archives

Archive for

we are special…

Pernah mempertanyakan how special you are?

Atau bertanya-tanya apalah arti seorang Kamu di mata orang lain?

Hmmm… kemarin sore, terlontarlah kalimat itu dari mulut Adik saya, si MomoChan itu, masih lanjutan dari curhatan di bawah pohon yang rindang ala Autumn in New York. Si Ceria yang cantik itu bertanya pada saya dan PipiChan dengan mata yang membasah.

“Dia itu sempurna, Cutie… Dia punya segalanya… Sedangkan aku? Aku ini apa sih?”

“Kamu adalah perempuan yang cantik, lucu banget, pintar, teman yang menyenangkan… apalagi?? Hmm… kamu itu something, MomoChan.”

Saya tahu, yang dia maksud mungkin adalah bentuk fisik yang kurang sempurna. Dia memang tidak langsing atau sekurus ‘saingannya’ itu. Dari segi ekonomi, aaahh… si Saingan tampak memiliki segalanya. Kalau cantik, I really have to say, adik saya dong yang lebih cantik.. ^_^

Dari situlah saya sadar, ini adalah masalah rasa percaya diri saja. Minus kepercayaan diri membuat kita merasa tidak spesial di mata orang lain, membuat kita meragukan apa arti eksistensi kita di hadapan manusia-manusia yang lain.

…ini pernah terjadi sama saya dan berkali-kali saya musti diingetin oleh dia bahwa saya ini perempuan yang spesial… it’s not always about beautiful apprearance, because sometimes, there’s something under the surface that unbelieably amazing. Dan memang, butuh usaha yang keras untuk mengetahui bahwa that something itu ada di dalam diri kita…

“Ah Momo.. aku nggak akan bosan-bosan untuk bilang bahwa kita semua adalah makhluk-makhluk Tuhan yang diciptakan olehNya dengan SENGAJA, bukan karena sistem yang error terus kita adalah produk yang gagal… Kita adalah manusia yang sempurna untuk skenario yang Dia ciptakan. Tidak ada lakon utama yang paling tepat kecuali kita…”

..mulai sok berfilosofislah saya… :mrgreen: Kalau bukan karena dia, Pacar Saya, mungkin saya masih terperangkap dengan imaji ‘ketidakspesial-an’ saya.

Tiba-tiba, si Pipi Chan nyeletuk begini dan bikin saya terkagum-kagum karenanya, “Momo, keistimewaan dan kebaikan seseorang itu nggak akan bisa dilihat sama orang itu sendiri… Kamu tahu, kebaikan itu ada di punggung masing-masing orang. Kita nggak akan pernah tahu betapa baiknya kita, betapa istimewanya kita, karena dia ada di punggung, di belakang kita…. Siapa yang bisa tahu? Ya pastinya… orang-orang lain…”

Sampai di situ, saya tersenyum dengan kata-kata Pipi yang hebat itu. Bahwa memang benar, setiap manusia tidak akan pernah bisa menyadari betapa istimewanya mereka kecuali setelah orang lain mengatakan kekagumannya. Saya, tidak berani merasa spesial sampai ketika seorang kekasih mengatakannya. Saya, juga tidak merasa berbakat, sampai seorang Blogger, OM NH tersayang, menuliskan satu blog review, khusus tentang saya ini  🙂 Sampai seorang Bang Hery Azwan memperkenalkan saya pada seorang editor yang lumayan bawel… ^_^

Ah…

Benar.. Memang sangatlah benar.

Kamu tidak akan tahu seberapa berartinya seorang Kamu di mata orang lain. Betapa pentingnya arti kehadiran kamu di hati orang lain. Dan saya jamin, kamu pasti akan terkejut, kalau seseorang yang kamu anggap biasa-biasa saja itu… ternyata memiliki makna yang luar biasa untuk orang lain.

Seperti Momo-Chan yang tanpa kehadirannya bikin latihan tari menjadi super sepi…

Seperti Pipi-Chan yang gaya latahnya suka ngangenin…

Seperti Mbem-Chan yang suka bergosip dan tanpa dia, kami semua jadi kehilangan bahan gosipan.. :mrgreen:

Dan mungkin seperti saya, yang bolak balik di SMS ketiga manusia itu kalau mereka butuh teman buat cerita-cerita….

Hmmm…

Kita semua… Kamu, saya, mereka….. adalah manusia-manusia yang sangat spesial. Please keep that in mind, will ya…. 😀

we just…. fell

Sore kemarin, ‘adik’ saya uring-uringan. Wajahnya yang bulat dengan kedua bola mata cantik yang diteduhi bulu mata yang lentik itu terlihat ‘menderita’ sekali. Selagi latihan tari Yosakoi untuk tanggal 5 ini, dia terlihat malas-malasan. Hey, ini nggak biasanya! Ada apa ya, dengan si Ceria yang doyan bercanda itu?

Segeralah saya ‘seret’ dia ke tempat yang lebih sepi. Ini terpaksa saya lakukan karena dia mulai mengomel-ngomel dan berkali-kali bilang, “Udah, ah.. Aku pulang aja… Males banget… Sakit hati…” Diikuti oleh Pipi-Chan, teman dekat saya satu lagi, saya mencoba untuk mencari tahu apa yang membuat si Ceria ini kehilangan semangatnya itu.

Di bawah naungan pohon yang rindang banget *ah, jadi terbayang Autumn in New York.. minus salju dan orang seganteng Richard Gere.. hehe* saya, Si Ceria MomoChan, dan PipiChan mulai heart to heart.

“Kamu kenapa, Dek?” tanya saya yang duduk di sebelahnya. Wajahnya masih kusut.

“Aaaahhh… Cutie *ini sebutan dia buat saya… dan FYI, saya yang maksa dia buat manggil seperti itu! hehe…*, kamu tahulah kenapa…”

Dia berkata sambil melirik ke sepasang manusia yang sedang duduk bersebelahan beberapa meter dari sini. Kedua orang itu nampak asyik bercerita. Ini terlihat dari wajah mereka yang sumringah dan senyum serta tawa yang sering mampir di sana. Ah, I know… Si Ceria sedang patah hati rupanya… Karena salah satu dari manusia-manusia sumringah tadi itu…. pujaan hatinya.

“Aku nggak tahu kenapa aku begini, Cutie… Aku ngerasa serba salah…”

Ya. Momo-Chan merasa sangat serba salah dengan kondisinya yang sekarang. Pertama, dia tidak melakukan apa-apa untuk mengejar si Lelaki Pujaan Hati. Dan kedua, dia malah mengunyah sakit hatinya ini dengan perlahan sehingga rasanya begitu luar biasa. Mungkin bisa dibilang, dia berharap pada keajaiban… Dan masalahnya, dia tahu bahwa keajaiban itu bukan hal yang sering terjadi…

“Kenapa kamu nggak berusaha, sih, Momo-Chan?” Pipi-chan hanya berdiri di depan kami berdua, menikmati saja setiap percakapan kami. Hm, mungkin dia menunggu waktu yang tepat untuk fill in.

“Karena aku takut, Cutie…” jawab si Momo dengan nada yang mellow surellow.

“Takut? Takut apa?”

Si Momo diam sejenak. Dia mengatur nafasnya. Air matanya mulai membuat kabur pandangannya. Ya. Adik saya itu, mulai menangis pelan.

“Aku takut jatuh cinta, Cutie… Aku takut aku malah sakit hati, malah nangis-nangis lagi… Aku sudah tahu gimana nggak enaknya patah hati… Aku nggak mau begitu lagi, Cutie.. Makanya aku lebih memilih untuk nggak jatuh cinta sama dia… dan melupakan, bahwa aku sayang sekali sama dia…”

Saya mengelus bahunya. “Kamu tahu, MomoChan, mau usaha kayak apa juga, kalau kamu masih sayang dengan seseorang, you just can’t help it to stop doing it. Perasaan yang masih ada di dalam hati, tidak akan pernah bisa pergi begitu saja. It takes time. Menurut aku, buat apa kamu malah pura-pura lupa kalau dia masih ada? Dan pura-pura melupakan seseorang itu membutuhkan energi yang luar biasa lho… Jadi kalau sama-sama butuh energi, kenapa tidak dinikmati saja?”

Momo masih menangis.

“Jatuh cinta itu seperti belajar naik sepeda, Momo-chan. Masih ingat dong, waktu pertama kali kamu belajar naik sepeda? Aku yakiiiinnn banget waktu itu berkali-kali kamu musti jatuh, luka-luka, nangis-nangis kesakitan karenanya… tapi hasilnya? Hmm… kamu bisa naik sepeda kan? Dengan mulus pula.”

Momo-chan menunduk. Pipi-chan berdiri di sebelahnya dan mengelus punggungnya dengan sayang.

“Aku nggak yakin dulu kamu bisa naik sepeda minus luka-luka… Aku aja banyak banget bekas lukanya,” kata saya sambil menunjuk beberapa bekas luka karena masa lalu. Belajar naik sepeda dengan Papi sampai nyeruduk tong sampah segala.. 😀 “Jatuh cinta itu sama saja seperti naik sepeda. Berkali-kali kita akan melewati the hardest moments, masa-masa kita nangis-nangis darah, masa-masa kita kehilangan seseorang... Tapi kamu tahu, Momo-Chan? Dengan begitu, kita bisa menghargai setiap sentuhan dengan pasangan, setiap kecupan yang diberikan pasangan, bersyukur bahwa kita bisa merasakan kangen… merasa deg-degan tiap berdekatan dengan orang yang kita sayangi… Kalau tanpa merasakan sakit itu, kita nggak pernah tahu kalau cinta itu indah, kan?”

Si Ceria itu mengangkat kepalanya. Wajahnya masih sedih, tapi ya, sedikit berkurang. Mungkin dia sedang berjuang untuk memantapkan dirinya kalau patah hati adalah hal yang tak bisa terelakkan. Dan patah hati, bikin kita semakin tough.

…sama seperti saya, yang makin ke sini makin cuek aja dengan patah hati.. *walopun tetep ngamuk-ngamuk, misuh-misuh, dan pergi ke dukun santet… hahahaha… yang terakhir, asli, sumpah, becanda, Sodara-Sodara!*

“Ah, Momo-Chan… namanya juga fall in love kan? Kita nggak pernah tahu kenapa kita bisa jatuh hati sama seseorang atau kenapa perasaan itu hilang. We just fell. Next is… our destiny.”

Dan di bawah naungan pohon yang rindang itu, saya, PipiChan, dan MomoChan terdiam. Sementara angin berhembus makin kencang… Sementara kedua pasang anak manusia itu menghilang dari pandangan…

…we’ll never know

Pagi ini saya duduk di depan laptop yang sudah terkoneksi dengan internet. Kemarin, saya sempat ngobrol dengan Om via GTalk dan dia nanya, “Kamu sudah baca page Who Am I nya Emiko belum, La?” Segeralah saya bilang belum. Selama ini, jujur saja, saya paling nggak ngeh dengan bagian atas website *yang sebelahan sama Home, About, dll dsbnya itu.. meskipun sendirinya juga nulis beberapa page.. ini sih udah selfish kali yaa… 😦 *

Eniwei, setelah saya bilang, “Belum baca, tuh, Om… Kenapa?”

Lalu dia menganjurkan saya untuk membacanya. Kata dia, ceritanya bagus. Menyentuh sekali.

…ah, saya paling suka sama yang menyentuh-menyentuh *hehe* jadi langsung saja pagi ini, meluncur ke halaman yang dimaksud. Penasaran… how touchy is it… Is it really really wonderful… Dan penasaran, seperti apa sih, seorang Emi-Chan yang menurut saya Wonder Woman ini? ….ya, ini pastinya minus celana dalam dan bustier yang ketat itu ya EmiChan… Kebayang ga sih, kalau kamu mondar-mandir pakai kostum yang colorful begitu?? :mrgreen:

Nah… ketika saya ‘terdampar’ di halaman itu…..

….saya seperti enggan beranjak pergi dari sana 🙂

EmiChan, sahabat virtual saya itu berbicara sangat sistematis mengenai kronologis hidupnya. Tanpa ragu, dia menyebutkan nama lengkapnya, kenapa dinamakan begitu, dan yaa… cerita-cerita hidupnya mulai dari TK sampai SMP *ayo, EmiChan.. segera selesaikan ceritanya biar saya nggak penasaran dan bisa bisulan kalo terus menerus penasaran beginih.. hehehe* Sebagai orang yang sedikit tahu soal EmiChan, The Wonder Woman, saya benar-benar salut dengan seorang perempuan manis yang kini jadi orang hebat di Tokyo (hey, please let me give you this compliment… because that’s what you are in my eyes, EmiChan!). Kisah hidupnya yang ditulis dengan gaya bertutur yang cantik banget bikin emosi pembaca makin teraduk-aduk.

Ah, ada saingan baru nih… 😀

Eniwei,

Ada satu pelajaran yang saya ambil ketika membaca post sahabat virtual saya ini. Ada sebuah pelajaran yang sungguh saya petik ketika usai membaca cerita (yang masih bersambung) itu, bahwa kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari.

Apa yang akan terjadi ketika malam ini kita terlelap; bangunkah kita? Atau kita akan pergi?

Apa yang akan terjadi dengan sedetik ke depan? Are we going to fall atau kita akan melewatinya dengan mulus-mulus saja?

Apa yang kamu tahu soal masa depan: be a better person, be a rich one, be a lousy a**hole barangkali?

Apa kamu tahu: kalau kamu yang sekarang hebat, bisa jadi orang yang tak hebat?

Dan kamu yang sekarang tak bisa apa-apa, bisa jadi orang yang bisa melakukan apa saja dalam satu jentikan jari?

Seperti seorang EmiChan yang dulunya harus rela melepaskan apa yang ingin dia lakukan: mungkin dia tidak pernah menyangka bahwa dia akan membanting tulang di Tokyo dan menikah dengan lelaki Jepang yang terkenal dingin itu *dan itu bikin saya dan Abang Hery bertanya-tanya, “Lha, kenapa malah kawin sama orang Jepang dong.. hehehe”

Seperti seorang ‘mantan pengangguran’ Abangku Hery Azwan yang terdampar juga di sebuah penerbitan di Bandung dan akhirnya menjadi salah satu orang yang pergi ke Eropa secara gratis (karena dibayarin kantor itu…) dan ya.. makan lobster yang segitu mahalnya di hotel berbintang… ^_^

Dan seperti seorang Om Tersayang, NH 18, yang pastinya tidak akan menyangka bahwa Sarjana Pertanian seperti dia, yang memiliki musikalitas tinggi dan pandai berpiano itu, malah kesasar di dunia Training dan kini malah jadi Trainer yang hebat di kantor yang memberinya gaji tiap bulan itu…

SIAPA YANG TAHU?

Saya berani jamin, mereka sendiri tidak akan pernah menyangka bahwa kelak mereka akan menikmati hal-hal yang mungkin buat sebagian orang adalah mimpi-mimpi yang tak terjangkau? Mereka tidak tahu bahwa hidup telah menggiring mereka menuju hari ini; ketika hidup yang mereka miliki adalah mimpi buat seorang Lala yang sangat mengagumi mereka bertiga itu… 🙂

Akhirnya saya sadar, bahwa mungkin saja seorang Lala akan menjadi orang yang hebat, entah kapan. Bahwa mungkin saja, seorang Lala malah terpuruk karena kondisi yang tidak menguntungkan, entah kapan *amit-amit, jangan deh.. hehehe*

Lalu kemudian, saya makin menganggap bahwa hidup semakin mirip saja dengan sinetron kejar tayang. Destinasi atau final endnya sudah jelas, tapi jalan menuju akhirnya yang masih misterius. Saya hanya pelakon yang diberi naskah setiap harinya, untuk dipelajari. Dan ya, untuk dijalankan dengan sebaik-baiknya, dengan hati yang bersih, dengan iman yang teguh, dan niat yang kuat supaya episod kali ini minus teriakan cut dari Sutradara dan cemoohan penonton.

We’re just actors

God is the greatest movie director…

And God is the only one who knows all the secret ingredients to make our lives more beautiful…

And one thing for certain, please just believe, that we’re all created for some specific reasons.

Jangan menyerah….

Karena apa yang terbentang di depan kamu, juga saya, adalah hal-hal yang masih misterius, tapi pastinya sangat indah.

Apa yang terjadi esok?

Hmm…. let it be a secret…

Because we’ll never know…

we’ll never know…

(doumo arigatou, EmiChan!)

-14- Lelaki Dua Puluh

Siang itu, hari pertama Ibnu datang ke rumah dan wajahnya seperti tumpukan kangen yang tertahan. Senyumnya sangat lebar, pelukannya sangat hangat, dan Saila hampir tidak bisa bernafas ketika Ibnu tidak melepaskan pelukannya selama beberapa menit.

“IBNUUU… Mbakmu ini masih pingin hidup, lho…” Saila mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Dia memang sangat menikmati pelukan hangat itu, setelah sekian lama dia mencoba menjadi ‘wanita sesuai umur’ setiap ia bersama Mas Didit. Entahlah, setiap ia bersama Ibnu, sepertinya ia kembali menjadi ‘anak kecil yang menikmati permennya’.

“Sorry, Mbak, abis kangen sih…”

“Kangen, ya, kangen, Nu, tapi nggak usah sampai bikin aku sesak nafas, dong… Mm, minum, ya?”
Saila berjalan ke dapur dan mengambil satu kaleng minuman bersoda kesukaan Ibnu. Saat di dapur, dia melihat Mbok Darmi yang memandanginya dengan pandangan aneh.
Ah, terserah, deh, Mbok Darmi mau bilang apa… Melaporkan pada Monita? Atau bahkan langsung pada Mas Didit? Terserah saja. Aku lagi kangen, nih, sama Ibnu. Sekali-sekali, aku ingin menjadi diriku sendiri…

“Tadi langsung ke sini, Nu?”

“Iya, dong. Lihat aja, tuh, ranselnya masih penuh baju kotor semua. Titip cuci, dong….”
Saila tahu Ibnu hanya bercanda, meskipun seringkali Saila merasa kasihan dengan anak kost seperti dia. Tapi setiap dia merasa ingin membantu Ibnu membantu pekerjaan rumahnya, lelaki muda itu yang menolaknya dan berkata, “Aku bukan anak kecil, Mbak. Ibu Bapak sudah melepaskan aku ke Surabaya karena mereka tahu aku bisa hidup mandiri.”

“Nu, Ibu sama Bapak apa kabar, ya?” Dia jadi bertanya soal kedua orang tua Ibnu. Tiba-tiba saja hal itu terlintas dalam pikiran Saila.

“Kenapa, Mbak? Kok tiba-tiba nanya seperti itu, sih?” tanya Ibnu heran. Setelah setahun menjadi orang terdekat Saila, rasanya baru hari ini orang cantik itu bertanya soal orang tuanya.

“Ng… nggak ada apa-apa, aku hanya ingin tahu kabarnya saja, kok. Kamu, kan, nggak pernah cerita mereka seperti apa, kabar mereka bagaimana…”

“Baik, kok, Mbak. Waktu KKN kemarin aku sempat pulang ke Jogja. Sowan keluarga, kangen Bapak Ibu, dan… cerita soal Mbak Saila.”

Saila terkejut. “Kamu cerita soal aku, Nu?”

“Iya. Siapapun perempuan yang aku sayangi, pasti mereka tahu, kok, Mbak.”
Saila masih belum bisa melepas rasa terkejutnya. Bagaimana mungkin Ibnu bisa cerita soal dirinya ke orang tuanya? Mungkinkah dia menyelipkan kebohongan di sana sini supaya yang terkesan adalah Saila-yang-baik-baik-dan-pantas-untuk-anaknya? Saila terdiam dan membiarkan Ibnu melanjutkan ceritanya.

 “Aku cerita kalau Mbak Saila itu yang jadi pembimbing aku saat magang kemarin. Aku juga cerita kalau Mbak Saila itu nggak hanya cantik, tapi juga baik hati. Dan, pastinya,” kata Ibnu sambil memandangnya lembut, “Aku juga cerita kalau Mbak Saila sudah 39.”

Saila menelan ludahnya. Tiba-tiba dia merasa gerah dan gelisah.
Aku sudah siap kecewa kalau setelah ini kamu bilang Bapak Ibu nggak suka kamu dekat sama aku, Nu…

“Mereka…”

“….”

“… ingin ketemu Mbak Saila bulan depan.”

Kalimat terakhir itu seperti daging kenyal yang susah terkunyah sempurna di geliginya. Saila benar-benar tidak mempercayai pendengarannya, apalagi wajah Ibnu begitu cerah dan ceria saat mengatakannya.

“Ibnu…”

“Mbak, mereka ingin tahu lebih banyak soal Mbak Saila…”

“Tapi, Nu…”

“Dan apapun hasil penilaian mereka, Mbak masih ingat, kan, kalau aku pernah bilang nggak akan segan untuk mengajak Mbak Saila pergi? Dan aku akan selalu menyimpan janjiku, Mbak.”

“Tapi, Nu…”

“Mbak masih nggak percaya? Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan hidupku sendiri, Mbak. Tahun depan aku sudah dua satu, lulus kuliah, dan semoga perusahaan yang sekarang memenuhi janjinya untuk mengangkat aku jadi staf tetap.”

“Nu…”

“Mbak, aku sayang banget sama Mbak Saila… Aku nggak pernah main-main dengan kata-kataku, Mbak… Please, Mbak, dengarkan aku…”

“Ibnu,” potong Saila dengan mata perih menahan air mata. “Kamu yang harus mendengarkan aku.”
Ibnu menatapnya dengan pandangan heran. Air mata Saila seperti ingin segera turun dari kedua mata indahnya dan perasaan Ibnu mulai meraba kalau telah terjadi sesuatu.

“Kenapa, Mbak? Ada apa?”

“Nu…”

“Iya, Mbak…?”

“Aku….”

“…”

“Sepertinya kita harus berhenti sering bertemu seperti sekarang…”

bersambung…

Catatan Harian

July 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

Celotehan Lala Purwono