta lagi seperti biasanya, lantas untuk apa kita bertengkar?

Aku berusaha mencari jawaban mengapa setiap pasang manusia harus saling bertengkar dalam hidupnya.

Orang mengatakan itu bumbu dalam kehidupan, tapi bertengkar itu menyakitkan, saling menyakiti perasaan satu yang lain. Bumbu berfungsi untuk menambah rasa masakan agar semakin sedap, lantas, bisakah bertengkardianalogikan sebagai bumbu?

Ada pendapat yang lain. Dengan bertengkar, otomatis kita bisa langsung mengetahui apa sebetulnya dirasakan oleh pasangan kita. Biasanya, saat emosi memanas, semua hal yang ada di dalam hati bisa meloncat keluar tanpa terbendung lagi. Tapi, dengan duduk berdua, saling jujur dengan pasangan masing2, trus saling berjalan berangkulan, sesekali berciuman, kemudian bercerita-cerita lagi… bukankah itu sama saja? Lantas, untuk apa kita harus bertengkar?

Ada juga yang mengatakan, bertengkar itu sama saja dengan berargumentasi. Sebagai manusia, kita memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dan dengan saling mengutarakan pendapat, berarti kita saling menghargai pasangan masing-masing dan bisa menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu. Tapi menurutku, itulah gunanya cinta, menjembatani segala perbedaan. Kenapa harus bertengkar jika kita saling mencintai? Kenapa harus saling menyakiti jika kita masihmembutuhkan kehadirannya? Mengapa harus bertengkar jika cinta mengajarkan kita untuk saling menghormati orang yang kita cintai?

Berbagai teori itu kusimpulkan menjadi satu, Sayang. Dan kesimpulan yang bisa kuambil adalah: Kita Tidak Harus Bertengkar, Aku TIDAK mau Bertengkar.

Tidak ada yang bisa kupetik dan kuambil hikmahnya dari sebuah pertengkaran. Sedamai apapun perasaan kita setelah berbaikan kembali, bercinta kembali, tetapi selalu saja masih ada luka yang tertinggal, yang entah kapan bisa hilang rasa perihnya. Akan selalu ada saat-saat sepi di mana kita memanjakan intuisi kita kemudian akhirnya mengenang kembali sakit yang timbul saat kita saling tuduh, saling menyakiti, saling melukai.

Karena itulah, aku memutuskan, tidak mau bertengkar lagi dengan kamu, Sayang… Apapun yang terjadi. Pertengkaran hanya membuang-buang waktu kita, pertengkaran hanya membuat kita sakit, tidak ada pertengkaran yang membuat perasaan kita menjadi lebih nyaman (tolong kenalkan padaku, siapa yang merasa nyaman setelah bertengkar). Aku dan kamu memiliki berpuluh-puluh tahun yang semoga akan kita jelang bersama. Aku ngga ingin di antara puluhan tahun nanti, aku mengingat-ingat kembali sakitnya pertengkaran kita kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Sakit hati itu akan sangat menyiksa puluhan tahun lamanya. Aku ngga mau, Sayang. Karena itulah, mengapa kita harus bertengkar? Lebih enak juga bercinta kann…. 🙂

a touch of humour… in the rainy days (1)

Di suatu komplek perumahan di kawasan Menteng ada seorang homo yangbernama Alex. Suatu hari tiba-tiba dia melihat seorang cowok yang ganteng abis dan pindah tepat disebelah rumahnya.

“Woww….ganteng benerrr tuh lekong…akika mawar doongg!”, kata si Alex dalam hati. Alex kesenangan bangeet dia punya tetangga ganteng.

Keesokan harinya Alex terus perhatiin tuh cowok dan dia semakin jatuh cinta. Tapi dia tidak tahu bagaimana menyatakannya. Selidik demi selidik ternyata tuh cowok seorang dokter.

“Wah…kesempatan nih untuk kenalan sama tuh cowok”, pikir si Alex.

Alex kemudian pergi ke tetangganya itu dan mengetok pintu..   tok..tok..tok dan kemudian! si dokter membukakan pintu.

Alex : “Hallo dok, nama saya Alex dan saya tinggal disebelah dokter”.

Dokter : “Oh..ya..silakan masuk.. eh…..” dan si Alex langsung memotong

Alex : ” dok..dok saya kok tiap malam susah tidur ya….dan kadang-kadang merasa agak pusing, tolong periksa dong dok.” sambil menarik tangannya si dokter.

Dokter : “Ya..ya…coba buka mulutnya dan saya periksa”

Alex : “buka baju ya..dok agar enak periksanya”

Dokter : nggak perlu……saya cukup periksa saja dari luar” Dan akhirnya sih dokter hanya memberikan vitamin ke Alex.

Alex sangat dan dia merasa dokter kurang kasih “angin ke dia. Besoknya si Alex balik ke dokter itu dan berkata :” dok kok tambah parah ya… dan saya semakin nggak bisa tidur”.

“Wah…kalau begitu coba kamu naik ke ranjang dan saya akan periksa,” kata dokter.

Langsung aja si alex buka baju dan naik ke ranjang kesenangan. Lalu dokter periksa dia dengan cepat, namun Alex minta diperiksa lagi.

“Dok yang di dada dan perut belum periksa dan minta disuntik ya  dok…!”  sambil membuka celananya.

“Ngga..nggak usah disuntik, nanti saya tambahkan dosis vitamin dan obat  tidurnya.”

“Wah dokternya agak kurang kasih “lampu hijau” lagi nih…kurang  asem…terpaksa deh gue pakai jurus terakhir gue,” kata Alex.

Besoknya, Alex datang lagi kerumah dokter itu.

Alex : ” Dok..saya mau jujur aja deh ke dokter…eh..eh..sebe..nar..nya saya Ambien dok…”

Dokter :” oh..ya kalo begitu coba kamu buka celana kamu dan nungging di atas ranjang ya…”

Wah…Alex kesenangan abis, langsung aja dia naik ke ranjang sambil menahan sakit (seakan-akan benaran si Alex sakit Ambien)

Si dokter ambil senter dan pakai sarung tangan untuk melihat lubang pantatnya si Alex.

Dokter : “Wah..ada apa tuh di pantat kamu kok …ada yang merah-merah, panjang dan berduri-duri..ih..h…”

Alex :” Oh..ya dok..tuuuooollong dikeluarin dooonk dok….”

Dokter :” Saya tarik ya… kalo sakit bilang ya….”

Alex :”Aduh…..e.naaa..k….ehhh….sakit deng…….”

Dokter itupun langsung tarik …wuuuuuusssss , ternyata setangkai  bunga  mawar merah !!!

Dokter :” HAAAAHHHHHHHH…. !!! :

Alex : ” Eih….hi..hi.. itu buat dokter…”

Dokter-pun pingsan…

 

(sama kayak si Sistah-ku yang lagi baca ini.. hehehehe)

….dan hari-hari itu datang lagi

 

yes Mom…

Dan hari-hari itu datang lagi.

Hari-hari yang terlihat spesial dan secara otomatis membuat otak saya berpikir kembali tentang kehampaan hidup anakmu ini tanpa kehadiran seorang Ibu yang dulu hadirnya bikin saya terganggu dan baru saya ketahui makna cintanya ketika sosoknya menjauh dari jangkauan jemari.

Hari ketika Mami menghembuskan nafas terakhir, persis di pelukan Papi, persis di depan mata seorang anak bungsu berusia 22 tahun yang tak tahu apa yang harus dia lakukan, telah menerbitkan air mata. Setiap 7 Juli, a repetition mode tentang kesedihan yang tak pernah bisa terlupakan. Hari ketika saya kehilangan Ibu tercinta, ketika saya menyadari bahwa mulai hari itu, tidak ada suara perempuan berumur lima puluh tiga yang akan mencereweti segala kelakuan badung saya… Atau membuat ponsel saya berdering dan menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang (dulu) sangat mengganggu… Hh, tidak akan pernah ada lagi. Tidak akan pernah.

Lalu tanggal 21 Juli… Hari kelahiran Ibunda tercinta. Setiap tanggal itu, saya seperti berjuang meredam segala kesedihan saya. Melawan segala rasa sakit karena kangen yang tak terlampiaskan. Mencoba untuk terus meyakini bahwa memang tidak akan pernah ada provider ponsel yang bisa memberikan akses ke dalam six feet under, tempat jasadnya terkubur dalam tanah basah di suatu pagi, enam tahun yang lalu. 21 Juli adalah hari yang selalu menerbitkan air mata; meskipun tahun ini, saya telah berhasil melaluinya dengan baik. Tidak ada air mata kesedihan di tahun ini, Mom. Bukan karena Lala nggak kangen sama Mami, tapi karena Lala tahu, bukan air mata si anak bungsu yang Mami butuhkan, melainkan doa dari seorang anak perempuan sholihah yang katanya bisa memuluskan jalan Mami ke surga (hey, Mom! I’ll do my very best, okay! It’s a promise….)

Lalu hari Ibu…. Hari yang diperingati setiap tanggal 22 Desember untuk mengingatkan kembali betapa berartinya peran seorang Ibu buat anak-anaknya. Ketika stasiun televisi berlomba-lomba menyuguhkan kisah-kisah indah tentang hubungan seorang Ibu dan anaknya, saya memilih untuk mematikan televisi dan berdiam di kamar. Menyesali, betapa  saya telah menyia-nyiakan 22 tahun dalam hidup saya untuk menghargai seorang Mami. Menyesali, betapa 22 tahun ke belakang saya tak tahu bagaimana caranya untuk mensyukuri bahwa Mami adalah anugerah Tuhan yang sewaktu-waktu bisa ‘diculikNya’ pulang… Saya hanya ingat, sekali saja saya mengucapkan, “I love you, Mom” pada suatu 22 Desember tahun 1994, sambil mengulurkan kertas-kertas kupon yang bertuliskan: Pijat 30 menit sebanyak sepuluh lembar. Dan saya ingat, Mami tersenyum lalu mengecup ubun-ubun saya. Kecupan yang saya anggap biasa saja tapi kini saya rindukan.

Dan yang paling membuat saya tak bisa berhenti memikirkanmu, Mami… adalah ketika menjelang bulan puasa seperti ini. Ya, hari-hari panas di Surabaya yang musti kita lewati dengan perjuangan. Do you remember, ketika kita berdua nggak tahan menahan suhu Surabaya yang panas dan memilih untuk berendam di dalam bath tub berisi es batu? Dengan maksud agar kita nggak merasa kehausan karena suhu yang panas? Remember that, Mom? Kita baru keluar hanya pada waktu Sholat saja dan berendam lagi sesudahnya?

Coz I remember that Mom…

As I remember dengan segala hal-hal kecil yang Mami lakukan saat mempersiapkan sahur buat anak-anaknya. Tak pernah ketinggalan menu wajib rendang daging dan paru. Juga opor ayam. Lalu menu buka puasa seperti setup nanas dan kolak pisang yang selalu terhidang di meja makan; sebagai usaha untuk menyenangkan hati anak-anakmu yang seringkali bikin Mami mengelus dada…

Lalu apa lagi, Mom?

Lebaran?

Ah, no question. Lebaran tanpa seorang Mami tercinta adalah cobaan yang luar biasa berat, Mi. Apalagi ketika berziarah di pusara Mami, memanjatkan doa sekaligus meminta maaf atas segala alpa dan khilaf, membutuhkan kekuatan yang luar biasa. Can you imagine how I feel Mom? Berdiri di atas tanah yang mengubur jasadmu? Berdiri di atas tanah yang membungkus segala penglihatanku darimu? Lala bisa frustasi, Mi! Dan ketahuilah, perjuangan untuk tidak menangis di atas pusaramu adalah perjuangan yang sungguh dahsyat…

Yes, Mom…

Kini hari-hari itu datang lagi.

Hari-hari yang menguras energi dan air mata karena saya harus berjuang melawan segala kesedihan karena harus kehilangan Mami.

Sebentar lagi, saya musti berpuasa tanpa Mami… once again.

Menyiapkan sendiri sahur dan buka tanpa Mami… once again.

Lalu bathub itu Mi? No more bath tub moment… No more…

Puasa.

Dan Lebaran.

Seperti mata uang dengan dua sisinya. I love it… but I hate to see the fact that I’m not with my Mom anymore…

Tapi hey….

Saya jadi bertanya-tanya lagi.

Is there any particular day that I don’t miss my Mom? Is there any specific day that I don’t even think of her in my mind?

Is there any, Lala?

Hmmm…

Karena ternyata…

Setiap hari…

…is my Mommy’s day.

I love her, everyday.

Now…

and ever.

(mmmuachhh, Mami……. kangen Lala nggak?)

 

 

Kalau GangGila Ngumpul…

Kamu punya sahabat? Orang yang bisa berbagi cerita, mulai dari yang jorok sampai yang indah-indah? Mulai yang bisa bikin kamu ketawa ngakak sampai bikin kamu nangis bombai? Orang-orang yang memiliki peran sangat istimewa untuk mengangkat kamu lagi dari keterpurukanmu? Orang-orang yang mampu membangkitkan minat kamu untuk tersenyum lagi lalu berjalan di sisi kamu, menjaga setiap langkah-langkahmu? Orang-orang bernama Sahabat yang selalu bersedia meminjamkan bahunya untuk setiap curahan hati tapi menginginkan hal yang sama ketika dia sedang didera luka?

Well…

Saya punya…

Tidak satu… Tidak dua… tapi lima orang aneh yang saya bilang sebagai Orang-Orang Gila *tapi selalu tahu bagaimana caranya membuat saya back on my feet again*… Dan dari lima orang tersayang itu, hari Selasa malam, saya bertemu dengan Lin, Yun, dan Tat.

 Dari setiap agenda bertemu, kami selalu berjanji untuk bertemu di sebuah coffee shop. Menyisip kopi, menikmati cemilan, sambil haha hihi sampai bikin para waiter and waitress ngiri banget dan pingin ikutan gabung bersama empat orang aneh yang suara tertawanya bisa terdengar sampai radius puluhan kilometer (hei, ini hiperbolis! Yang bener adalah, sampai radius ratusan kilometer! Hehe)

Hari Selasa malam, kami hang out di Excelso. Ngobrolin masa lalu dan cerita-cerita tentang kekonyolan demi kekonyolan kami jaman kuliah dulu.

Gimana hebohnya dandanan si Lin kala itu (hei, asal tau aja, Lin punya kebiasaan nggak ‘ngebongkar’ tatanan rambutnya saat ke pesta semalam dan pergi ke kampus dengan rambut yang segembolan itu! Haha… Udah gitu, kadang masih suka nggak rela ngelepasin bulu mata palsu hasil tatanan make-up di pesta semalam! Huah.. anak yang aneh… hehehe)

Terus soal Tat yang paling kurus tapi paling nggak pinter kalau disuruh sembunyi. Dulu pernah, pas kita menggoda Lin yang datang terlambat, kita sembunyi di ruang praktikum Teknologi Pengolahan Hewani. Begitu mendengar suara langkah kaki Lin yang mirip tentara itu, saya langsung menginstruksikan Yun, Tat, dan Els untuk bersembunyi di balik meja-meja praktikum. Lucunya, si Lin dengan mudahnya bisa mengetahui kalau kami sedang sembunyi di ruang praktikum. Tau kenapa? Dia langsung berteriak begini: “WIS, NGGAK USAH NDELIK… SIKILMU KETHOK TAT…” (Udah, nggak usah sembunyi… Kakimu keliatan, Tat!) Ternyata oh ternyata, meskipun badan si Tat udah berlindung di balik meja, kedua kakinya masih terjulur keluar..!!! ANAK EDUN!!!! 🙂 Dan konyolnya, ini nggak terjadi sekali atau dua kali… Tapi SETIAP KALI!!! Jadi kami selalu menggoda Tat dengan bilang ini, “Tat iku kuru, tapi nek ndelik pasti ketemon… ” (Tat itu kurus, tapi kalau sembunyi selalu ketauan!) hahahaha…

‘Dosa’ masa lalu Yun yang selalu terkenang adalah keinginannya untuk mengoperasi tahi lalat di hidungnya yang segede bagong. Dan lucunya, waktu praktikum Kimia Analitik, kami sempat kuatir kalau Yun bakal netesin tahi lalatnya dengan AgCl yang dipercaya bisa merontokkan tahi lalatnya itu! Hahaha…

Cerita-cerita itu seperti tidak pernah ada habisnya. Cerita tentang tuduhan mereka kalau saya ini biangnya ‘kebiadapan’ mereka *haha*, betapa saya paling suka mlesetin lagu-lagu dan masih mereka ingat sampai sekarang… (remember guys… lagunya Immortality… yang gua ubah jadi Ternyata Banci itu? Hahahaha).. Lalu cerita tentang LIn yang niat mo kawin lari… Halah… Those were the days…. Those were the memorable days….

Usai menandaskan kopi, menghabiskan makanan, dan ngobrol nggak penting-penting sampai cekakak cekikik kayak orang nggak punya dosa, kami pun memutuskan untuk photo box! Hah! Masih musim gituh.. hehehe… (Pas kami keluar dari Excelso, kami sempet ngeliat pegawai-pegawainya langsung mengadakan Tumpengan buat syukuran kami akhirnya pulang juga! Hahaha…..)

Dan yaa…

Dengan wajah ‘kumus-kumus’, berminyak, dan minus make-up… kami bergaya sampai 9 kali… Dan salah satunya adalah photo ini…. (janji ya, nggak menuduh kami sebagai model majalah Vogue.. hehehe)

My Lucky Charms
My Lucky Charms

Yang namanya GangGila itu, kalau udah sekali ketemu, selalu saja punya berjuta-juta alasan untuk segera kumpul-kumpul lagi. Dan akhirnya, hari Sabtu, di ujung pekan yang sama, kami kumpul-kumpul lagi… Ngopi-ngopi lagi… dan ngobrol-ngobrol nggak penting lagi… 🙂

Mengambil tempat di Hennessy cafe, kami nengkri di sana dari pukul satu sampai setengah empat. Masih dengan agenda yang sama alias saling mencela dan mencaci maki satu sama lain (hahaha), kami sempat jadi ‘tontonan’ karena kami adalah sekelompok orang yang nggak peduli dengan artis pendukung sebuah film yang mengadakan promo tour film di tempat yang sama. Kalau yang lain berebut ber-photo bersama, saya dan sahabat-sahabat malah cekikikan sendiri. Hah.. benar-benar nggak sopan ya… Hehe

Usai bikin rusuh di Hennessy, kami ngider di mal, cari-cari something yang belum terpikir *alias, kalau nemu yang lucu-lucu, baru kepikiran untuk beli*. Karena Tat butuh beli bedak, belok-lah kami ke salah satu toko make up. Dan ya.. bukan GangGila namanya kalau nggak iseng nyobain testernya. Mulai lipstick, blush on, sampai eye shadownya. Tat yang kebetulan penampilannya lagi nggak banget alias minus make up (maklum, kalau ngantor, dia paling males dandan.. katanya, “Ngapain juga dandan kalau mendekam di lab terus?” hehehe), langsung saya kompor-komporin buat ber-makeup gratis di sana. Haha.. dia langsung bersemangat memoles wajahnya dengan barang-barang tester itu!

Dan yaa…

Masih bukan GangGila namanya, kalau kami nggak minta Mbak-nya buat mengabadikan kami yang sudah cantik-cantik dengan make-up gretongan ituhhh…

Inilah photo-photo narsis kami…

)

4 Gals... abis make-up gretongan 🙂

 

)

Tatik & Lala, a mother of one son and a mother wannabe 🙂

Hari itu berakhir pukul sembilan malam, dengan agenda nonton film The Hunting Party yang super duper bagus banget! Buat saya, this one is a must see movie! Percaya deh… tonton aja di sinema terdekat atau beli film bajakannya *hehehe* Lemparin saya (pake duit) kalau film ini ternyata nggak banget… 🙂

Above all…

Minggu kemarin adalah minggu yang sangat mengesankan! Segala permasalahan yang sempat menghimpit, serasa hilang semua… untuk sementara *hehe*. Yun yang sedang bermasalah dengan cintanya, Tat dengan pekerjaannya, dan Lin dengan berat badannya.. (uppsss… ini sih masalah menahun ya, Bu? Sama kayak sayah.. hehehehe)… mulai tertawa tertiwi lagi.. dan menganggap bahwa hidup akan jauh lebih mudah dan indah dengan kehadiran sahabat-sahabat yang meskipun gila abis, tapi tetap aja bisa membuat mereka tersenyum bahkan tertawa ngakak lagi…

Aahh…

Saya bersyukur sekali bisa memiliki mereka… Sahabat-sahabat yang selalu ada… in my best and worse… Dan apalagi.. di ujung kencan kami kemarin itu… kami sempat berjanji untuk selalu bersama-sama…. Sampai kami tua… Sampai kami punya anak cucu…

(meskipun saya bilang begini, “Eh, kalau kita semua sudah punya anak-anak… Janji ya, nggak usah pake acara dijodoh-jodohin segala… Lha wong bibitnya aja udah nggak beres semua kayak gini 😀 )

I love you, Guys…

I love you banget….

ps. Postingan ini sekaligus ditulis buat bikin iri Ly yang ada di Hongkong.. hahaha.. makanya Bu, CEPET PULANG!!! 🙂

 

kalau saya cemburu…

Seorang Sahabat selalu iri dengan perempuan-perempuan bertubuh langsing, berkulit putih, berambut panjang hitam tebal dan bergelombang ala salon, wajahnya cantik… Penampilannya ala peragawati. Dan setiap lantai di mal adalah runway tempat mereka berlenggak lenggok dengan cantiknya.

Seorang Sahabat yang lain selalu iri dengan tas yang ditenteng di tangan Si Cantik-Cantik itu. Atau ponsel canggihnya. Atau merk pakaiannya. Atau kaca mata yang bertengger di wajah mereka.

Sahabat-sahabat saya iri dengan penampilan fisiknya. Dengan apa yang mereka tenteng ke sana kemari. Ya. Termasuk lelaki-lelaki ganteng berduit yang biasanya ada di samping mereka seperti layaknya bodyguard yang dadanya membusung karena merasa bangga *hey, ada seorang bidadari di sebelah mereka, bergayut manja di sebelah mereka, masa tidak bangga sih?*.

Pertanyaannya.

Apakah seorang Lala juga mencemburui semua itu? Menderita lahir batin melihat pemandangan-pemandangan itu?

Hm.

Wanna know my honest answer?

OF COURSE I’M JEALOUS!  🙂

Saya masih perempuan normal yang mencemburui perempuan-perempuan yang jauh lebih beruntung dibandingkan saya. Kalau saya tidak iri dengan perempuan bertubuh langsing, cantik, dan memiliki segala yang tidak saya punya.. well… saya pasti sudah sekelas biksu yang tidak mementingkan duniawi sama sekali. Saya tetaplah perempuan biasa-biasa saja yang merasakan kecemburuan ketika melihat perempuan lain dikaruniai kelebihan yang tidak saya punya. Hm, buat saya ini wajar. It happens a lot. Jadi, saya tidak merasa sendirian.

Tapi, untuk jawaban yang jauh lebih jujur lagi… Sebenarnya, saya jauh lebih cemburu dengan perempuan-perempuan yang PANDAI. Ahli dalam pendidikan, hebat dalam pekerjaannya, jago dalam dunia yang dia geluti, dan.. ya.. knows what she’s doing.

Saya paling mencemburui perempuan-perempuan yang isi kepalanya sungguh luar biasa. Dibandingkan perempuan super cantik, saya lebih cemburu dengan perempuan yang berpenampilan fisik biasa-biasa saja tapi dia seorang Ahli Fisika, misalnya. Penulis hebat, misalnya. Seorang Sutradara luar biasa, misalnya. Atau… seorang Ibu Rumah Tangga jagoan dari Tokyo, Emi-Chan, yang bisa melakukan apa saja, yang tahu apa yang harus dia lakukan, dan tahu persis bagaimana cara mewujudkannya.

Saya akan menjadi sangat sangat cemburu kalau harus berhadapan dengan orang yang jauh lebih pintar, jauh lebih hebat, jauh lebih kenyang pengalaman hidup, dibandingkan ketika berhadapan dengan orang yang cantik.

Terkesan munafik-kah saya, dengan menganggap bahwa isi kepala jauh lebih penting ketimbang mulusnya kulit seseorang?

Terkesan berlebihan-kah saya, dengan menganggap bahwa yang terpenting adalah prestasi kerja seseorang di bidang yang ia geluti, ketimbang rambut yang tergerai indah dan tubuh langsing berbalut pakaian ala designer?

Hah.

Munafik…

Atau berlebihan…

Biarlah. Biarlah saja.

Saya rela dibilang munafik atau menganggap segala sesuatunya dengan sangat berlebihan, karena buat saya, kecantikan adalah sebuah anugerah yang diberikan pada orang-orang tertentu saja. Tapi kalau kepandaian dan kesuksesan seseorang adalah sesuatu yang hanya bisa diperoleh jika didukung dengan usaha yang keras dan waktu yang tidak instan.

Kesuksesan bukan hadiah. Kesuksesan adalah hasil dari kerja keras. Dan saya jauh lebih menghargai orang yang melakukan sesuatu untuk mencapai mimpinya, ketimbang duduk mesam mesem dan mendapatkan semuanya di atas pangkuannya…

*tapi hey! Meskipun tetap saja, akan lebih menyenangkan kalau menjadi orang yang cantik, sekaligus sukses.. hahahaha*

 

Dan.. SISTAH! Ini pujian terbuka Asunaro Bungsu buat Kakak Kedua!! 🙂

Catatan Harian

August 2008
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Celotehan Lala Purwono