archives

Archive for

-15- Lelaki Dua Puluh

“Sepertinya kamu harus berhenti berharap kita bisa menikah…”

Ibnu menatapnya sambil berkata, “Kenapa? Waktu terakhir kita melihat bintang malam itu, Mbak Saila bilang kalau ingin menjalaninya seperti air, kan? Terus, kenapa sekarang begini, sih, Mbak? Kenapa tiba-tiba Mbak menyuruh aku berhenti punya harapan?” Lelaki muda itu terlihat putus asa. “Mbak… Atau Mbak Saila sudah ketemu sama laki-laki lain…”

“Namanya Didit, Nu,” tukas Saila, mencoba untuk setegar mungkin. “Dia teman baik suaminya Monita yang baru pulang dari luar negeri.”

Ibnu masih memandangnya tak percaya, seperti mencari ‘kebohongan’ yang bisa tertangkap lewat kegugupan dari pandangan mata Saila, tapi kemudian dia menyerah, karena mata cantik itu malah menitikkan air mata.

Tanpa berpikir, Ibnu langsung memeluk tubuh Saila dan menyimpan tubuh yang bergetar itu dengan satu pelukan yang kuat. Saila menumpahkan air matanya di sana dan membiarkan Ibnu mengelus rambutnya.

“Nu, aku… aku… minta maaf…”

Lelaki itu tak berkomentar, dia hanya memeluk Saila dan merasa jantungnya seperti berdetak lebih kencang.

“Aku tahu, dari awal, harusnya aku nggak membuatmu berharap terlalu tinggi… dan membiarkan kamu larut dengan mimpi-mimpimu, Nu. Kamu masih sangat muda, Nu, masih banyak perempuan seumuran, bahkan lebih muda, yang bisa menjadi pasangan hidup kamu, Nu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kalau semua yang kulakukan ini demi kebaikanmu sendiri…”

“Bukan kebaikan Mbak Saila?” potong Ibnu. “Mbak, semua ini bukan tentang aku, kan? Tapi ini semua tentang ketakutan-ketakutan Mbak Saila untuk terluka lagi, untuk dikhianati lagi, untuk ditinggalkan lagi, lalu berlari dari kenyataan kalau Mbak Saila itu sebenarnya hanya ingin mencari posisi yang aman saja?”

“IBNU! Kamu keterlaluan…” Mata Saila memerah. Seperti telinganya yang mendengar kenyataan hidupnya seperti terceritakan dengan runut oleh lelaki terbaik di dalam hidupnya itu.

“Mbak, aku akan pergi,” timpal Ibnu, “Tapi ada satu pertanyaan terakhir sebelum aku pergi.”

Saila menunduk, tak berani mengangkat wajahnya dan melihat kesedihan di wajah Ibnu. Lelaki itu mengangkat wajahnya dengan ujung jari-jari kanannya.

Is this what you really, really, want?” Usai bertanya, Ibnu menghela napasnya dengan berat dan menghapus air mata yang mengambang sedikit di kedua matanya, kemudian pergi meninggalkan Saila yang segera berlari ke kamarnya dan menangis hebat di sana.

Ibnu berjalan meninggalkan rumah, mencari taksi untuk membawanya kembali ke tempat kosnya. Hatinya pedih, perih, dan sungguh, bukan ini yang terbayang di wajahnya ketika berencana untuk datang mendadak ke rumah Saila.

Sebetulnya, dia datang ke rumah ini, membawa kabar bahagia, karena kemungkinan, Bapak dan Ibu merestui hubungan mereka berdua. Orang tua Ibnu memang bukan orang Jawa kolot yang sangat mengagung-agungkan hirarki, mereka hanya orang tua yang menganggap apapun pilihan anak mereka, tugas mereka sebagai orang tua hanyalah memberi nasehat, bukan pembuat keputusan.

Seandainya Saila tahu, sebetulnya, tujuan Ibnu kemari adalah untuk bilang, “Aku cinta kamu, Sayang. Kamu mau menunggu sampai aku lulus tahun depan?” Dan sayangnya, pujaan hatinya itu telah mengambil keputusannya.

bersambung…

 

Catatan Harian

July 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

Celotehan Lala Purwono