When I was just a little girl, I asked my mother, “What will I be?
Will I be pretty, will I be rich?”
Here’s what she said to me
Kamu tahu kan, lirik lagu di atas? Sebuah lagu lama dari Doris Day, Que Sera, Sera, yang sekarang malah digubah liriknya dan menjadi jingle iklan sebuah produk semen itu? Sebuah lagu yang bercerita bahwa kehidupan di masa depan adalah masih misteri dan apa yang terjadi, terjadilah?
Tadi siang, saya dengar lagu ini di radio. Sambil blogging, lagu lama ini terputar di radio favorit saya. Ah, saya ini memang pecinta lagu-lagu evergreen, lagu-lagu lawas yang sampai sekarang masih terngiang dengan manisnya di telinga saya. Melodi yang sederhana, nggak terlalu ribet dengan sentuhan teknologi, dan ya, kata-kata yang langsung straight to the point itulah yang mungkin mendasari saya mencintai lagu-lagu itu. Ah, iya, iya, juga didukung sama koleksi laser disc karaoke Papi dan Mami sejak saya masih umur 9 tahun itu.. Makanya, nggak heran juga kalau sedikit banyak saya tahu tentang lagu-lagu jadul…
Ketika saya mendengarkan lagu itu, saya langsung tersenyum. Liriknya itu lho yang membuat saya langsung terbayang dengan masa kecil saya, langsung membawa saya ke masa lalu ketika saya masih polos-polosnya dan lembarannya masih putih bersih (bukan abstrak seperti hari ini..hehe)…
Saat pikiran-pikiran itu melayang, saya langsung ingat kalau saya punya satu photo waktu saya masih TK dan duduk dengan manisnya di depan kulkas *FYI, suatu kali saya pernah ngambek sama Mami dan mengancam minggat… lalu tiduran di depan kulkas.. haha.. itu sudah termasuk minggat namanya…* Ini dia nih photonya…
Kalau lihat photo ini, saya langsung merasa, “Oh Gosh… I ruined this kid…!” 😀
Karena anak perempuan kecil ini, yang rambutnya selalu jadi bahan eksperimen Mami tercintanya *Mami kan pernah ikut kursus menata rambut gitu, deh..*, yang tampangnya polos banget…. sekarang jadi perempuan yang bawel, moody berat, sensitif abeesss, dan ya, sering jatuh cinta nggak jelas dan bikin dia patah hati berkali-kali sampai si Bro bilang, “Kamu ini harusnya bikin modul, supaya nggak patah hati terus…” Karena dia berasumsi, relationship pattern saya itu nggak pernah berubah dari jaman pacar pertama sampai yang terakhir ini… Ah.. mosok tho…
Saya jadi punya pikiran begini. Pernah nggak sih terpikir bahwa suatu hari kelak saya bisa jadi seorang perempuan 28 tahun yang aneh seperti sekarang ini? Pernah nggak sih dulu saya berpikir kalau dua puluh empat tahun kemudian saya bakal kerja jadi blogger dengan kerjaan sampingan sebagai sekretaris ini? 😀
Pernah nggak sih, dulu terpikir bakal nggak kawin-kawin sampai usia segini?
Pernah nggak sih, dulu terpikir bakal pernah ngincipin yang namanya rokok terus malah menghasut sahabatnya untuk merokok, meskipun akhirnya si teman berhenti dan sendirinya juga kapok?
Pernah nggak sih, dulu kepikiran untuk jatuh cinta dengan cowok-cowok nggak banget, yang materialistis, yang bakal nyelingkuhin saya, yang bikin saya nangis berhari-hari dan patah hati berat?
Ah, saya rasa, si Kecil Lala, si Empat Tahun Lala, tidak akan pernah menyangka bahwa 24 tahun berikutnya, dia akan seperti ini. Seperti saya yang tidak akan bisa menyangka, akan seperti apa kelak si TigaPuluhLimaTahun Lala, EmpatPuluhTahun Lala, dan seterusnya… dan seterusnya…
Karena memang, masa depan itu misteri.
Dan benar apa yang dibilang Doris Day ini: “The future’s not ours to see… Que Sera, Sera…. What will be, will be…”
And I won’t question…
I just want to deal with it.. day.. by day…
Â
Saya bilang Ties adalah cerminan seorang Lala karena entah kenapa, somehow, hidup saya dan Ties memiliki pattern of life yang bisa dibilang sangat mirip.
Kami lahir dari sepasang orang tua dan memiliki dua orang saudara. Bedanya, saya bungsu. Dia, anak tengah. Kami juga lahir di keluarga yang terlihat bahagia sekali, tapi ternyata menyimpan badai… Dan ini baru kami ketahui setelah beranjak dewasa. Pengalaman yang sama ini membuat kami sama-sama tahu bahwa segala hal yang indah di permukaan belum tentu indah di dalamnya. Dan untungnya, saya dan Ties tidak minder atau malu, tapi malah mempelajari sesuatu…. Ah, she’s a great mentor…
Kami sama-sama suka bahasa. Dulu pernah hampir satu fakultas di Sastra Inggris. Sama-sama masuk kategori satu dengan biaya sekolah yang paling murah, tapi akhirnya saya menuruti Papi untuk kuliah Fakultas Teknologi Pertanian dan Ties akhirnya lolos UMPTN di tahun berikutnya lalu kuliah di Fakultas Sastra universitas negeri. Kecintaan kami terhadap bahasa terbukti dengan betapa hobinya dia belajar bahasa Belanda (that time) dan betapa cintanya saya dengan Nihongo (ya, baru mulai belajar). Sebenarnya pingin sekali belajar satu kelas di tempat kursus Bahasa Perancis, tapi sampai sekarang, niat itu belum kesampaian juga…
Setelah lulus kuliah, ajaibnya, saya dan Ties malah kerja di perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, alias Pelayaran. Ya. Hanya tiga bulan setelah saya kerja di perusahaan yang sekarang, eh tau-taunya dia juga diterima di perusahaan yang lokasinya hanya berjarak lima menit dari kantor saya! Ah, kebetulan yang sangat menyenangkan nih…
Love pattern saya dan Ties juga sangat mirip. Di usia yang beda satu bulan itu (dia lebih tua satu bulan dan saya lebih berat 20 kg dibanding dia.. haha), kami punya love issues yang nggak pernah okay. Berkali-kali pacaran, berkali-kali pula putus. Berkali-kali jatuh cinta, berkali-kali pula musti patah hati. Lucunya, tidak sekali dua kali saya mengalami kisah cinta yang mirip dengan dia. Sama-sama pernah dekat dengan foreigner (bedanya, Ties sempat pacaran selama dua tahun dan sudah jalan-jalan keliling Eropa sama cowok itu sementara saya cukup dinner dan lunch aja selama tiga bulan.. hehe), sama-sama pernah diselingkuhin habis-habisan, sama-sama pernah dibuat menunggu tapi ternyata si cowok itu nggak pernah keliatan lagi batang hidungnya… Banyak kesamaan itulah yang membuat saya dan Ties punya satu kesamaan lagi.
Yaitu, kami berdua, sama-sama bukan orang yang judgmental (insyaAllah, sih bakal begitu terus). Mencoba untuk mengerti apa yang mendasari perilaku orang yang nggak banget itu. Kalaupun kami nggak setuju, biasanya kami hanya diam dan tidak menuding orang-orang itu. Ah, kesannya ini narsis sekali ya? Tapi hey, that’s the way we are… Makanya kami paling nggak suka sama orang-orang yang suka ngomongin orang lain… It’s not our capacity.. and it never will be, so shut your mouth 😀
Selain itu, ada kesamaan-kesamaan kecil lainnya yang membuat saya berani menyebut Ties sebagai cerminan saya. Sama-sama suka Japanese food, misalnya. Sama-sama suka nonton live music concert di cafe-cafe. Sama-sama suka dandan. Sama-sama suka belanja. Sama-sama suka memotret pakai HP kalau menemukan barang-barang ‘ajaib’ dan nggak banget (misal: dekorasi korden diikat dengan karet gelang.. remember Ties?). Dan ya.. pastinya nih.. kami berdua, sama-sama narsis sunaris alias Narsis Akut! 🙂
Sekarang…
Kami berdua, sedang mengalami jatuh cinta yang sama dahsyatnya… Yang penuh dengan tantangan… Yang membutuhkan ekstra kesabaran supaya bisa survive…
Kekuatan dia dalam menghadapi hidup adalah energi buat saya. Keberanian dia dalam menyikapi semua masalah adalah semangat saya.
She’s really my mirror…
And I love her for everything she’s done for me.
Makasih ya, Ties… Please be strong, okay? Cause whatever you feel… that’s exactly what I feel… ^_^
 Lala dan Lin lagi ngeleset nggak penting di J-Co, in a hot Saturday
Eniwei,
Karena sama-sama doyan makan, ditunjang pula dengan kondisi ini nih, yang setiap Sabtu libur *yang lainnya masuk, kecuali Els yang biasanya sibuk ngasih les privat*, makanya kami sering banget bikin agenda wisata kuliner setiap hari Sabtu.
Pastinya sih, kalau soal lokasi, harus yang gampang dijangkau dengan angkot, ini karena saya masih belum mampu beli mobil sendiri dan Bro tercinta sama sekali nggak rela mobilnya diserudukin ke rambu-rambu lalu lintas kalau saya yang bawa 🙂
Biasanya, saya dan Lin wisata kuliner from mall to mall. Ngincipin makanan di resto ini…. resto itu…. Nengkri di cafe sini… cafe situ… Kadang, sambil nungguin Tat, Yun, dan Els yang bisa kumpul setelah pukul lima sore dan kami lanjut sampai pukul sembilan malam *dan kalau peralatan tukang alias tas make up saya ketinggalan, saya bisa nangis-nangis darah nih karena nggak bisa touch up dan sliweran dengan wajah berminyak acak adut 😀 * Dan setelah manusia-manusia ‘gila’ itu datang, kami yaaa… makan lagi deh jadinya… hehehe..
Paling seru kalau makan all you can eat. Bisa dijamin, kami bakal jadi pengunjung terlama yang makan di sana. Karena kami selalu punya prinsip begini: “Sebelum balik modal, dilarang udahan”Haha.. jadi, setiap potongan ayam yang kami makan, kami kira-kira aja berapa harga… Setiap siomay… Setiap roti… Setiap porsi spageti… dll dsb, musti diitung dulu. Setelah impas, baru deh kami pulang… Hehe, bener-bener nggak mau rugi yah…..
 Karena kebiasaan ini juga, saya dan Lin nggak pernah bisa kurus-kurus. Gimana mau kurus kalau setiap Sabtu selalu punya agenda wisata kuliner begini? Dan FYI, biasanya nih, kalau sudah masuk agenda begini, saya pasti lupa dengan program diet sayaaaa… huaaaahhh………
Ah, tapi sekarang saya mah mau cuek aja ah. Makan aja selagi mampu beli dan bisa makan (but don’t waste the food ya La.. kasih Lin aja kalau nggak habis..hehe)
Apalagi tadi saya lihat Oprah di Metro TV yang membahas soal buku Eat Pray Love, buku yang jadi best seller, menceritakan pengalaman hidup seorang Elizabeth, perempuan yang terlihat memiliki segalanya tapi merasa hidupnya hampa. Ketika dia hendak collected her pieces of life that she had left lalu mencoba untuk menemukan dirinya sendiri, she said, “Gimana bisa aku punya energi untuk menyerap hal-hal positif kalau badanku kurus banget dan loyo? Karena itu selama empat bulan di Italia, aku makan, makan dan makan… Nggak peduli dengan bobot tubuh, asal aku bahagia…”
…yes, she’s gained weight, but no… she’s not depressed. She’s so happy!
*malah ada yang bilang, si Elizabeth ini sampai ngomong-ngomong sendiri sama makanan yang hendak dia suap ke mulutnya, lho.. hehehe.. so cute, eh?
Nah. Kalau akhirnya saya makan dan makan terus sama Lin dan bakal ngasih efek samping *bener-bener ke samping alias melebar gituh.. hehe*, ya nggak apa-apa deh. Just as long as we’re both happy…. *ah, lagian juga seminggu sekali kan La…. www.menghibur-diri.com*
Pokoknya, Lin benar-benar partner sejati deh buat urusan makanan. Selain dia yang hampir selalu available setiap Sabtu *sekarang dia udah sibuk pacaran nih..*, dia juga teman yang pengertian.
Kenapa begitu?
Karena prinsip Lin yang nggak bisa nolak makanan yang sudah ada di atas piringnya, dia selalu bersedia menghabiskan kelebihan makanan jatah saya, yang diam-diam saya letakkan di atas piringnya saat dia berdoa sebelum makan… hehehe.. gomenasai, ya, Say… ^^
Luv ya! Mmuachhh!