God, I feel like hell tonight
Tears of rage I cannot fight
I’d be the last to help you understand
Are you strong enough to be my man?
Damn you PMS. Yang bikin saya bete surete semelekete. Lalu makin nyeracau nggak karuan. Lalu mulai marah-marah ke kamu, Pacar saya yang clueless. Dengan aksi sok mellow yellow saya bilang ini semua karena kamu, karena kata-katamu yang menyakitkan *padahal sih.. C’mon… nyakitin dari mana sih, Buuu???* Lalu akhirnya nangis-nangis darah, sesenggukan sendiri *Kamu memang nggak mau ikutan, kamu selalu bilang, “Eike kan lekong bow…” hehe* dan mulai pointing fingers… Ah ini bener-bener nggak penting… Ini bener-bener menguras energi dan saya seperti jadi sosok Bitchy Girlfriend yang bisa-bisa membuat kamukepikiran untuk ninggalin saya… Uuuhh… Are you strong enough to stay around, Pacar?
Nothing’s true and nothing’s right
So let me be alone tonight
Cause you can’t change the way I am
Are you strong enough to be my man?
Saya mengalami kesulitan yang luar biasa kalau harus menjelaskan sama kamu bahwa ada sesuatu yang aneh dari kata-katanya yang bikin saya ‘berdarah-darah’. Seperti barusan ketika saya mendadak diam, males diajak ngobrol *padahal kamu sedang punya waktu yang cukup luang buat pacaran dan FYI, ini jarang sekali terjadi*, males membalas kecupan virtual kamu, males merespon kata-kata cinta kamu, rasa kangen kamu… Semuanya. Tiba-tiba angot dan bikin kamu bertanya-tanya. Apa salah aku, Sweety? I DON’T KNOW!
Saya nggak ngerti sebelah mananya kamu yang salah, kalimat apa yang bikin saya ngamuk, perbuatan kamu yang mana yang someday nggak boleh terulang lagi in order to avoid this thing to happen again… Ah… Saya nggak tahu, Pacar. Would you please, for a change, leave me alone? Cuman sekali ini saja… Cuman saat ini saja, sampai saya menemukan seorang saya yang dulu… Karena kamu nggak akan pernah bisa mengubah saya, Pacar… Are you strong enough to deal with the fact that I need some times to discover what’s really inside my head… (karena saya nggak ingin marah-marah terus sama kamu…)?
I have a face I cannot show
I make the rules up as I go
It’s try and love me if you can
Are you strong enough to be my man?
Saya emang moody. Apalagi saat PMS begini. Kadang saya pingin sendiri saja daripada melukai kamu. Percaya deh, saya orang yang cukup sadis ketika PMS tiba-tiba. Seperti membangunkan macan tidur *eh, lagian kurang kerjaan banget pake acara membangunkan macan tidur segala… Emang mau ngajak itu macan jalan-jalan ke mal gitu? shopping-shopping gitu? iiihhh…* Menurut rumor, macan yang bangun secara terpaksa, ngamuknya hebat banget lho. Sampai bisa gigit orang *sumber: tidakbisadipercaya.com* Dan itulah saya ketika sedang PMS. Ngamuk-ngamuk bawaannya.
Karena sulit banget memakai sejuta alasan yang cukup logis, saya hanya bisa ngasih excuses demi excuses. Dan saya tahu banget ini alasan yang ‘nggak banget’. C’mon…. kalau saya lagi ‘sadar’ dan ‘waras’, hal-hal begini ini akan jauh dari logika… Cuman sayangnya, belakangan saya sedang nggak ‘sadar’… Saya sedang nggak ‘waras’… I just cannot help it to do that… Pacar, are you strong enough to handle my moody feelings, my annoying attitudes, and try to love me?
When I’ve shown you that I just don’t care
When I’m throwing punches in the air
When I’m broken down and I can’t stand
Will you be strong enough to be my man?
Mmmmm… Saya harus minta maaf sama kamu karena belakangan sudah bersikap seolah-olah saya nggak butuh kamu. Berteriak-teriak, asking you to leave me alone in my confusing hours, padahal kamu, magically, selalu dengan tenangnya merangkul saya dan membiarkan amarah itu meledak-ledak. Waktu saya ingin memukul dada kamu ketika mendadak saya cemburu buta karena seorang perempuan yang diam-diam naksir kamu. Waktu saya meragukan seberapa dalam cinta kamu buat saya…
Ketika sedang emosi jiwa… ketika menangis tersedu adalah jalan satu-satunya… ketika saya ingin sendiri dan membiarkan waktu mengunyah kegelisahan saya…. Please tell me, Pacar. Are you strong enough to hold me, the fragile me, and keep on doing that for the rest of your life?
Lie to me
I promise I’ll believe
Lie to me
But please don’t leave
Bisakah, Pacar? Bisakah kamu tahan dengan segala kebawelan saya? Segala mood yang up and down seperti jet coaster ini? Tidak seperti Merry Go Round yang penuh musik dan kerlap kerlip lampu? Tidak seperti Ferris Wheel yang dengan tenang naik turun ke atas bawah dengan irama perlahan? Tapi roller coaster… yang bergerak secepat kilat dan nyeruduk sana nyeruduk sini, doyong kanan, doyong kiri, dan bikin f**ked up?
Ah…. say it, Pacar…. a little bit of lie… that’s so damn OK with me… As long as you’ll stay… As long as you don’t go away…
So, for the very last time… Saya akan nanya sama kamu, Pacar.
Are you STRONG ENOUGH to be my Man???
….dan semoga jawabnya… IYA.
*Ah, PMS bikin mood saya nggak asyik nih.. payah euuyyy….*
*Lirik di atas adalah lirik lagu Strong Enough-nya Sheryl Crow. Sumpah, enak banget lagunya…*
Ini masih ceceran cerita-cerita yang tertinggal dari Festival Yosakoi kemarin. Masih tentang teman-teman ‘kecil’ saya, masih tentang curhatan mereka tentang urusan hati, sekolah, masa depan, dll dsb. Ah, tersanjung sekali saya setiap kali ada yang mengajak saya untuk bicara dari hati ke hati. Curhat soal hatinya yang sedang meradang dan bertanya what to do, what to do. Bercerita tentang pilihan masa depan yang masih kabur dan bertanya what to do itu lagi. As a sister, I was just trying to help… Mungkin tidak membantu, tapi menyediakan telinga untuk mendengarkan keluh kesah mereka, menyediakan bahu untuk menopang segala kesedihan mereka, dan ya, berkomentar, memberikan pendapat, mengeluarkan apa yang ada di isi kepala, dengan harapan it would help them get through their problems.
Nah, cerita ini saya ‘culik’ dari kisah To-San. Ya, si cowok yang tadinya nggak bisa nari tapi akhirnya mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah berprinsip tidak mau menyerah itu (seperti posting ini). Sebuah kisah sederhana, sebetulnya. Yaitu cerita tentang persahabatan dan gadis cantik yang hadir di antara mereka. Dan FYI, ketiganya adalah ‘teman-teman kecil’ saya.
To-San dan An-San. Mereka bersahabat sejak SMU sampai hari ini. Keduanya sama-sama ganteng.. yaa… good looking lah. Bukan tipe laki-laki yang doyan becanda, ganteng, tapi ‘kosong’, karena mereka berdua adalah tipe anak muda yang know what they’re doing dan pastinya… sopan.
Persahabatan mereka diuji ketika hadir seorang perempuan cantik, Pipi-Chan, yang kemudian membuat kedua sahabat itu jatuh hati. Sederhana saja ceritanya. Pipi-Chan jatuh hati dengan salah satu dari mereka, An-San, dan ini membuat To-San sakit hati.
Saya sendiri sempat *dan seringkali* melihat kemarahan di mata To-San. Ah, memang siapa yang tidak marah? Terlebih, To-San merasa dia telah lebih dulu melakukan pendekatan dan dia merasa ‘lebih berhak’ (…meskipun akhirnya dia merevisi semua pikiran itu sambil tertawa-tawa konyol ^_^ )
Beberapa kali saya melihat api emosi terletup di matanya. Wajah yang banyak senyum itu seolah kehilangan cahayanya. Berkali-kali pula saya memandang dia dari kejauhan, yaa… just to make sure that he’s alrite. Bagaimanapun, To-San sudah seperti adik saya sendiri. Dan kami juga kemana-mana selalu berdua *ya, karena saya numpang dia mulu.. hehe…* Jadi saya seperti merasa ‘berkewajiban’ untuk mengetahui apa yang sedang bergumul di hati adik saya itu. Hm, ini bukan karena saya ingin menjadi Super Hero or something like that, tapi lebih karena rasa khawatir seorang Kakak terhadap Adiknya.
Sayangnya, setiap saya ingin tanya atau dia sedang ingin curhat, selalu saja waktu yang membuat kami tak bisa melakukannya. Nggak pernah ada waktu yang tepat. Entah dia atau saya yang sibuk. Tapi bukan berarti lantas saya tidak memperhatikan Adik saya itu, karena pada saat beberapa kali latihan menjelang hari H, saya cukup ‘terpesona’ dengan sikap To-San yang biasa-biasa saja menanggapi kemesraan Pipi-Chan dan An-San. Setelah berkali-kali saya melihat wajah To-San yang ‘nggak banget’ setiap meredam marahnya, lalu kemudian melihat wajahnya sumringah dan ikut menggoda-goda sahabat dan kekasih sahabatnya itu… Aw… saya seperti mimpi…
Dalam perjalanan pulang, dengan seekor Gajah bernama Lala di boncengan motornya π , mengalirlah cerita soal sumringah di wajah Adik saya itu.
“Kenapa, Lala-San? Kamu kaget ya?”
Ya jelas lah, saya kaget… Perubahan ini sangatlah drastis, bombastis, dan unpredictable. Bagaimana mungkin dalam waktu tidak lebih dari 2 minggu semuanya bisa berubah? Apalagi ini urusan hati. Apalagi ini urusan cinta. Dua minggu dan segalanya berubah? C’mon…
Ini memang terkesan sinis, tapi sebenarnya saya kagum sama dia.
“Gimana ceritanya, To-San?” Bawel saya kumat.com
Lalu dia bercerita panjang lebar soal perasaannya, soal kesedihannya, soal rasa marahnya, dan upaya untuk berdamai dengan hatinya sendiri.
“Siapa yang nggak ngamuk Lala-San? Nggak kecewa? Kita udah yang suka banget sama seseorang, tapi orang itu milih cowok lain… Dan parahnya, itu sahabatku sendiri! Apa nggak pusing aku…”
…hmmm… pusing.. I know… Pernah juga, soalnya… π
“Aku emang nggak pernah cerita sama An-San, dia nggak ngerti sama sekali kalau aku suka sama Pipi. Aku ngedeketin Pipi diam-diam, rasanya nggak perlu lah An-San tahu… Malu kan… Dan pastinya, begitu tahu kalau An-San juga suka dan Pipi lebih milih dia.. Uh, ancur, Lala-San. Sedih banget aku…”
Saat itu, To-San merasa sangat marah dengan keadaan. Kenapa harus An-San yang suka? Kenapa bukan orang lain, siapa saja asalkan bukan sahabatnya sendiri? Kenapa dia nggak pernah cerita pada sahabatnya kalau dia pedekate dengan Pipi sehingga bisa meminimalisasi kemungkinan bahwa An-San juga melakukan hal yang sama? Dan kenapa Pipi memilih An-San? Bukan dia.. Bukan To-San yang sudah berbulan-bulan melakukan pendekatan tapi Pipi-Chan tidak menyadarinya…
“Aku marah banget sama mereka, Lala-San. Tau nggak sih, kadang-kadang pengen aku maki-maki mereka berdua, nggak usah deh sok mesra-mesra di depanku…”
Tapi To-San tidak melakukannya. Meskipun dia sangat marah dengan kondisi ini, dia mencoba untuk menahan segala amarah yang akan menggiringnya ke permasalahan yang lebih rumit. Dia marah dengan dirinya sendiri, mengibarkan bendera perang pada hatinya sendiri, dan menyimpan segala gundahnya sendiri. Pada saya, ‘Kakak’nya, sebenarnya ingin sekali dia cerita. Tapi karena waktu yang tak pernah cukup dan situasi yang tidak memungkinkan, dia harus berperang sendiri… *ah, nyesel banget saya waktu dia cerita ini…*
“Sampai akhirnya aku sadar, Lala-San, mau bagaimanapun juga, aku nggak bisa menghalangi mereka untuk jatuh cinta, kan? An-San minta maaf sama aku karena akhirnya dia tahu aku juga suka sama Pipi, malah dia berniat untuk mundur segala. Aduh, aku nggak bisa, Lala-San. Dia itu sahabatku… Kalau sampai dia mundur padahal dia cinta sekali sama Pipi, berarti aku membuat sahabatku sedih, dong… Dan ini aku nggak mau…”
Lalu To-San mencoba menelaah hatinya lagi. Mencari tahu, apa sih yang sebenarnya dia cari? Apa yang membuatnya sakit hati? Apa yang sebenarnya paling esensi: ‘Memenangkan Pertarungan’ atau ‘Membiarkan Sahabatnya Bahagia’?
…karena yang saya tahu… Melihat wajah sahabat-sahabat dipenuhi dengan senyum manis dan bintang-bintang di matanya… Melihat mereka tertawa… Melihat mereka senang… Riang… Minus segala sedih dan sakit hati, apalagi air mata… Itu adalah kebahagiaan saya, sebagai sahabat mereka…
“Aku memilih untuk berdamai dengan hatiku sendiri, Lala-San. An-San adalah sahabatku, dan Pipi? Hmmm, dia juga teman cerita yang seru… Aku nggak mau kehilangan mereka hanya karena aku emosi… Dan lebih-lebih, kalau aku marah, memangnya apa yang berubah?”
“…selain suasana bakal menjadi lebih kacau, ya?” Saya nyeletuk aja.
“Iya… Pasti bakal lebih kacau lagi, Lala-San. Dan aku nggak mau itu terjadi. Mendingan aku yang mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri daripada mengorbankan orang-orang yang aku sayangi…”
To-San mencoba untuk tulus dan ikhlas. Apa lagi yang bisa dilakukan olehnya kecuali dua hal itu? Dia tidak ingin marah, dia tidak mau segalanya menjadi lebih kacau dan berantakan, dia juga tidak mau memaksa semua orang harus melakukan apa yang ada di isi kepalanya… Dia hanya bisa berdamai.. Bisa ikhlas… Bisa tulus…
Dan ya, berat. Dan ya, tidak mudah. Tapi tidak, ternyata jika kita melakukannya karena cinta, karena rasa sayang kita terhadap orang tersebut, semuanya menjadi lebih mudah…
“From Tulus to Mulus,” kata saya akhirnya. “Kalau kita melakukan semuanya dengan tulus dan ikhlas, semuanya akan berjalan sangat mulus seperti ini ya, To-San…”
“Ya, Lala-San,” sahutnya, “Setelah aku mencoba untuk tulus, ternyata apa yang terjadi? Semua jadi mulus sekali… Aku sudah nggak marah sama mereka… Aku malah menikmati semuanya dengan tertawa-tawa… Mereka berdua emang lucu banget, Lala-San… Eman (sayang) kalau aku nggak ikut godain mereka… Dan aku bahagia ngeliat An-San bahagia…”
Kalimat terakhir itu seperti menjadi ending yang sangat sempurna untuk kisah cinta segitiga ini. Menjadi kalimat yang selalu terngiang di kepala setiap melihat keakraban mereka bertiga. Sungguh, kalian akan merasa bangga sekali pada To-San yang bisa menempatkan prioritas dalam hidupnya dan mencoba untuk menerima kenyataan bahwa tidak selamanya segala hal itu manis dan legit saja, juga tidak selamanya semua skenario sesuai dengan isi kepalanya.
Bukankah hidup berjalan tanpa kompromi? Tak perlu persetujuan kita kan?
Sudah waktunya kita untuk terus menjaga ketulusan hati.. Mencoba untuk ikhlas… Sehingga semuanya menjadi jauh lebih mulus…
Ah, To-San.. Saya dapat ilmu baru lagi dari kamu, nih! Makasih banyak yah…