archives

Archive for

… a sealed lips

Pernah nggak… Dalam suatu kondisi, kamu pingiiinnnn sekali berteriak tapi mulutmu bisu?

Pernah nggak… Dalam suatu masa, kamu pingiiiinnn sekali marah tapi tak mampu?

Pernah nggak… Dalam suatu waktu, kamu pingiiiinnn sekali membocorkan segalanya tapi itu adalah rahasia?

Saya? Pernah…

Dan rupanya, teman saya ini juga sedang menghadapinya. Sekarang. At this very moment.

Dia curhat sama saya. “Lu tahu La, gua ngerasa serba salah…”

“Serba salah? Elu ngapain, emangnya? Bunuh orang?” tanya saya ngasal.

“Hus, gila kali lu. Mm, gini. Maksud gua tuh ini…”

Dan mengalirlah ceritanya tentang seorang sahabatnya yang sedang jatuh cinta. Banyak bercerita tentang seorang laki-laki yang dicintainya. Menangis sedih dan tertawa bahagia adalah dua formula utama dalam skenario cerita lepas tentang dia dan si Lelaki. She is in love… madly in love.

“Lalu? Apa salah lu, Sa?” Oh ya, temen saya itu, namanya Nissa. “Kenapa lu sampai ngerasa serba salah begitu…. Emang lu bunuh lelakinya itu?” Saya masih ngasal. Perut saya lagi keroncongan saat dia curhat. Asal tahu aja, percakapan ini berlangsung beberapa hari menjelang saya berangkat ke Jakarta. Just an ordinary lunch within breaking hour.

Nissa, teman saya itu, diam sebentar. Dia mengambil teh manis hangatnya dan meneguknya pelan. Matanya terlihat sendu. Ah, ada apa lagi sih ini…

“Hey, hey. Kenapa elu sendu begini sih? Emang ada apa, Say? Kenapa elu berasa salah banget sama temen lu ituh..”

Dalam beberapa detik yang diam itu, akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan semuanya.

“Jadi gua itu..”

Secretly, Nissa dan Lelaki Tercinta sahabatnya itu menjalin satu hubungan kekasih. They shared kisses… they shared jealousy… they spent time together.. but they decided not to tell the other one. Dengan alasan, “She’s in love with me, but I love you…” itu kata-kata indah Lelaki Tercinta yang kini terasa najis di telinga Nissa.

Kenapa najis?

“Karena lu tau nggak La? Di saat yang sama, ternyata Lelaki Tercinta itu ngomong hal yang sama persis di telinga sahabat gua! Gila nggak sih??? Gua sampai bingung mendeskripsikan perasaan gua sendiri. Gua pingin marah, tapi nggak bisa, karena gua sayang banget sama Lelaki Tercinta dan sampai hari ini gua belum denger penjelasan langsung dari mulutnya. Tapi kalau gua cerita sama sahabat gua… gila.. gua bisa gila, La. She’s my bestfriend.”

“Eh, Sa, justru karena elu sahabatnya, you better tell her… Karena apapun yang lu lakuin, mo cerita kek.. mo nggak cerita kek… Tetep aja, semua bakal nyakitin. Elu sakit, dia juga. So?”

“Haaahhh… tapi nggak semudah itu Lala…”

I know… gila aja kalau ini gua bilang mudah, Sa. Lu tau kan, gua pernah ada di posisi yang sama seperti elu sekarang?”

“Hm… sama si Bule itu ya?”

“Ya. Sama dia. Elu inget kan kalau dia juga jalan sama temen baik gua? Tapi bedanya, gua jadi sahabat elu, dan temen gua itu jadi elu. Dia yang tau, tapi nggak ngomong apa-apa. Sampai dia over jealous, nggak tahan, lalu memutuskan untuk ngomong blak-blakkan sama gua. Bayangin. Setelah tiga bulan gua jalan sama cowoknya, dia baru bilang kalau gua musti ninggalin itu cowok karena he’s hers.”

“Ya, ya, gua inget.”

So? Sama aja kan. Kenyataan bahwa gua nggak tahu kalau Bule itu pacaran sama temen gua itu nyakitin gua banget, Sa… lalu kenyataan bahwa gua pacaran sama pacarnya, bikin temen gua sakit hati. Sama aja, Sa. Sama banget.”

“Tapi gua nggak tahu gimana cara mulainya La… How… Gua takut bakal merusak apa yang sudah ada… She’s my best friend… Dia udah begitu baik sama gua, Lala…”

But what if she knows that you cheat her behind her back?”

“Dia pasti marah…”

And what if she knows that you know this all the time but never tell her anything?”

“….gua bisa dihajar kali.” Nissa tersenyum kecut.

So…? Don’t you think that you better throw it into the garbage can before it gets rotten and she could smell it?”

Nissa masih diam. Sepertinya dia berpikir. Perempuan seumuran saya ini masih nampak bingung. Seperti orang yang berdiri di persimpangan jalan tanpa tahu arah mana yang akan dituju. She’s in pain… She’s in the intersection and doesn’t know which way to go… Ah, dammit love… Somehow you just make everything complicated! 🙂

Siang itu, berakhir tanpa solusi. Kami berdua menyelesaikan makan siang beberapa menit berikutnya dan saya kembali masuk ke dalam taksi untuk membawa saya ke kantor. Nissa yang kantornya berbeda arah, menaiki taksi yang berbeda.

Dan sebelum kami naik ke taksi, tiba-tiba Nissa nyeletuk begini:

“Eh La… or should I just leave him and let him with my bestfriend?”

“…”

“… karena gua tau, sahabat gua lebih mencintai Lelaki itu daripada gua… Dan melihat pijaran bintang di mata sahabat gua ketika bercerita soal Lelaki itu membuat hati gua bergetar La…”

“…”

“…dan gua juga marah sama Lelaki itu… tapi kalau gua reveal the secret, bukannya gua akan malah menyakiti sahabat gua ya, La…”

There.

At the sunny day, where sun shone bright, inside the taxi that took her back to her office… She was silently crying….

…pacar? will you hear me out, please? (a late nite poem)

just a single kiss in the lips before saying good bye, then  you waved your farewell
and it was the juiciest lips ever touched mine,
and it was the most intimate hours ever spent.

even the stars stop twinkling high above…
they just loved to watch, to see me.. and you…
right under the moon light and far from the spot of any lights
when we looked at each other with hopes lie in our eyes,
when we held on each other with feelings of “I Don’t Wanna Let You Go”
then the wind blew our skins and delivered the chills… that made us holding much longer… longer.. and longer.

There, in our silences… you held my hands
I heard you saying… I love you
And you heard me saying all the same thing…
and when you walked by and left your foot prints in front of my door,
I knew, I didn’t want to see you leave….
I knew, a part of my heart said this, over and over again..
“Will he come back and collect all the pieces?”
and this..
“Will he hold my hands then say, sorry our time has come and there’s no longer a place for us in the nearest future”
….when we should let go all the crazy but beautiful feelings we have right now…
….when I just realize that your touch is more than just some crazy old intimacy, but it’s a need?
My need to have you around.
My need to have you close.
My need to have you, till I’ll lose all my senses…

so here..
here I am.
In the cold room with an empty heart.
After having myself torturing my own heart with the sharpest blade called reality,
I’m done with all my useless feelings which lately been hanging around my thoughts like damn parasites.
I’m done being the stupid and bitchy girlfriend that always yells but begs for mercy.

Because this night…
when I’m desperately missing you,
I know… you’re the best part of my life that I could never let go.

(love you, Pacar. I really do)

a pointed gun in the forehead (Jakarta’s Stories 5)

Hey, Human…

Don’t you ever think that you were created for free. And don’t you ever think that the next time you sleep at night, you’ll always wake up the next day and do your old routines. Because what? You really don’t have any clues what is going to be happened next… Will your days be just the same… or maybe this… a guy, points his gun in your forehead and makes you shiver…

Mungkin kalau Pak Satpam yang bekerja di kompleks perumahan Mbak Neph bisa ngomong dalam bahasa Inggris sekalian ngeblog, dia akan bilang begitu. Dia akan dengan gemetarnya mengetik posting tentang kejadian yang dia alami siang hari tadi, dengan hati yang masih deg-degan, lutut seperti lemas, dan kenangan-kenangan bersama istri dan dua anaknya muncul silih berganti di dalam isi kepalanya.

Tapi ya..

Karena Pak Satpam tadi lebih sibuk menelepon keluarganya, gemetaran menjelaskan rekonstruksi kejadian yang sangat cepat itu, dan minum air putih banyak-banyak, biarkan saya yang bercerita tentang peristiwa siang tadi. Sebuah perampokan yang gagal, persis dua rumah di depan rumah Mbak Neph.

It was just an ordinary holiday. Saya nonton TV di kamar, Mbak Ika sibuk menyiapkan barang-barang yang musti dibawa karena sebentar lagi kami akan pergi beramai-ramai ke rumahnya yang masih dalam proses pembangunan, di daerah Depok sana. Si Mbak Neph lagi ngobrol dengan Mamah dan Eyang Cantik-nya Mas Acha. Pokoknya, it was just that ordinary…

Sampai saat saya nyadar.. ini orang-orang pada kemana semua yaaa…. Kok saya ditinggalin gitu aja di kamar.. Apa udah berangkat??? Nekat amat saya ditinggal…. 🙂

Keluarlah saya ke depan. Ternyata di depan pagar sudah ada Mbak Neph, Mamah, Eyang Cantik-nya Mas Acha, dan beberapa tetangga Mbak Neph yang sibuk ngoceh, which back then, I didn’t know what it was.

Lalu saya lihat si Pak Satpam itu.

Gila. Lututnya bergetar… Benar-benar yang bergetar. Kalau saya sering menggunakan kalimat ini di novel-novel saya, baru kali ini saya melihat secara langsung bagaimana hebohnya bila sepasang kaki itu bergetar hebat. Ah, what happened?

Dari mulut sahabat masa kecil saya mengalirlah sebuah cerita tentang apa yang menyebabkan lutut Pak Satpam bergetar itu…

Peristiwanya terjadi menjelang pukul dua belas siang. Yang punya rumah mengabari Satpam kalau hari ini dia nitip rumahnya. Minta tolong dijagain. Satpam di kompleks perumahan Mbak Neph memang dikenal cekatan dan kerja ‘beneran’, sehingga mereka berkali-kali ngider ke tiap gang untuk mengawasi perumahan yang menjadi tanggung jawab mereka itu.

Sampai di rumah yang dimaksud, Pak Satpam melihat sesuatu yang mencurigakan. Kenapa ada mobil Avanza di depan rumah yang kosong itu ya? Pak Satpam mengira, “Ah, paling juga tamu rumah depannya yang kebetulan parkir di sana…” Tapi setelah diamat-amati lagi, kenapa mencurigakan sekali?

Akhirnya Pak Satpam berusaha mendekati mobil Avanza tersebut. Maksud hati, sih, ingin menanyakan apa keperluannya sekaligus bilang kalau yang punya rumah sedang tidak ada di tempat sehingga sebaiknya tidak menunggu.

Lalu jendela mobil itu terbuka. Bukan seperti yang dibayangkan oleh Pak Satpam bahwa orang tersebut akan berterimakasih, tapi yang muncul di depan matanya adalah pistol yang siap ditembakkan! Syukurlah refleks Pak Satpam sangat bagus, sehingga dia langsung menunduk dan memacu motornya cepat-cepat menuju posko; mencari bantuan.

Karena dia berteriak “Rampok… Rampok…” sepanjang jalan, akhirnya si gerombolan perampok di dalam mobil itu angkat kaki dari rumah sebelum berhasil mengambil apapun dari dalam rumah, meskipun dua dari lima orang gerombolan perampok itu sudah masuk ke dalam pagar (setelah mencongkel gembok) dan bersiap-siap merusak pintu ruang tamu…. 😦

Saat saya konfirmasi ulang ke Pak Satpam, kaki-kakinya masih bergetar. Bicaranya masih terbata-bata. Keringatnya, sumpah, banjir banget. Saya merasa aroma ketakutan masih tercium saat itu. Dia sangat ketakutan. Dan dia sangat wajar merasa ketakutan.

Can’t you imagine this picture: yourself, with a pointed gun in your forehead? Mimpi apa lu semalem??? Gila.. Ini benar-benar sinting… Saya nggak berani membayangkan bagaimana saya menghadapi hari-hari setelah peristiwa itu. It must be like hell…. just by remembering every single seconds of that moment… Saya bisa gila, mungkin. Saya bisa histeris, mungkin. Dan pastinya, saya bisa saja ketakutan untuk keluar dari rumah….

I have no clue how is he now. Apa dia masih ketakutan? Apa dia sudah bisa tidur? Bagaimana tidurnya, nyenyak kah? Dan bagaimana dengan imannya; apa sholatnya makin khusuk sejak peristiwa ini? Hell… saya nggak tahu sama sekali.

But I got this thinking.

Makin menyadari bahwa kita memang nggak pernah tahu kejadian apa yang menimpa kita, just a few seconds afterwards. Are we going to trip and fall? Apakah oksigen yang sedang kita hisap sekarang ini akan terhisap sempurna setelah detik ini berlalu? How about our hearts; is it going to stop beating?

So Human… Yes you, human.

Don’t be too proud of yourself. Don’t too proud about all of your belongings… Because it’s just a matter of time, that somehow, someway, someday, you’re going to lose everything you have… just in a click of destiny.

*And you, the bad guys outthere… are you outta your mind??? Are you thinking with the gifted brains that God has sent you? Or you are not human… Or I’m talking to animals here??? DAMMIT!*

kabur ke Bandung (Jakarta’s Stories 4)

Sesuai janji Mbak Neph sebelum saya berangkat ke Jakarta, minggu kemarin, akhirnya saya benar-benar berangkat ke Bandung… Ciiihhhuuuiiii…… At this very moment… saya nggak bisa cerita banyak…. Seperti lirik lagu favorit saya, If-nya Bread yang ini nih… If a picture paints a thousand word… jadi mendingan, liat-liat photo-photo ini aja yaah… *dan silahkan geleng-geleng kepala dengan nafsu kuliner saya yang nggak karuan ituh.. hehe*

Starbucks di KM 19

Agak terbengong-bengong sih ngeliat ada kedai kopi favorit saya di sisi jalan tol… Uuuhh…. menarik sekali sih… (walaupun ga beli juga karena di situ cuman isi bensin dan duit disayang-sayang buat beli baju di factory outlet ajah.. hehehe) Dan ya. Photo ini dipersembahkan khusus buat Abang… *soalnya pas lewat sini, yang kebayang cuman wajah si Abang.. hehehe…*

Starbucks

Starbucks

Dan sayapun sampai di Bandung…

Ternyata, Jakarta-Bandung memang hanya dua jam. Perjalanan ke Bandung ini cukup seru. Saya berangkat dengan Mbak Neph, Mas Yudi, dan Mas Yose. Mereka bertiga ‘kabur’ dari kantor demi memenuhi janji Mas Yudi yang bilang begini, “Eh, La… Kalau kamu beliin aku sambel udang bu Rudy, ntar aku anterin ke Bandung deh…” Dan karena saya emang bawa, jadi deh saya berangkat ke sana… Selama perjalanan kami cekakak cekikik.. sampai nggak terasa.. udah dua jam di dalam mobil dan kami sampai jugaaa…

Tol Pasteur

Tol Pasteur

Dari awal, Mbak Neph sudah ngiming-ngiming soal Mie Baso Akung yang super ueennnaakkk itu. Kata Mas Yudi, ini Mie paling enak se-Indonesia, Laaa…. Jadilah saya penasaran dan langsung meluncur ke sana sebagai jujugan wisata kuliner yang pertama… Apalagi Mas Yudi juga lagi laper-lapernya tuh. Daripada dia pingsan dan bikin repot satu mobil, mendingan diturutin aja deh.. 🙂

Mie Bakso Akung

Mie Bakso Akung

ceker oh ceker

ceker oh ceker

TKP Mie Baso Akung

TKP Mie Baso Akung

Lalu saya ketemu Ibu Nata, deh.. Yang kata si Om, Nat The Broadcazter ituuuhh….. Cantik lhoo… 🙂

Nata, Lala, Mbak Neph

Nata, Lala, Mbak Neph

Dan Lala-pun masih belum kenyang jugaa….. (Batagor Kingsley, here I come!)

Tadinya sih mau beli Batagor Riri… tapi karena rame banget, akhirnya ke Kingsley, yang ternyata… hhuuaaa.. enakkkkkk…. *kata si Om, “emang ada gitu yang nggak enak buat Lala???* hehehe….

Batagor Kingsley

Batagor Kingsley

MbakNeph-kuw...

MbakNeph-kuw...

… dan di situ pun ada es sekoteng yang kata Nata enak… aaahh.. beli dulu satu porsi…

es sekoteng

es sekoteng

…dengan satu orang penjual yang banci photo… *sumpah deh, dia maksa buat diphoto.. hahaha… saingan ama saya, ya, Mang…

gerobak sekoteng

gerobak sekoteng

Pas liat-liat baju di FO, ehh malah ngiler liat Bakpia ini…. hehe.. beli deh… satu kotak isi 10 (kombinasi coklat, mocca, dan kacang ijo) harganya 17rebu. Murah? Tapi enak kok.. coba ajahhh…

mammapia

mammapia

mammapia

mammapia

Pukul lima sore, Mas Yudi ngajakin pulang deh.. Eh, tapi Mbak Neph masih nafsu pingin makan cilok… Ya udah…. beli cilok ini deh… *masih hasil referensi Ibu Nata yang ngakunya Ratu Ancot itu.. hahaha*

Ciloknya Beli Di sini

Ciloknya Beli Di sini

Dan inilah ciloknya…

Cilok

Cilok

Dan inilah para manusia yang nafsu makan cilok itu….

Mbak Neph, Mas Yose, dan Nata

Mbak Neph, Mas Yose, dan Nata

Pulang ke Jakarta

Setelah makan cilok, rombongan Haji.. eh.. rombongan pegawai kantoran yang kabur selama jam kantor itu *hehe* akhirnya musti pulang juga ke Jakarta… Si Nata akhirnya dengan terpaksa diturunin di pinggir jalan *daripada keangkut sampai Jakarta, ntar ancot-nya susah Bu… hahahaha*. Dan pukul lima sore lebih dikit… saya musti meninggalkan kota Bandung yang sudah bikin saya gendut dua kilo dalam waktu kurang dari lima jam itu… 🙂

And I really have to thank this couple…. Mbak Neph & Mas Yudi…

Mbak Neph dan Mas Yudi

Mbak Neph dan Mas Yudi

Without you, Guys… saya nggak akan ‘nyentuh’ Bandung dalam waktu dekat……… Dan sekaligus, nggak bisa wisata kuliner di kota yang cantik itu….

Makasih buat Mas Yose juga, yang ngebantu gantian nyetir sama Mas Yudi…

Makasih buat Nata yang udah bela-belain nyusul ke Mie Baso Akung lalu ikut ngider dari tempat makan satu ke tempat yang lain… ikutan ke FO satu ke FO lain… *dan bikin kamu belanja-belanja nggak penting buat Lelaki Kecilmu itu.. hehe.. maaf ya.. jadi bikin kamu belanja gituh…*

Makasih buat Toyota Altis yang udah nganterin kami semua pulang balik Jakarta Bandung-Jakarta dan rela digeber terus dari pukul sepuluh pagi sampai setengah tujuh malem…

Makasih buat semuanya…

It was really beautiful, Guys… banget!

ps. Pacar, if somehow you read this blog, FYI, I was thinking about you all the time… I miss you… I miss to hear your voice, to see your face and can’t wait to meet you…. Sorry about my email the other day… I think I’m having my PMS and please ignore everything I’ve said to you… I love you… I really do… (and I don’t wanna lose you… not now… not now, Sayang….)

mmm… excuse me… JB bukan, sih? (Jakarta’s Stories 3)

Kamu pernah saya ceritain soal JB? Pacar pertama yang di dalam tubuhnya mengalir banyak darah itu, lho? Ada Bali-nya, ada Chinese-nya, ada Itali-nya itu? Remember him? Iya, yang sekarang sedang kuliah S2 di San Francisco itu.. dan yap… yang pernah ngacak-ngacak hidup saya selama tiga tahun lalu pergi setelah saya gave up dengan ‘ketidakspesialan’ saya itu… Okay. Baca posting yang ini nih, biar inget lagi.

Nah..

Udah baca kan? Udah ring a bell belum siapa laki-laki yang menjadi sumber inspirasi posting kali ini? Okay. Saya asumsikan kamu semua sudah klik link itu dan balik ke sini, jadi saya mulai aja ceritanya.

JB adalah pacar pertama saya. Pertama kali kenal sama komitmen pacaran, ya sama cowok ganteng ini. Dulunya, saya sekedar gebet sana gebet sini. Baru sama JB saya akhirnya ‘terperangkap’ untuk mau aja jadi pacarnya. Haha… sumpah, saya ini bukan tipe orang yang setia dengan pasangan. Tapi entah kenapa, kalau dengan JB, biar kata dibatasi dengan jarak yang ratusan kilometer itu, saya selalu setia sama dia. Sampai tiga tahun lho, Sodara-Sodara… Cukup amazing untuk amatiran seperti saya  kan? *saat itu sih, sekarang kan udah canggih banget… hehehe*

Kenapa tiba-tiba saya cerita soal JB?

Well… ini karena, sepulang dari TIS Square makan Pizza Hut bareng Mbak Neph (setelah sesorean tadi makan all you can eat di Hotel Mulia, Senayan bareng EmiChan, yang pastinya pas baca posting ini langsung geleng-geleng kepala sambil bilang, “Gila ini anak.. Makannya banyak banget..” hehe), kami mampir dulu ke tempat cuci mobil deket rumah yang 24 jam itu.

Mobil Mbak Neph emang lagi bulukan banget deh. Tebel banget debunya. Nggak pantes ah, isinya orang cantik-cantik semua *baca=Lala dan Mbak Neph.. hehe* tapi kok mobilnya kotor. Ntar orang-orang pasti berebut nyuciin mobil Mbak Neph tiap berhenti di lampu merah dong.. hehe

Saat menunggu mobil Mitsubishi Lancer Mbak Neph dicuci sampai cling-cling, saya duduk di dekat satu cowok yang mukanya familiar banget. Kayak pernah kenal. Kayak pernah ketemu di manaaaaa gitu. Mukanya mirip siapa ya?

Si cowok ganteng itu sedang asyik mainin hp-nya. Asyik ngobrol dengan fitur 3G dan ketawa ketiwi nggak jelas. Tapi entah kenapa, saya tertarik untuk melihat cowok ini lebih serius. Hell, yang ada di dalam pikiran saya, ini cowok mirip siapa ya?

Saya colek deh si Mbak Neph, sambil bilang, “Mbak Neph… ini cowok kayak siapa sih?”

Mbak Neph ikutan celingukan. “Sapa ya? Nggak tau deh, Jeung.. Kayak sapa, emang?” Lah, si Mbak. Kalau saya tau, ngapain saya nanya coba.. Ada-ada ajah.

Tapi.. sebentar.. sebentar… Saya celingukan lagi. Mengamati lagi. Lebih fokus. Lebih detil. Lebih pake hati *cieeh, romantiz amat liatnya pake hati segala, lu, Laa…* Dan.. ah… iya.. iya.. itu kannn..

“Kayaknya dia itu si JB, deh, Mbak…”

Mbak Neph pun langsung menoleh dan ikutan mengamati. “Hah? Si JB? Yang dulu ketemuan di Senayan itu, kan?”

“Iya… Si JB yang itu…”

“Lah, bukannya dia udah kemana gitu, kata kamu Jeung…”

“Nah itu dia. JB kan lagi di San Francisco ambil S2. Tapi kapan hari gua ceting sama dia, JB bilang lagi ada di Jakarta.. Pulkam gitu deh…”

“Ya tegor aja, Jeung…”

“Hah? Tegor? Gila ajah, Mbak. Iya kalo dia. Kalo bukan? Tengsin kan gua?”

Dan FYI, sepanjang percakapan ini, si JB Gadungan itu pake acara plirak plirik ke arah kami. Ini bukan karena dia naksir, tapi karena suara saya dan Mbak Neph emang disetel volume yang paling kenceng.. hehe..

“Yaaa… cuek aja lagi, Say… Ntar nyesel lho.. Sapa tau emang bener itu dia…”

JB bukan sih? Dari wajahnya sih, mirip banget. Kulitnya memang lebih gelap, tapi perawakannya sih JB banget. Tinggi besar. Gaya sok coolnya juga so very JB. Geez, saya benar-benar kepikiran untuk motong urat malu dan sok pede aja nyapa dia.

Tapi ternyata..

Meskipun si JB Gadungan itu beberapa kali mencuri pandang, meskipun saya hampir saja nekat untuk duduk di sampingnya dan bertanya, “mmm… excuse me… JB bukan, sih?” meskipun sumpah, semua kenangan tiga tahun bersama JB seakan-akan balik kembali dalam angan saya, tapi…

I didn’t have the balls to say it. I didn’t have any guts to say it out loud.

And then the moment’s gone…

Mobil Mbak Neph menjauhi tempat cuci mobil itu, meninggalkan seorang cowok ganteng yang masih sempat melihat saya dengan wajah penuh question marks *mungkin heran, ini ada cewek aneh liatin dia gitu.. hehe*, dan membuat saya sampai detik ini masih bertanya-tanya.

… what if he was really my first boyfriend?

what if he was really JB?

Dan sampai sekarang, saya masih terus mengulang pertanyaan-pertanyaan itu. Uuuhhh… Kalau udah beginiiii aja, urat malunya lagi sehat-sehatnya. Coba kalau lagi barengan sama Gang Gila, udah merah padam kali wajah si JB gadungan itu karena saya bakal dengan malu-maluin duduk di sampingnya dan sok kenal ajah… 🙂

So JB…

Kalau elu iseeeennggg baca blog gua ini… Coba deh gua mau nanya. Hari Senin malem,  tanggal 28 Juli 2008, sekitar jam sembilanan, elu ada di mana? Kalau emang elu lagi nyuci mobil di daerah Kalimalang, FYI nih.. cewek yang tadi pake bolero pink, daleman pink, dan rok jeans itu.. yang tadi ngelirik elu dengan segitu nepsongnya itu…. mantan cewek elu! Iya. Gua. Lala. Inget kan? Take care ya, JB.. Give my regards to Mama, Scar dan Rich… 🙂

…from a crowded floor (Jakarta’s Stories 2)

Seorang teman baik yang rumahnya jadi ‘posko’ selama saya eksodus ke Jakarta (dibilang eksodus karena saya emang lagi fucked up dengan suasana di Surabaya dan sekaligus ketemu dengan The Asunaros, pastinya), langsung berteriak kegirangan ketika saya nanya via telepon, dua minggu yang lalu, “Eh, selama gua di Jakarta, boleh nginep di rumah Mbak, kan?”

Mbak Neph langsung dengan girangnya bilang, “Wahh.. asyik.. ya boleh dong Jeung.. Nginep ajaaahhh….”

Dan yang bisa saya tebak sebelumnya, Mbak Neph langsung nyamber dengan kalimat ini, “Eh, ntar kalau gitu kita dugdug ya?”

Hm.. Apa itu dugdug?

Tadinya saya nggak tahu dan nanya dengan begonya, “Dug-dug itu apaan sih, Mbak?”

Dan oalah.. yang dimaksud DugDug itu…. “Dugem, Cayankku… Dugdug itu artinya dugem.. Iseng aja gue bikin istilah gitu…”

Nah. Berhubung saya cuman tamu yang nginep gratis dan kemana-mana dianterin, tentu saya nggak enak ati juga kalau nolak permintaan dia. Eh, ini karena unsur kesopanan dan tata krama dong. Apalagi cuman sekedar dugdug. Bukan yang disuruh nyemplung sumur, kan? Jadi masih okay lah…

Malam minggu kemarin saya DugDug di X2, Senayan. Setelah meluncur dari rumah EmiChan (detil soal ini, di bagian cerita yang lain ya?), mengantarkan sahabat maya *ups, she’s for real now.. hehe*  dan anaknya yang super luthu uthu uthu itu, saya, Mbak Neph dan Eneng langsung ke X2. Saat itu masih pukul sebelas lewat sedikit. “Ah, ngepel lanteinya nih kita…” kata Mbak Neph sambil mengurangi laju mobilnya. Maksudnya sih membunuh waktu.

Setelah kami puas ngobrol-ngobrol di dalam mobil (masih usaha killiing time), kami pun segera berjalan menuju lift yang bakal membawa kami sampai ke X2. Di situ saya mulai ngerasa “not belong there“. Kenapa? Hm.. ini karena, ketika saya menunggu lift dengan dua orang teman saya itu, ada beberapa orang lagi dengan penampilan super heboh. Three girls with sexy dresses. Sumpah, yang kebayang langsung scene demi scene di film Sex and The City deh! Mereka tidak terlihat cantik… tapi sumpah, seksi abis. Mbak Neph, saya, dan Eneng yang saat itu tampil standar banget alias kaos dan celana jeans langsung berbisik-bisik setelah ketiga perempuan itu berjalan mendahului kita saat keluar dari lift.

“Eh.. niat banget ya…” kata Mbak Neph.

“Gila, sampai ‘itu’nya tumpah semuah…” si Eneng. Dan yang dimaksud dengan ‘itu’ adalah ‘itu tuh’ *hehe, silahkan gunakan daya imajinasi kamu, ya…*

Dan apa yang saya komentari?

“Eh, keren banget ya bajunya…” Eventhough, maaf-maaf aja ya, saya sih merasa they were there for something… ya, that ‘something‘.

Saat masuk ke dalam spot yang lagi happening di Jakarta dan dibandrol seharga 100rebu dengan free first drink itu, saya langsung menyadari bahwa there was no live performance… I mean, band performance. Di situ hanya ada tiga ruangan dengan tiga orang DJ yang masing-masing bertugas untuk meramaikan suasana.

Hah…

DJ?

Just DJs? All nite long? Dengan musik yang jedak jeduk nggak penting dan nggak bakal berhenti sampai pukul empat pagi itu?

Huahh… rasanya pingin segera kabur saja dari sana…

Ditambah pula, karena nggak ada tempat duduk (dan katanya, musti bayar beberapa juta lagi supaya bisa dapet tempat di sofa yang bikin ngiler orang-orang yang kakinya gampang pegel seperti saya ini), saya harus rela serela-relanya untuk berdiri terus sambil mencoba untuk menikmati suasana.

APA YANG NIKMAT, YA???

Kalau yang lain bisa ‘kalap’ dan langsung goyang badan saat mendengar musik yang dipandu DJ perempuan yang super seksi itu, saya malah bengong aja sambil nyari tempat buat sandaran. Si Eneng pun bernasib sama. Dia ikutan nyender di tembok dan bengong aja melihat fashion on the street itu.

Sumpah.

Saya seperti melihat hutan rimba 😦

Dengan perempuan-perempuan yang nyaris ‘telanjang’…

Dengan laki-laki yang sibuk menggerayangi perempuan-perempuan mereka…

Dengan egolan dan goyangan badan yang nggak jelas…

Sambil merem melek pula…

Sambil mabok pula…

Dan rokok. Ya rokok. Batangan nikotin itu terselip hampir di semua jari pengunjung, laki-laki dan perempuan, dan asapnya berhembus dari mulut mereka seolah nikmat banget. Bikin polusi, apalagi ruangan berAC dan super crowded.

There.

Exactly the next one hour… saya memilih untuk ‘jahat’ dengan Mbak Neph lalu minta ijin untuk menunggu di luar bareng si Eneng yang matanya mulai berkunang-kunang (hey, we’re not drunk. Saya hanya pesan pineapple juice, Eneng dengan lychee juice, lalu sedikit alkohol untuk Mbak Neph). Ini bukan karena saya sudah males banget melihat ‘kelakuan rimba’ di depan mata saya itu *ah, ini kan urusan mereka, bukan urusan saya..*, tapi karena mata saya sudah mulai berair akibat adanya asap rokok di mana-mana.

Setelah Mbak Neph bertemu dengan satu temannya yang lain, barulah saya ‘tega’ meninggalkan Mbak Neph. Saya dan Eneng pun berjalan ke luar dengan hati yang riangnya nggak ketulungan. Huaaaahh.. paru-paru saya ikut berteriak kegirangan. Cenangnya.. cenangnya bisa nafas enak lagi.. Mungkin itu kata si Paru-Paru saya 🙂

Begitu sampai di luar dan menunggu di kursi-kursi kayu yang membentuk lingkaran itu, saya baru sadar kalau ternyata, banyak sekali yang ‘tepar’ seperti saya. Duduk di luar dengan pandangan mata lelah. Ada yang nyender di kursi. Ada yang melipat kaki. Ada yang ngantuk-ngantuk sambil memainkan ponsel.

Dan ya…

Ada mereka-mereka ini:

…satu orang anak perempuan, masih belasan tahun, dibopong seorang anak laki-laki seumuran  dia yang saya asumsikan itu adalah pacarnya.. si perempuan tidak sadarkan diri… sedang mabok… Gemesnya, begitu dia didudukkan di sebelah si lelaki, beberapa temannya malah dengan usilnya mengambil photo dan bilang begini, “Ah, ntar gua masukin friendster nih…”

…segerombolan laki-laki dengan dua orang perempuan yang keluar dari X2 sambil ketawa ketiwi mabok… persis di dekat saya, tiba-tiba si perempuan maen jatuh aja dan teman-temannya malah ketawa ketiwi lagi… Dan ya, perempuan itu mungkin mabok dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk berdiri.

…sepasang Om-Om duduk di belakang Eneng dan temen saya itu mencuri dengar sedikit percakapan mereka. Apa isi percakapannya? Hold your breath… karena Om itu bilang begini, “Eh, gua tadi pegang-pegang pa****ra cewek lho… Gua remes sekalian…” Damn! Binatang sekali sih!!!

AAARRRRRGGGHHHHH!!!

I really hate to see it.

And deep down inside, saya berkali-kali bilang, “Amit-amit jabang bayi, deh, jangan sampai anak gua senakal itu…” Dan jangan pula, senakal emaknya ini! 🙂

Sambil menunggu Mbak Neph, saya dan Eneng akhirnya tertidur di kursi. Pules banget deh, meskipun begitu bangun, leher langsung pegel-pegel dan kaki kesemutan. Bangun-bangun sudah setengah tiga pagi dan melihat Mbak Neph berjalan ke arah kami dan mengajak pulang.

THANKS GOD! Akhirnya pulang juga.. hehe

On our way homeI thought about this thing.

Ya, saya tahu kalau X2 tidak akan menjadi my favorite spot. Ya, 100rebu dengan gratis sekali minum itu not worthy at all untuk mata belekan dan hidung megap-megap butuh oksigen bersih. Dan ya, eventhough saya ketemu sama Ivan Gunawan dan Adjie Notonegoro,  saya lebih memilih untuk jalan ke Plaza Senayan buat ketemu artis-artis dan memungkinkan saya bisa melihatnya dengan jelas tanpa harus tertutup asap rokok (which btw, memang penting gituh ketemu sama artis? hehe)

Tapi…

Saya mendapatkan banyak hal dari dugdug malam itu…

Bahwa satu… people are really animals.

Bahwa dua… when you dress real sexy, you’ll put yourself in danger.

Bahwa tiga… don’t drink too much, know your own limit, if you want to stay awake all nite.

Dan bahwa empat… you’re old, Lala. Dugdug is so last year 🙂

So… Lala… masih mau dugdug lagi kamu, heh??? ^^

karena saya dan dia… adalah sejarah (Jakarta’s Stories 1)

Hari Jumat kemarin saya meninggalkan kota Surabaya dengan kereta api Argo Anggrek yang berangkat pukul delapan pagi. Saya duduk di gerbong keempat di kursi yang memang sengaja milih sebelah jendela. I just love to see the view, meskipun ya, beberapa jam setelahnya saya sudah ngiler nggak karuan di atas kursi saking nafsunya saya tidur *orang yang duduk sebelah saya itu benar-benar nikmat banget deh tidurnya, saya kan iri juga jadinya.. hehe*

Sebuah telepon di pagi hari membuat air mata saya turun dan memancing kenangan-kenangan saya dengan orang jelek itu. Ya. Telepon dari Pacar, orang yang sekarang sedang meragukan rasa cinta saya buat dia dengan kalimat yang sungguh bisa membuat air mata saya turun deras.

Kalimat ini: “Bahkan dengan bayangannya aja aku kalah, La?”

bayangan…

Oh how I wish that it could be that simple… it’s not about love… it’s more about hatred. Kebencian saya terhadap seseorang di masa lalu yang membuat saya nggak bisa memaafkan dia. I’m not asking him back… Rasa cinta saya sudah nggak ada… I just need a perfect closure, not a goodbye note that he gave me through his family! Geez!

Pacar seolah nggak mau mengerti. He wanted to just leave me… and would come back after I finished all my stories with the Ex.

…dan saya lebih memilih untuk bermain-main dengan masa lalu sementara seseorang seperti Pacar ada di dalam pelukan saya dan berjanji untuk selalu sayang sama saya? Lala, bodohnya kamu!

Setelah menangis… Setelah mengucapkan kata-kata nggak penting yang untungnya bisa diralat kembali karena kebaikan hati Pacar tercinta, akhirnya saya meninggalkan Surabaya dengan tenang…

…sungguh, La? Dengan tenang?

…tidak.

Ternyata tidak.

Kebencian saya terhadap orang jelek itu semakin menjadi-jadi dan memunculkan imaji sosoknya di kepala saya. Ow, C’mon Lala… Jujur saja, sepanjang perjalanan saya menuju Jakarta, saat melihat hamparan sawah yang membentang.. saat melihat langit yang menaungi kereta saya itu tampak biru cerah… saat melihat manusia-manusia yang entah sedang memikirkan apa… Saya… melihat… orang jelek itu.

Dengan teganya dia mengacaukan pikiran saya.

Dengan teganya dia menghancurkan kekuatan saya.

Dengan teganya dia meremukkan perasaan saya.

I hate you… Damn I hate you!

Dan ketika kereta yang saya tumpangi itu berhenti di kota Semarang untuk menurunkan dan menaikkan penumpang…. I couldn’t help it to cry…

It’s his hometown…

It could be the place I’d stay for the rest of my life…

with him.

It was a 10 minutes worthless crying. And I couldn’t manage my self to stop doing it.

Kereta akhirnya berangkat lagi. Meninggalkan kota Semarang dan menjauhkan saya dari kenangan-kenangan yang terbentuk di sana.. dari segala mimpi yang pernah ada dan melambungkan saya…

Hm.

Sudah Lala.

It’s time to face the reality that it’s so damn over and the hatred that you have in your heart is useless, it just ruins your heart… and makes your Sweetheart jealous and mad.

Lalu kereta itu pun terus melaju meninggalkan kota itu.

Seperti hidup saya yang terus melaju, berlari meninggalkan kenangan-kenangan saya.

Saya musti memaafkan dia.

Saya musti merelakan kepingan hati yang remuk karenanya tanpa menuntut pertanggungjawabannya, tanpa menuntut apa alasannya melakukan semua itu.

It’s time to let go.

Saya musti melupakan segala kebencian yang menggerogoti akal sehat saya.

I have to do it. Really have to.

Karena saya…

dan dia…

adalah sejarah.

*inget itu Lala….*

JakartaPhobic

Jakarta.

Saya punya banyak alasan untuk membenci kota itu. OK. I don’t mind about the traffic yang katanya bikin stress pengemudi-pengemudi kendaraan bermotor. Sebabnya? Selama di Jakarta, saya nggak pernah nyetir sendiri dan merasakan urat kaki yang menegang karena bergantian menginjak kopling, rem, dan gas dengan interval pendek dan frekuensi sering. OK. I also don’t mind about the lifestyle yang katanya membuat timpang antara yang mampu dan tidak mampu. Sebabnya? Buat saya, selama mereka memang bisa, berarti kita nggak boleh iri. Mungkin mereka memang deserve to do that, berarti simpan saja segala caci maki yang sumbernya dari iri hati itu. Sudah, sudah. Jadi diri sendiri saja.

Lantas, alasan apa yang membuat saya benci dengan kota Jakarta?

Pertama…

Karena di Jakarta punya Pasar Asemka. Yang Papi bilang, “Itu tuh tempatnya jualan Barbie-Barbie yang murah La…” Dan pernah, sepulangnya dari liburan di Jakarta, Papi membawa pulang dua puluh boneka Barbie, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Sebagai pecinta Barbie, saya musti rela rebutan nggak penting dengan keponakan-keponakan saya yang luthu-luthu itu. Ah… inget usia, Lala! 🙂

Kedua…

Herannya, di Jakarta itu kenapa sih banyak banget tempat-tempat sepatu, tas, dan baju yang murah-murah? Sebel, sebel, sebel. Karena saya ini doyan belanja *yang murah-murah lho… shopaholic ukuran ikan teri lah, maksudnya.. hehe*, kalau ngeliat barang murah, suka kalap jadinya. Betenya, meskipun di Surabaya sudah bisa dapet sendal lucu-lucu yang harganya murah.. eh ndilalah, di Jakarta harganya malah jauh di bawahnya! Huaaa… nangis nangis deh…

Ketiga…

Kenapa sih, Glodok nggak buka cabang di Surabaya? Jadi saya nggak perlu repot-repot pesen DVD (bajakan) lewat temen saya dan saya musti ekstra sabar buat nunggu barangnya sampai ke rumah *ya, pastinya, karena nungguin temen saya dolan ke Glodok lah! FYI, dia bukan yang punya toko, Sodara-Sodara…* Bayangin, nih. 5rb sudah bisa dapet satu DVD. Di Surabaya? Paling murah 6500. Itupun pake ngotot dan merayu-rayu segala. Juga pake acara beli minim 3. Kalau di Glodok… hmmm… nggak pake nawar juga dapet, katanya. Selisih 1500 itu lumayan lho… Apalagi buat pecinta DVD seri seperti saya… Satu seri aja bisa sepuluh keping sendiri, tuh.. Coba ambil kalkulator atau pake sempoa bayangan. Selisihnya udah tau kan? Banyak kan? Nah ituuuu.. ituuuu yang bikin saya beteee… 🙂

Tapi, nih, ketiga faktor itu memang bukan alasan major yang membuat saya benci dengan kota Jakarta. Ada satu alasan lagi yang membuat saya begitu benci dengan kota yang sebenarnya nggak punya salah sama saya itu.

Hmm… kalian tahu, nggak, apa alasan saya kenapa sampai segitu bencinya dengan kota Jakarta?

OK. Saya kasih tahu, ya…

Kenapa saya benci kota Jakarta…. karena…. di kota itu, ada satu mantan kekasih yang bikin saya bete surete semelekete pada kota Jakarta. Ya. Dialah yang memicu perasaan benci saya terhadap kota yang punya sejuta kenangan bersama dia. I remember the busway… Gimana saya dan dia musti antre di shuttlenya, sambil melihat satu orang ‘melambai’ yang ngelirik manja ke arah dia… Atau saat saya nggak bisa mengatur keseimbangan di atas busway dan hampir terjatuh, lalu akhirnya saya dan dia tertawa karena melihat ada satu orang perempuan dengan sepatu stileto berdiri dengan santainya tanpa ada rasa kuatir bakal terjatuh? I remember the nitewalks… Kelaperan, ngider cari makanan… Nemu satu tempat sate enak dan nongkrong sampai malam. I remember the shopping hours.. Saat dia ngomel-ngomel karena saya terlalu banyak membelanjakan duit hanya untuk sepatu-sepatu dengan model yang sama tapi saya maksa beli tiga pasang sekaligus karena suka banget sama warna-warnanya…

Dan yaa… semua canda-candaan itu.. jealousy itu… gandengan tangan itu…. dan setiap pertemuan dan perpisahan yang diakhiri dengan kecupan sayang di kening…

Yes. I hate Jakarta for that.

Karena di Jakarta, bersembunyi mantan pencuri jiwa yang kini entah ada di mana. Jakarta memang masih seperti rimba belantara. Bukan dengan pohon-pohon, tapi dengan gedung-gedung menjulang. Di situlah lelaki jahat itu bersembunyi. Lari dari hidup saya setelah saya percaya bahwa mungkin dengan dialah segala petualangan saya berakhir…

Sejak berpisah dengan laki-laki itu, saya nggak pernah terbayang untuk bisa menyentuh Jakarta lagi. Not after all the painful moments I had… Nggak… Saya nggak berani… Saya takut menyusuri kota Jakarta yang penuh dengan kenangannya. Saya takut menginjakkan kaki di bawah langit yang menaungi tempat sembunyinya. Saya takut… saya akan terkenang lagi dengan dia…

Padahal…

I love Jakarta.

Ada beberapa teman baik yang menunggu saya di sana. Mbak Neph… sahabat masa kecil saya. Inang dan Naleng, teman-teman kantor (Naleng udah keluar, sih) yang cerewet dan bawel *kami bertiga ini memang kompak! Pantesan, cargo-nya mlorot mulu.. hahaha.. boong, boong… nggak ada hubungannya kaliee…*. Terus ada Bachry, Dedy, Ubay… tiga orang cowok yang selalu baik nganterin saya kemana-mana selagi ada di Jakarta…

Rasanya naif sekali, ya, kalau saya membenci Jakarta dan memutuskan untuk ‘jauh-jauh’ saja darinya hanya karena satu orang jelek yang merusak segalanya?

Sampai akhirnya…

Saya menemukan dunia ini. Blogsphere. Kecanggihan teknologi yang mengantarkan saya pada persahabatan Asunaro, gang Empat Sekawan beranggotakan EmiChan, Om NH, Abang Hery, dan saya. Pada persahabatan dunia maya yang sekaligus membawa kembali ketakutan saya.

kopdar… di Jakarta.

Damn.

Harus Jakarta ya? Kenapa kalian nggak ke Surabaya aja sih? 🙂 Atau kumpul-kumpul di Bandung gitu, sambil makan bubur ayam enak dan belanja-belanja jeans? Atau nongkrong di mana gitu, sambil metik buah stroberi?

Tapi, again, itu bukan pilihan, dan naif sekali kedengarannya kalau saya bilang begini, “Jangan kopdar di Jakarta dong, saya tuh takut banget bakal keingetan sama orang ini…”

Iiihhh….. nggak banget, kan?

Itulah.

Karena saya nggak mau dibilang naif… Karena saya juga nggak mau dibilang terlalu terjebak dengan masa lalu… dan juga karena daripada saya dipaksa untuk kopdar di Tokyo, tempat EmiChan *gila Bow.. duit dari mane???*… akhirnya… saya memutuskan untuk melakukan ini.

I’m going to Jakarta.

From tomorrow… till ten days ahead.

Seandainya saya ketemu orang jahat itu di pusat keramaian… then let it be.

Seandainya saya tiba-tiba keingetan sama kenangan-kenangan saya di Jakarta dengan dia… then let it be.

Seandainya saya ketemu dia jalan dengan kekasihnya, perempuan yang dia bilang, “Dia bukan siapa-siapaku, kok… Aku lebih memilih kamu…” lalu setelah berbulan-bulan menghilang saya baru tahu kalau mereka akan menikah, itu…. then… dammit. Saya musti ajak EmiChan buat balik arah lalu jalan menjauh dari mereka… Nggak apa-apa, ya? Daripada saya nangis di pinggir jalan dan jadi tontonan orang-orang? 🙂
Sampai detik ini, saya masih merasakan ketakutan itu. Masih merasakan kekuatiran itu. Entahlah. Kalau soal cinta, apakah saya masih cinta dengan orang satu itu. Padahal sementara.. di saat yang sama, sekarang ini, ada seseorang yang begitu baiknya menerima saya yang narsis, gebleg, dan moody ini…
Hhhh…
Entahlah…
Saya sih berharap, semoga EmiChan, Om Nh, dan Abang Hery bisa membuat kunjungan saya di Jakarta menjadi kenangan yang tak terlupakan… Sehingga ketika mendengar kata Jakarta, yang terkenang bukan lagi kenangan saya dengan orang jelek itu… tapi kenangan-kenangan indah saya dengan Asunaro, sahabat-sahabat saya… 🙂
So, Guys…
Red carpetnya sudah dilaundry kan?
Ayo, cepet digelar… Besok saya sudah dateng lhoooo… ^^

…how’s heaven?

– Sejatinya, tulisan ini saya posting di blog, hari Senin kemarin, tapi karena faktor GPRS yang nggak kompakan sama sekali, akhirnya tertunda sampai sore ini… –

Ini bukan hari Senin biasa. Bukan hanya sekedar hari di mana saya musti mengerjakan laporan allowance untuk disubmit ke Jakarta sebagai data penunjang gaji bulanan yang jatuhnya minggu depan itu. Juga bukan hanya sekedar hari Senin yang super hectic karena biasanya telepon berdering-dering nggak kenal kompromi *eh, saya dan Bunda kan butuh ngegosip juga? hehe*. Juga bukan sekedar hari Senin yang selalu bikin saya malas bangun pagi dan siap-siap ke kantor, padahal weekend kemarin hidup saya lumayan nano-nano dan bikin badan pegel-pegel.

Ya. Hari ini memang bukan hari Senin yang itu. Karena hari Senin kemarin…. tanggal 21 Juli 2008 kemarin…. adalah hari ulang tahun Mami. Ya. Mami tercinta saya, bintang paling terang dalam hidup saya, yang selama ini menjadi reminder setiap langkah saya, dan menjadi wajah pertama yang teringat ketika hati tak kuasa menahan emosi, telah berulangtahun yang ke-59.

Hhhh….

Dada saya sesak seketika saat membayangkan bagaimana wajah Mami ketika usianya menyentuh 59. Seperti apakah wajahnya? Masihkah kecantikan itu tersisa di wajahnya? Sehatkah tubuhnya? Apa komentarnya dengan sebuket mawar segar dan ucapan penuh sayang dari si Bungsu-nya yang belakangan makin bandel aja sok diet sampai maagnya kumat ini? Si Bandel yang hobi pacaran tapi nggak segera pesen katering buat acara resepsi nikahnya ini?

Wajah terakhir yang terbayang hari ini adalah wajah seorang fifty three years old Mami. Kala itu, wajahnya penuh dengan cahaya, meski guratan lelah ikut menggarisi wajah cantiknya. Matanya tetap berpendar, sekalipun once or twice saya melihat keputus-asaan itu. Suaranya masih lembut, meskipun sesekali Mami masih mencereweti saya yang nggak segera pulang ke rumah dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan Gang Gila di kampus. Dan kini sudah enam tahun… Gosh… Six whole years… dan saya yakin, dalam waktu enam tahun, telah banyak yang berubah….

Saya telah bermetamorfosa menjadi perempuan aneh dan narsis…

Telah lahir dua orang keponakan dari perut Mbak Pit, kakak tercinta saya…

Bro sudah berhasil dengan pekerjaannya….

dan Papi… in his present condition, masih berjuang untuk mengalahkan sakit yang menderanya selama ini… Six years. And everybody has changed.

….mungkin Mami pun juga telah berubah. *again, saya selalu punya mimpi nggak penting tentang provider telepon seluler yang bisa menghubungkan saya dan Mami di Surga sana… damn! Wake up, Sista!*

Hmmm… Kalau terlalu memanjakan sisi emosi saya, bisa-bisa saya malah nangis sesenggukkan dan bikin repot office boy yang masih nangkring jam segini 🙂 So, saya nggak ingin menjadi sentimentil di hari yang mulai menginjak malam ini. Lagipula, mengetik sendiri di lantai tiga yang sepi, cuman ditemani suara hembusan air conditioner yang letaknya persis di depan jidat saya, tentu membuat bulu kuduk lumayan meremang kalau dibarengi dengan sentimentil-sentimentil segala ^_^

Then I decided to keep my head up. Hell, I don’t wanna cry. It’s a celebration for my Mother’s birthday… Seharusnya saya senang… Seharusnya bukan air mata yang saya persembahkan di hari ulang tahunnya… Seharusnya saya malah mengambil air wudhu dan memanjatkan doa untuk Mami yang kini mungkin sedang geleng-geleng kepala melihat kebandelan puteri bungsunya ini…

Ah. Sudahlah.

*inget La.. no more tears… no more f**king tears, OK?*

Ya, eventhough I know that technology cannot brigde my distance with Mami, but I’d still believe, that my love for her, will brigde any distance between me and my mother, no matter how far it is…

She’d know…

She’d understand…

and I believe…

she loves me…

Mami… Happy birthday, ya..

Segala cinta di dunia ini Lala persembahkan buat Mami, supaya Mami tenang di sana… Supaya Mami lebih ikhlas melihat Lala di dunia yang masih belum jadi apa-apa ini… Lala janji, Lala akan selalu berusaha untuk menjadi seorang anak perempuan yang tidak akan mengecewakan Mami. Itu hadiah Lala buat Mami, ya? Tentunya, selain doa yang tak pernah putus setiap malam, untuk Mami yang paling Lala sayang…..

ps. How’s heaven, Mom? Is it beautiful? Or it’s just a rumour? 🙂

…her alcoholic boyfriend

Kalau boleh dan bisa memilih untuk jatuh cinta di hati siapa, mungkin Rumi, teman masa SMU saya, akan memilih untuk jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang tidak seperti Ben. Dia mungkin akan memilih laki-laki yang normal-normal saja, yang nggak perlu ekstra kesabaran untuk menghadapinya, sekaligus ekstra was-was karena takut sewaktu-waktu Ben ‘terjatuh’ atau meninggalkannya.

Karena Ben, lelaki yang ‘tidak disengaja’ ia jatuhi cinta itu…. adalah an alcoholic.

Mudah sekali orang akan mengatakan, “Elu kan tahu, Mi, kalau Ben itu alcoholic. Mustinya lu sadar kalau dia itu bukan cowok yang bener… Dan lu harusnya nggak perlu terlibat cinta sama laki-laki macem dia…”

But then, I realize… when it comes to love, we sometimes get blind…

Jelek, sih. Saya tahu. But for some people, ini adalah kenyataan yang nggak bisa dihindari. Buat mereka, cinta tumbuh tanpa mereka tahu kenapa… tanpa mereka tahu kapan awalnya… lalu bagaimana… lalu merembet ke yang lain-lainnya.

Seperti yang dirasakan oleh Rumi. Cinta yang membuatnya terus bersabar untuk menemani Ben dalam setiap ‘kejatuhan’nya. Setiap masa-masa sulitnya. Membuatnya harus bisa menata perasaan agar tidak menangis hebat setiap kali Ben kehilangan kesadarannya lalu harus berjuang untuk terus bernafas di ranjang sebuah rumah sakit.

Rumi tahu, semua ini akan dia alami. Entah sekarang, entah nanti. Ben yang dikenalnya itu memang a genuine alcoholic. Tidak main-main. Bukan bir beralkohol rendah yang dia konsumsi, tapi sejenis vodka, whisky, dll yang kandungan alkoholnya sudah sangat berbahaya jika dikonsumi selayaknya air putih biasa! Ah, Rumi.. Rumi… Gadis ini terlalu cinta rupanya dengan Ben. Dia malah memilih untuk terus ada di samping Ben, meskipun tak pernah berhenti untuk terus mengingatkan kekasihnya agar berhenti mencandui alkohol.

Lalu, mungkin atas nama cinta, atau memang sudah menyadari kekeliruannya, Ben memutuskan untuk berhenti. Dia memasrahkan dirinya dalam perawatan rumah rehabilitasi. Belum mempan juga? Dia masuk ke dalam pondok pesantren agar keimanannya lebih terjaga dan menjauh dari alkohol. Dan segala macam upaya lain yang dilakukannya untuk sembuh, tapi tetap saja, ia tak bisa berhenti….. Arrrggghh… he was so depressed!

Hingga akhirnya, belum satu bulan ini, akhirnya dia berhenti juga.

Bukan. Bukan karena Ben telah sembuh dari kecanduannya.

Tapi karena ini.

He died….. in the hospital’s room….

Tubuhnya sudah tak mampu lagi menahan siksaan alkohol yang telah merusak sebagian besar organ pentingnya. Sudah tak sanggup lagi, sudah tak bisa lagi.. 😦

Sampai sekarang, Rumi masih larut dalam dukanya. Lelaki dengan segala kekurangannya itu, telah dianggapnya menjadi laki-laki terbaik dalam hidupnya, sampai detik ini. Kehilangan Ben telah memukul perasaan Rumi dan membuatnya tak berhenti menangis.

Benaknya masih penuh dengan lelaki tercintanya itu.

Masih terbayang dengan kenangan-kenangan indah yang sempat terbentuk bersamanya.

Masih, somehow, mendengarkan suara-suara Ben ketika merayunya…

Dia masih tak bisa melupakan semua kenangan itu.

Ya… kenangan bersama Ben, her alcoholic boyfriend.

ps. Rumi, tabah ya… kecup sayang buat kamu…

Catatan Harian

July 2008
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

Celotehan Lala Purwono