Pernah nggak… Dalam suatu kondisi, kamu pingiiinnnn sekali berteriak tapi mulutmu bisu?
Pernah nggak… Dalam suatu masa, kamu pingiiiinnn sekali marah tapi tak mampu?
Pernah nggak… Dalam suatu waktu, kamu pingiiiinnn sekali membocorkan segalanya tapi itu adalah rahasia?
…
Saya? Pernah…
Dan rupanya, teman saya ini juga sedang menghadapinya. Sekarang. At this very moment.
Dia curhat sama saya. “Lu tahu La, gua ngerasa serba salah…”
“Serba salah? Elu ngapain, emangnya? Bunuh orang?” tanya saya ngasal.
“Hus, gila kali lu. Mm, gini. Maksud gua tuh ini…”
Dan mengalirlah ceritanya tentang seorang sahabatnya yang sedang jatuh cinta. Banyak bercerita tentang seorang laki-laki yang dicintainya. Menangis sedih dan tertawa bahagia adalah dua formula utama dalam skenario cerita lepas tentang dia dan si Lelaki. She is in love… madly in love.
“Lalu? Apa salah lu, Sa?” Oh ya, temen saya itu, namanya Nissa. “Kenapa lu sampai ngerasa serba salah begitu…. Emang lu bunuh lelakinya itu?” Saya masih ngasal. Perut saya lagi keroncongan saat dia curhat. Asal tahu aja, percakapan ini berlangsung beberapa hari menjelang saya berangkat ke Jakarta. Just an ordinary lunch within breaking hour.
Nissa, teman saya itu, diam sebentar. Dia mengambil teh manis hangatnya dan meneguknya pelan. Matanya terlihat sendu. Ah, ada apa lagi sih ini…
“Hey, hey. Kenapa elu sendu begini sih? Emang ada apa, Say? Kenapa elu berasa salah banget sama temen lu ituh..”
Dalam beberapa detik yang diam itu, akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan semuanya.
“Jadi gua itu..”
Secretly, Nissa dan Lelaki Tercinta sahabatnya itu menjalin satu hubungan kekasih. They shared kisses… they shared jealousy… they spent time together.. but they decided not to tell the other one. Dengan alasan, “She’s in love with me, but I love you…” itu kata-kata indah Lelaki Tercinta yang kini terasa najis di telinga Nissa.
Kenapa najis?
“Karena lu tau nggak La? Di saat yang sama, ternyata Lelaki Tercinta itu ngomong hal yang sama persis di telinga sahabat gua! Gila nggak sih??? Gua sampai bingung mendeskripsikan perasaan gua sendiri. Gua pingin marah, tapi nggak bisa, karena gua sayang banget sama Lelaki Tercinta dan sampai hari ini gua belum denger penjelasan langsung dari mulutnya. Tapi kalau gua cerita sama sahabat gua… gila.. gua bisa gila, La. She’s my bestfriend.”
“Eh, Sa, justru karena elu sahabatnya, you better tell her… Karena apapun yang lu lakuin, mo cerita kek.. mo nggak cerita kek… Tetep aja, semua bakal nyakitin. Elu sakit, dia juga. So?”
“Haaahhh… tapi nggak semudah itu Lala…”
“I know… gila aja kalau ini gua bilang mudah, Sa. Lu tau kan, gua pernah ada di posisi yang sama seperti elu sekarang?”
“Hm… sama si Bule itu ya?”
“Ya. Sama dia. Elu inget kan kalau dia juga jalan sama temen baik gua? Tapi bedanya, gua jadi sahabat elu, dan temen gua itu jadi elu. Dia yang tau, tapi nggak ngomong apa-apa. Sampai dia over jealous, nggak tahan, lalu memutuskan untuk ngomong blak-blakkan sama gua. Bayangin. Setelah tiga bulan gua jalan sama cowoknya, dia baru bilang kalau gua musti ninggalin itu cowok karena he’s hers.”
“Ya, ya, gua inget.”
“So? Sama aja kan. Kenyataan bahwa gua nggak tahu kalau Bule itu pacaran sama temen gua itu nyakitin gua banget, Sa… lalu kenyataan bahwa gua pacaran sama pacarnya, bikin temen gua sakit hati. Sama aja, Sa. Sama banget.”
“Tapi gua nggak tahu gimana cara mulainya La… How… Gua takut bakal merusak apa yang sudah ada… She’s my best friend… Dia udah begitu baik sama gua, Lala…”
“But what if she knows that you cheat her behind her back?”
“Dia pasti marah…”
“And what if she knows that you know this all the time but never tell her anything?”
“….gua bisa dihajar kali.” Nissa tersenyum kecut.
“So…? Don’t you think that you better throw it into the garbage can before it gets rotten and she could smell it?”
Nissa masih diam. Sepertinya dia berpikir. Perempuan seumuran saya ini masih nampak bingung. Seperti orang yang berdiri di persimpangan jalan tanpa tahu arah mana yang akan dituju. She’s in pain… She’s in the intersection and doesn’t know which way to go… Ah, dammit love… Somehow you just make everything complicated! π
Siang itu, berakhir tanpa solusi. Kami berdua menyelesaikan makan siang beberapa menit berikutnya dan saya kembali masuk ke dalam taksi untuk membawa saya ke kantor. Nissa yang kantornya berbeda arah, menaiki taksi yang berbeda.
Dan sebelum kami naik ke taksi, tiba-tiba Nissa nyeletuk begini:
“Eh La… or should I just leave him and let him with my bestfriend?”
“…”
“… karena gua tau, sahabat gua lebih mencintai Lelaki itu daripada gua… Dan melihat pijaran bintang di mata sahabat gua ketika bercerita soal Lelaki itu membuat hati gua bergetar La…”
“…”
“…dan gua juga marah sama Lelaki itu… tapi kalau gua reveal the secret, bukannya gua akan malah menyakiti sahabat gua ya, La…”
There.
At the sunny day, where sun shone bright, inside the taxi that took her back to her office… She was silently crying….
just a single kiss in the lips before saying good bye, thenΒ you waved your farewell
and it was the juiciest lips ever touched mine,
and it was the most intimate hours ever spent.
even the stars stop twinkling high above…
they just loved to watch, to see me.. and you…
right under the moon light and far from the spot of any lights
when we looked at each other with hopes lie in our eyes,
when we held on each other with feelings of “I Don’t Wanna Let You Go”
then the wind blew our skins and delivered the chills… that made us holding much longer… longer.. and longer.
There, in our silences… you held my hands
I heard you saying… I love you
And you heard me saying all the same thing…
and when you walked by and left your foot prints in front of my door,
I knew, I didn’t want to see you leave….
I knew, a part of my heart said this, over and over again..
“Will he come back and collect all the pieces?”
and this..
“Will he hold my hands then say, sorry our time has come and there’s no longer a place for us in the nearest future”
….when we should let go all the crazy but beautiful feelings we have right now…
….when I just realize that your touch is more than just some crazy old intimacy, but it’s a need?
My need to have you around.
My need to have you close.
My need to have you, till I’ll lose all my senses…
so here..
here I am.
In the cold room with an empty heart.
After having myself torturing my own heart with the sharpest blade called reality,
I’m done with all my useless feelings which lately been hanging around my thoughts like damn parasites.
I’m done being the stupid and bitchy girlfriend that always yells but begs for mercy.
Because this night…
when I’m desperately missing you,
I know… you’re the best part of my life that I could never let go.
(love you, Pacar. I really do)
Hey, Human…
Don’t you ever think that you were created for free. And don’t you ever think that the next time you sleep at night, you’ll always wake up the next day and do your old routines. Because what? You really don’t have any clues what is going to be happened next… Will your days be just the same… or maybe this… a guy, points his gun in your forehead and makes you shiver…
Mungkin kalau Pak Satpam yang bekerja di kompleks perumahan Mbak Neph bisa ngomong dalam bahasa Inggris sekalian ngeblog, dia akan bilang begitu. Dia akan dengan gemetarnya mengetik posting tentang kejadian yang dia alami siang hari tadi, dengan hati yang masih deg-degan, lutut seperti lemas, dan kenangan-kenangan bersama istri dan dua anaknya muncul silih berganti di dalam isi kepalanya.
Tapi ya..
Karena Pak Satpam tadi lebih sibuk menelepon keluarganya, gemetaran menjelaskan rekonstruksi kejadian yang sangat cepat itu, dan minum air putih banyak-banyak, biarkan saya yang bercerita tentang peristiwa siang tadi. Sebuah perampokan yang gagal, persis dua rumah di depan rumah Mbak Neph.
It was just an ordinary holiday. Saya nonton TV di kamar, Mbak Ika sibuk menyiapkan barang-barang yang musti dibawa karena sebentar lagi kami akan pergi beramai-ramai ke rumahnya yang masih dalam proses pembangunan, di daerah Depok sana. Si Mbak Neph lagi ngobrol dengan Mamah dan Eyang Cantik-nya Mas Acha. Pokoknya, it was just that ordinary…
Sampai saat saya nyadar.. ini orang-orang pada kemana semua yaaa…. Kok saya ditinggalin gitu aja di kamar.. Apa udah berangkat??? Nekat amat saya ditinggal…. π
Keluarlah saya ke depan. Ternyata di depan pagar sudah ada Mbak Neph, Mamah, Eyang Cantik-nya Mas Acha, dan beberapa tetangga Mbak Neph yang sibuk ngoceh, which back then, I didn’t know what it was.
Lalu saya lihat si Pak Satpam itu.
Gila. Lututnya bergetar… Benar-benar yang bergetar. Kalau saya sering menggunakan kalimat ini di novel-novel saya, baru kali ini saya melihat secara langsung bagaimana hebohnya bila sepasang kaki itu bergetar hebat. Ah, what happened?
Dari mulut sahabat masa kecil saya mengalirlah sebuah cerita tentang apa yang menyebabkan lutut Pak Satpam bergetar itu…
Peristiwanya terjadi menjelang pukul dua belas siang. Yang punya rumah mengabari Satpam kalau hari ini dia nitip rumahnya. Minta tolong dijagain. Satpam di kompleks perumahan Mbak Neph memang dikenal cekatan dan kerja ‘beneran’, sehingga mereka berkali-kali ngider ke tiap gang untuk mengawasi perumahan yang menjadi tanggung jawab mereka itu.
Sampai di rumah yang dimaksud, Pak Satpam melihat sesuatu yang mencurigakan. Kenapa ada mobil Avanza di depan rumah yang kosong itu ya? Pak Satpam mengira, “Ah, paling juga tamu rumah depannya yang kebetulan parkir di sana…” Tapi setelah diamat-amati lagi, kenapa mencurigakan sekali?
Akhirnya Pak Satpam berusaha mendekati mobil Avanza tersebut. Maksud hati, sih, ingin menanyakan apa keperluannya sekaligus bilang kalau yang punya rumah sedang tidak ada di tempat sehingga sebaiknya tidak menunggu.
Lalu jendela mobil itu terbuka. Bukan seperti yang dibayangkan oleh Pak Satpam bahwa orang tersebut akan berterimakasih, tapi yang muncul di depan matanya adalah pistol yang siap ditembakkan! Syukurlah refleks Pak Satpam sangat bagus, sehingga dia langsung menunduk dan memacu motornya cepat-cepat menuju posko; mencari bantuan.
Karena dia berteriak “Rampok… Rampok…” sepanjang jalan, akhirnya si gerombolan perampok di dalam mobil itu angkat kaki dari rumah sebelum berhasil mengambil apapun dari dalam rumah, meskipun dua dari lima orang gerombolan perampok itu sudah masuk ke dalam pagar (setelah mencongkel gembok) dan bersiap-siap merusak pintu ruang tamu…. π¦
Saat saya konfirmasi ulang ke Pak Satpam, kaki-kakinya masih bergetar. Bicaranya masih terbata-bata. Keringatnya, sumpah, banjir banget. Saya merasa aroma ketakutan masih tercium saat itu. Dia sangat ketakutan. Dan dia sangat wajar merasa ketakutan.
Can’t you imagine this picture: yourself, with a pointed gun in your forehead? Mimpi apa lu semalem??? Gila.. Ini benar-benar sinting… Saya nggak berani membayangkan bagaimana saya menghadapi hari-hari setelah peristiwa itu. It must be like hell…. just by remembering every single seconds of that moment… Saya bisa gila, mungkin. Saya bisa histeris, mungkin. Dan pastinya, saya bisa saja ketakutan untuk keluar dari rumah….
I have no clue how is he now. Apa dia masih ketakutan? Apa dia sudah bisa tidur? Bagaimana tidurnya, nyenyak kah? Dan bagaimana dengan imannya; apa sholatnya makin khusuk sejak peristiwa ini? Hell… saya nggak tahu sama sekali.
But I got this thinking.
Makin menyadari bahwa kita memang nggak pernah tahu kejadian apa yang menimpa kita, just a few seconds afterwards. Are we going to trip and fall? Apakah oksigen yang sedang kita hisap sekarang ini akan terhisap sempurna setelah detik ini berlalu? How about our hearts; is it going to stop beating?
…
…
So Human… Yes you, human.
Don’t be too proud of yourself. Don’t too proud about all of your belongings… Because it’s just a matter of time, that somehow, someway, someday, you’re going to lose everything you have… just in a click of destiny.
*And you, the bad guys outthere… are you outta your mind??? Are you thinking with the gifted brains that God has sent you? Or you are not human… Or I’m talking to animals here??? DAMMIT!*