Kalau boleh dan bisa memilih untuk jatuh cinta di hati siapa, mungkin Rumi, teman masa SMU saya, akan memilih untuk jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang tidak seperti Ben. Dia mungkin akan memilih laki-laki yang normal-normal saja, yang nggak perlu ekstra kesabaran untuk menghadapinya, sekaligus ekstra was-was karena takut sewaktu-waktu Ben ‘terjatuh’ atau meninggalkannya.
Karena Ben, lelaki yang ‘tidak disengaja’ ia jatuhi cinta itu…. adalah an alcoholic.
Mudah sekali orang akan mengatakan, “Elu kan tahu, Mi, kalau Ben itu alcoholic. Mustinya lu sadar kalau dia itu bukan cowok yang bener… Dan lu harusnya nggak perlu terlibat cinta sama laki-laki macem dia…”
But then, I realize… when it comes to love, we sometimes get blind…
Jelek, sih. Saya tahu. But for some people, ini adalah kenyataan yang nggak bisa dihindari. Buat mereka, cinta tumbuh tanpa mereka tahu kenapa… tanpa mereka tahu kapan awalnya… lalu bagaimana… lalu merembet ke yang lain-lainnya.
Seperti yang dirasakan oleh Rumi. Cinta yang membuatnya terus bersabar untuk menemani Ben dalam setiap ‘kejatuhan’nya. Setiap masa-masa sulitnya. Membuatnya harus bisa menata perasaan agar tidak menangis hebat setiap kali Ben kehilangan kesadarannya lalu harus berjuang untuk terus bernafas di ranjang sebuah rumah sakit.
Rumi tahu, semua ini akan dia alami. Entah sekarang, entah nanti. Ben yang dikenalnya itu memang a genuine alcoholic. Tidak main-main. Bukan bir beralkohol rendah yang dia konsumsi, tapi sejenis vodka, whisky, dll yang kandungan alkoholnya sudah sangat berbahaya jika dikonsumi selayaknya air putih biasa! Ah, Rumi.. Rumi… Gadis ini terlalu cinta rupanya dengan Ben. Dia malah memilih untuk terus ada di samping Ben, meskipun tak pernah berhenti untuk terus mengingatkan kekasihnya agar berhenti mencandui alkohol.
Lalu, mungkin atas nama cinta, atau memang sudah menyadari kekeliruannya, Ben memutuskan untuk berhenti. Dia memasrahkan dirinya dalam perawatan rumah rehabilitasi. Belum mempan juga? Dia masuk ke dalam pondok pesantren agar keimanannya lebih terjaga dan menjauh dari alkohol. Dan segala macam upaya lain yang dilakukannya untuk sembuh, tapi tetap saja, ia tak bisa berhenti….. Arrrggghh… he was so depressed!
Hingga akhirnya, belum satu bulan ini, akhirnya dia berhenti juga.
Bukan. Bukan karena Ben telah sembuh dari kecanduannya.
Tapi karena ini.
He died….. in the hospital’s room….
Tubuhnya sudah tak mampu lagi menahan siksaan alkohol yang telah merusak sebagian besar organ pentingnya. Sudah tak sanggup lagi, sudah tak bisa lagi.. 😦
Sampai sekarang, Rumi masih larut dalam dukanya. Lelaki dengan segala kekurangannya itu, telah dianggapnya menjadi laki-laki terbaik dalam hidupnya, sampai detik ini. Kehilangan Ben telah memukul perasaan Rumi dan membuatnya tak berhenti menangis.
Benaknya masih penuh dengan lelaki tercintanya itu.
Masih terbayang dengan kenangan-kenangan indah yang sempat terbentuk bersamanya.
Masih, somehow, mendengarkan suara-suara Ben ketika merayunya…
Dia masih tak bisa melupakan semua kenangan itu.
Ya… kenangan bersama Ben, her alcoholic boyfriend.
ps. Rumi, tabah ya… kecup sayang buat kamu…
pssst… dan bikin saya musti rela cuci baju (batiknya barusan dipakai dan masih teronggok di keranjang baju kotor), malem-malem, pulang kantor, ngeremes-ngeremes biar airnya cepet ilang, dikeringin, dan diangin-anginin… lalu pagi-paginya… dipakai tanpa disetrika! huakakakaka…..
*untung ga keliatan, soalnya motifnya rame sih… syukur, syukur… *