Cuman, gara-gara lihat photo inilah, saya jadi ingat kata-kata Lin kalau kami semua ini mirip karakter-karakter dalam Sex and The City *sumpah, bukan mereka yang super fashionable atau super langsing mirip supermodel itu.. fitnah.com banget, Sodara-Sodara! Hehe*
Ceritanya nih, di suatu telepon nggak jelas malam-malam yang sering jadi kebiasaan saya dan Lin kalau sedang nggak sibuk dengan urusan asmara masing-masing *apalagi sekarang nih.. hehe*, Lin pernah bilang begini:
Lin: Eh, La.. sadar nggak sih, kalau kita ini kayak Sex and The City banget?
La: Ha??? *sambil mikir, ini anak ngelindur apa nggak, secara dari bentuk tubuh dan kecantikan, jelas kami nggak ada mirip-miripnya sama Carrie Bradshaw ‘n the Gang itu…*
Lin: Kenapa lu?
La: Kenapa gua? Kenapa elu, Bu… Secara kita modelnya nggak karu-karuan begini, lu bilang kita kayak Sex and The City??? C’mon…
Lin: Ah, itu sih, gua ngerti lagee… Secara gua cukup tau diri… *dan kami ketawa* Maksud gua itu ini lho…
Dan mengalirlah cerita soal kemiripan kami dengan tokoh-tokoh di Sex and The City. FYI, di situ, ada empat tokoh sentral, Carrie Bradshaw, Charlotte York, Samantha Jones, dan Miranda Hobbs. Serial favorit saya dan Lin itu menceritakan banyak kisah soal cinta, sedikit seks, dan pastinya tentang persahabatan yang menjadi benang ceritanya.
Apa yang mirip? Apa Lin memang sedang ngelindur cukup parah?
Ternyata dia punya alasannya.
Carrie Bradshaw, si Kolumnis di koran New York Star, yang mengisi kolom seks tiap hari Rabu itu, memiliki kisah cinta yang cukup tragis. Susah berkomitmen meskipun terlihat begitu jatuh cinta dengan pasangan. She’s so tough, but when it comes to love, she’s so fragile. Dan, Lin bilang…
“Carrie itu elu banget La…” Dengan alasan, di antara member GangGila, satu-satunya yang penulis adalah saya dan ya, kisah cinta saya cukup tragis ^^ Soal komitmen itu, saya sempet protes sama Lin, tapi akhirnya dia bilang, “Bukannya elu emang gitu La? Nanya kapan kawin, kapan kawin, begitu ada yang khilaf ngawinin, langsung ngacir nggak jelas?”
-gleg- Ah, sok tau… 🙂
“Tapi elu nggak murni Carrie, La…”
“Lah?”
“Karena elu juga Samantha…” Samantha Jones, PR kondang yang sudah tidur dengan semua laki-laki di Manhattan itu sama kayak gua Lin???? “Bukan… bukan soal itunya… tapi karena Samantha itu kan sex appealnya tinggi.. dan yang mirip sama elu itu, ganjennya dia ke cowok-cowok…” Lin ketawa. Saya mingkem aja. Eh, masa iya sih saya ganjen???
“Ooookkay… terus, terus…”
“Kalau Tat itu… coba tebak, mirip siapa…”
Nggak pakai mikir lama, saya langsung nyeletuk, “Miranda ya???”
“Haha, elu tahu juga La…” Karena emang, Tat cukup sinis soal cinta. Dia tuh paling anti romantisme, meskipun akhirnya dia yang nikah pertama kali *dan baru diikuti oleh Els empat tahun berikutnya! ah, jangan bilang ntar diikuti empat tahun berikutnya lagi.. Giliran saya kapaaaannnn…* Tat bukan orang yang mellow-mellow. Malah dia yang paling tegas di antara kami berenam. Mungkin lawan tanding Tat yang sesuai cuman sama Satpam yang kumisnya kayak pak Raden.. haha.. gimana nggak, wong Tat ini nggak pernah takut biar kata berantem sama lawan jenis, kok. Hebat banget deh pokoknya Ibu satu anak ini…
“Miranda banget kan dia, La?” tanya si Lin setelah kami puas ber-flashback-ria dan membayangkan betapa miripnya Tat dengan karakter Miranda Hobbs itu.
“Iya, iya banget… Terus, terus, kalau Charlotte, mirip siapa?”
Terjadi perdebatan yang sengit, siapa yang paling pantas mendapatkan gelar terhormat itu. Siapa yang paling mirip dengan karakter Charlotte yang a Hollywood, yang hidupnya mirip fairytale, dan suka mimpi-mimpi nggak jelas soal romansa.
“Mirip elu, kali, Lin…” kata saya akhirnya, mengingat Lin ini cukup dramatis kalau menanggapi segala sesuatu. Dia satu-satunya sahabat saya yang pernah merencanakan kawin lari *nah lho, hari geneee*, pernah niat running away ke Hongkong supaya bisa melupakan orang tercintanya yang ngebetein itu dan berangan-angan, eh siapa tahu si cowok menyusul dia di airport.. haha… plis deh…
“Kok gua sih??”
“Karena Els dan Ly nggak begitu, Lin..”
“Kan elu juga…”
“Eh, gua udah dapet dua karakter nih.. Emang maen bola, hetrik gitu…”
“Hehe, iya deh… Tapi, tapi… Charlotte kan orangnya rada-rada aneh gitu kan, La? Suka nyobain hal-hal yang aneh gitu? Yang hobinya nggak jelas itu?”
Tiba-tiba pikiran kami langsung menuju kepada satu orang sahabat yang sedang membanting tulang *benaran dibanting lho, Sodara-Sodara.. gila aja kerjaannya!* di Hongkong sana.
“Ahhh… si Ly ya???” Lalu kami berdua tertawa lagi. “Jadi Charlotte itu perpaduan elu sama Ly, Lin…”
Usai membahas betapa miripnya kami semua dengan karakter Sex and The City itu, kami ngobrol-ngobrol hal yang nggak penting lainnya *istilah Bro: “obrolan nggak bermanfaat” hehe* sampai berjam-jam berikutnya. Ketika kami diserang rasa ngantuk, baru kami berhenti, karena kalau nunggu bahan pembicaraan habis, percayalah….. we would never stop 😀
Nah, saat hendak menutup telepon itulah, Lin tiba-tiba nyeletuk.
“Tapi La… terus Els mirip sama sapa ya? Kayaknya, di Sex and The City nggak ada karakter Mbah Dukun deh…”
Hahaha…
Di ujung percakapan itu kami ketawa ngakak-kak-kak…
Ah, kasihan kamu Els… Selaluuuuu aja jadi object penderita kami… Maaf yaaa… Tapi beneran, we all love you kok.. *Apalagi minggu depan kan kamu bakal ntraktir kita makan-makan, syukuran rumah baru sama kehamilan kamu itu…. hehehe*
Festival Yosakoi tidak hanya menghasilkan satu gelar juara umum kategori Semangat, tapi juga menghasilkan pertemanan akrab antara saya, Pipi-Chan, Momo-Chan, dan Mbem-Chan, Adik-Adik Manis saya yang belakangan rajin sms-an tiap hari. Buat seru-seruan, kami berempat menamakan diri sebagai Gang Maru *hehe, bisa diketawain GangGila nih kalau saya bikin Gang-Gang-an lagi.. C’mon, La… Don’t you know your age???*
Ya. Don’t I know my own age?
Umur saya sudah 28. Sudah nggak pantes lagi bikin Gang yang anggotanya masih “anget-angetnya”. Fresh from the oven banget deh. Gimana nggak? Mereka bertiga itu, si Adik-Adik Manis itu, semuanya masih muda belia. Pipi-Chan, lahir tahun 1988. Momo-Chan, 1989. Mbem-Chan, 1990. Bisa kebayang dong, betapa ‘nggak tau dirinya’ saya kalau masih nekat nge-Gang sama mereka-mereka itu…
Tapi hey… ini kan masalah kecocokan aja, kan??? Mungkin mereka bertiga yang terlalu dewasa… *atau saya yang sok merasa muda belia ya? hehe* sehingga kami berempat bisa dekat.
Ini terbukti dengan betapa akrabnya Gang Maru setiap latihan. Kemana-mana selalu berempat. Mulai dari makan, mojok sambil bergosip, sampai pipis pun bareng-bareng. Haha.. pokoknya kompak banget deh… Ditambah pula si Momo-Chan, si Wajah Minus Ekspresi, yang suka melucu tapi wajahnya datar banget nggak pakai ekspresi, bikin saya dan kedua teman yang lain ketawa sampai guling-guling di lantai *eh, ini hiperbolis… jadi berhenti ngebayangin deh..*
Pipi-Chan juga begitu. Si Cantik ini latahnya nggak main-main deh. Tadinya saya pikir, Pipi-Chan itu orangnya kalem *liat aja di photo*, eh ndilalah suralah, dia ini yang paling heboh di antara kami berempat. Dan bukan saya aja yang tertipu, tapi Momo-Chan dan Mbem-Chan juga. Kami semua bilang, kalau Pipi-Chan itu cuman cantik waktu diphoto doang. Dan dijamin, orang langsung ilfeel begitu ngeliat tingkah polahnya yang nggak banget itu.. *eh, tapi itu kali ya, yang bikin saya akrab sama dia? maksudnya, saya dan Pipi-Chan itu.. sama-sama nggak banget! hahaha*
Kalau Mbem-Chan, dia itu polosnya minta ampun. Masih anak-anak banget. Apalagi dia memang baru lulus SMU, masih suka nggak ngeh kalau kita bicara rada pinteran dikit *emang pernah gitu? nggak usah fitnah deh La… ^_^*. Pipi-Chan aja harus menjelaskan panjang lebar soal “kebaikan di punggung” yang pernah saya ceritakan di post ini. Dan percaya nggak sih, Sodara-Sodara sekalian… Dia masih nggak ngerti sampai sekarang! Ampun deh….. ^_^
…eh, ini karena masih belia banget, apa karena faktor Oon ya, Pi, Mo? hahaha…
Eniwei…
Berteman dengan tiga Adik-Adik Manis itu membuat hidup saya makin seruuuu… Makin warna warni… Makin penuh dengan kejutan-kejutan… Apalagi tiga manusia itu suka banget bergosip. Jadi perbendaharaan gosip saya nggak pernah basi 😀 Dan satu hal lagi… mereka bertiga itu… penurut banget sama saya.. hehehe… Kali ini, umur saya yang keliwat uzur buat mereka menjadi nilai tambah karena saya dianggap paling bisa diandalin kalau dimintain nasehat…. uuuhhuuuiii…. berasa gimanaaaa gituuhhh…. ^_^
Ahhh…
Biarpun saya harus rela serela-relanya kalau dikatain: “Elu nggak inget umur ya, La???”
Atau dikatain: “Plis deh, La… elu ama mereka bukannya kayak Tante-Tante gitu???”
Dan sejuta kata-kata ‘mutiara’ lainnya…
Yang jelas…
I really don’t care.
Selama saya nyaman sama mereka… Selama mereka memang bisa banget bikin saya ketawa-ketawa dengan hepinya… Selama saya bisa menghabiskan waktu dengan bahagia… I really, really don’t care.
Bodo amat… ^_^
….aaahhh….Guys… you make me feel so young!!!!
Makasih yaahhh…
“Kenapa kamu milih aku?”
“No specific reason, karena kamu adalah kamu.”
“Cuman karena itu?”
“Memangnya cinta perlu alasan? Aku cinta kamu karena aku memang cinta sama kamu. Lepas dari segala macam alasan yang mungkin akan hilang di kemudian hari.. Dan aku nggak pingin itu terjadi…”
Hmm.
Pernah dengar percakapan ini? Atau mungkin terlibat dengan percakapan yang serupa?
Entah kenapa percakapan itu memenuhi pikiran saya hari ini, ketika miskin ide dan pekerjaan yang sangat minim sekali di kantor, dan saya duduk di depan laptop sambil diiringi suara John Legend yang merdu mendayu di lagunya Ordinary People (ah, saya masih sangat jatuh cinta dengan lagu ini nih!). Ditemani juga secangkir kopi plus krim dengan sedikit gula yang perlahan menghabis, saya jadi kepikiran dengan percakapan itu dan mulai bertanya.
Kenapa saya memilih dia?
Betulkah jatuh cinta bisa tanpa alasan, cuman karena itulah seorang Pacar, yang baik maupun buruknya adalah kelebihan buat kita?
Bisakah? Just fall, outta the blue, without any reasons why?
Banyak Pelaku Cinta yang berlindung dengan alasan I love you because it’s you, no body else. Tapi tidakkah ada penyebab kita jatuh cinta dengan seseorang? Tidakkah kita punya alasan kenapa kita jatuh cinta dengan pasangan kita? What make them look so special in our eyes? Dan kenapa binar-binar di mata kita selalu muncul saat melihat pasangan? Dan kenapa degup jantung seolah nggak karuan saat berdekatan dengan orang tersayang kita itu?
Buat saya, selalu ada alasan kenapa kita jatuh hati dengan seseorang. Entah itu fisiknya, entah itu kepandaiannya, entah itu apa yang dia miliki *harta benda, mungkin 🙂 *, entah itu personality-nya, dll dsb. Itu adalah awal kita menoleh, memandang kagum, dan dengan berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi something good or even something bad. Mungkin ada yang terperangkap dengan ‘bungkus’ lalu menyadari bahwa bukan orang ini yang kita cari. Mungkin malah ada yang semakin meyakini bahwa orang inilah our own missing puzzles.
Waktu yang akan membuktikan apakah it was really there atau it was something like that but then it wasn’t.
Tapi, selalu ada alasan kenapa kita jatuh cinta dengan seseorang; kenapa kita begitu tak ingin berjauhan dengan orang itu dan berusaha memberikan the best of us untuk orang yang kita sayangi itu. Kenapa kita memilih dia menjadi pasangan berbagi cerita, berbagi sayang, berbagi sedih…
Itulah kenapa, di pagi yang dingin (yang pastinya karena hembusan AC persis di depan meja kantor saya) ini, saya ingin bilang sama Pacar kalau someday somehow he ask me this question, I will definitely say that I know the reasons why I chose him over any other guys that came along into my life.
Ya. Awalnya adalah… karena dia pintar. Because he knows what he’s doing.
Lalu makin jatuh cinta… karena dia bisa bermain piano. I just love a man with his piano or guitar.
Setelah dekat dengan dia, saya jatuh cinta… karena dia begitu dewasa. Usianya yang di atas saya membuat dia selalu bisa ngemong, menjaga, memperhatikan, dan mau memahami seorang saya yang masih moody dan meledak-ledak.
Those three major reasons membuat saya jatuh cinta sama Pacar, yang membuat saya ingin terus berdekatan dengannya, membuat saya ingin terus-menerus mendengarkan suaranya, membuat saya tak ingin kehilangan dia…
Ya. Sekalipun akhirnya saya tahu kalau dia itu posesif dan pencemburu, meskipun kedewasaannya kadang membuat saya salah tingkah karena seolah-olah saya masih seperti anak belasan tahun meskipun dia suka sekali membuat saya spaneng karena cemburu juga dan mencium saya setelahnya sambil berterimakasih karena saya telah cemburu sama dia…… Saya tetap jatuh hati padanya.
Lalu saya ingat dengan seorang teman yang pernah bilang, “Kalau alasan-alasan seseorang mencintai pasangan itu menghilang, misalnya wajahnya tak lagi tampan? Dia kehilangan pekerjaannya yang fantastis itu? Bukankah malah akan berantakan jadinya?”
“So? Maksud kamu?”
“Jadi bukankah cinta memang nggak perlu alasan?”
Mmm…
Kalau ada di antara kamu yang bertanya itu pada saya, hari ini, saya akan bilang begini:
Saya punya alasan kenapa saya tertarik sama dia. Ya, karena tiga alasan utama itu tadi. Kepintarannya, kebisaannya bermain piano, dan kedewasaannya. Itu menggiring saya ke perasaan yang lebih dari sekedar tertarik. Waktu yang berjalan mengantarkan saya pada seorang Pacar yang pastinya memiliki kekurangan *we’re just ordinary people, rite?*. Dan ketika sampai di situ saya masih bertahan dengan kekurangan Pacar dan bisa menerima…. that’s the moment I realize, I was totally in love with him… Hm, not just was, but still am.
Seperti yang pernah saya tulis di blog, semingguan yang lalu.
It’s just about a trigger… or a rock that makes us fall.
After we fall… the rest is destiny.
Dan bagaimanakah destiny itu?
Hmmm… jangan tanya saya, ya? Karena, sumpah… saya nggak tahu… ^_^
Jadi Ibnu itu ABG yang suka banget sama kamu itu, ya, Sai? Mbok Darmi yang cerita…
Mas Didit
Mbok cerita? Kapan dia cerita, Mas? Jadi dia wajib lapor ke kamu, ya?
<send>
Bukan begitu, Sai. Mbok Darmi cuman care aja sama kita berdua. Sepertinya dia ingin sekali melihat kita berhasil. Jangan sewot dong, Cantik.
Mas Didit
Ya sudah. Aku malas membahasnya sekarang. Cerita aja soal kerjaan kamu. Gimana tadi presentasinya? Sampai kapan kamu di Jakarta?
<send>
Rencananya Minggu baru bisa pulang. Biasa, big boss mau entertain aku. Mm, Sai, sudah dulu ya? Aku mau istirahat dulu. Besok pagi2 sekali aku harus sampai di kantor. Selamat tidur, Saila… Mimpi indah, ya? Dream of me.
Mas Didit.
Met tidur juga.
<send>
*
Sekali lagi, Ibnu membuktikan bahwa dia adalah man with words. Dia memenuhi janjinya untuk ‘pergi’ dalam hidup Saila. Tidak ada SMS, tidak ada telepon, tidak ada lelaki yang dengan betah duduk menonton di depan teve sambil mengunyah kacang telur dan memijit punggung Saila yang pegal karena terlalu banyak duduk di kantor. Dan pastinya, tidak ada pelukan sayang dan genggaman jemari yang hangat, yang bisa membuat perasaannya rileks dan ingin bermanja-manja dengannya.
Jujur, Saila sangat merindukannya. Dan menginginkan Ibnu selalu ada di dekatnya, meskipun dia harus bersama dengan Mas Didit. Sungguh egois. Dia menempatkan keinginannya di atas segalanya. Tidak ingin kehilangan Mas Didit, lelaki yang mungkin saja akan menjadi ‘Pria Impiannya’, dan tetap merindukan kehadiran Ibnu, yang selalu bisa membuatnya tertawa dan awet muda.
Tapi, bukankah itu sudah menjadi sifat dasar manusia? Menginginkan segala sesuatu menjadi lebih indah, paling tidak untuknya sendiri?
Mas Didit memang lelaki ‘paling sempurna’ yang bisa membuatnya mengakhiri masa lajangnya selama 39 tahun. Lelaki tampan dengan kemampuan finansial jauh di atas rata-rata, serta berasal dari keturunan baik-baik. Apa lagi yang bisa diharapkan seorang wanita dari Mas Didit? Dia memiliki segalanya.
Tapi, aku nggak bisa membohongi perasaanku…
Beberapa minggu yang lalu, akhirnya, Mas Didit mengungkapkan perasaannya. Dia ingin serius dengan Saila dan mungkin akan segera melamarnya paling lambat tahun ini. Keluarga besar sudah setuju dan mereka senang karena akhirnya Didit-mereka sudah menemukan calon istri yang baik.
“Tapi kenapa kamu nggak kelihatan senang, sih, Sai?” tanya Monita saat tidak sengaja bertemu Saila di gym. Mereka duduk di kafetaria dan memesan dua jus tomat. “Harusnya kamu senang, dong, akhirnya bisa ketemu sama orang yang tepat…”
Saila hanya mengaduk-aduk jus tomatnya dan mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Belakangan ini, dia kehilangan minat untuk membicarakan soal itu, apalagi dengan Monita. Jujur saja, saat Mas Didit mengatakan kalimat yang seharusnya indah itu, dia malah ingin segera masuk ke kamar dan bermimpi soal Ibnu, yang paling tidak, masih bisa ditemuinya di dalam mimpi.
“Sai, laki-laki seperti Mas Didit itu jarang, lho… Dan kamu beruntung bisa dapat lelaki seperti dia…”
Kalau Ibnu bilang, dia yang beruntung mendapatkan perempuan seperti aku…
“Coba lihat dia baik-baik. Berapa banyak lelaki seperti dia di Surabaya? Yang sehari-hari naik mobil Jaguar, jadi presdir di perusahaan asing ternama, belum lagi penampilan fisiknya? Kalau boleh jujur, ya, Sai, Mas Gilang, sih, nggak ada apa-apanya dibandingkan dia! Betul, nggak?” Monita terus ‘cerewet’ seperti germo menawarkan ‘anak-anaknya’.
“Sai, kamu dengar, nggak, sih? Kok kamu nggak komentar apa-apa, Sai?”
Komentar seperti apa yang ingin kamu dengar, Monita Hutabarat? Kalau aku malas mendengar sisi baik Mas Didit? Dan kalau aku sebetulnya ingin bilang sama kamu kalau aku “tidak bahagia” bersama Mas-Didit-mu itu?
“Sai, kamu kenapa? Ada yang salah, ya, sama ucapanku barusan?”
Saila menggeleng. “Mm, Mon, aku mau lari di treadmill dulu, ya? Kamu mau ikut, atau…” Dia memutuskan untuk mengalihkan perhatian.
“Aku pulang aja, deh, Sai. Anak-anakku sudah nangis minta diajak jalan ke mal…” Monita mengakhirinya dengan kecupan di pipi kiri Saila dan meninggalkan Monita sendiri di kafetaria. “Kamu kenapa, sih, Sai…” Monita berbisik lirih sambil melihat sahabatnya berjalan ke ruang alat tanpa berkata sedikitpun.
bersambung…