archives

Archive for

Untuk Gang Gila Tersayang…

Special dedicated for: Lin, Ly, Tat, Yun, dan Els *I love you, Girlz…!*

Sahabatmu adalah pasangan jemarimu,
jadi genggamlah ia.
ketika kamu takut, genggamlah ia erat-erat.
biarkan ketakutanmu mengalir, biarkan resahmu menyelusup di antara genggamannya, sampai gelisahmu hilang dan kau bersyukur telah menggenggamnya.
ketika kamu bahagia, genggamlah ia erat-erat.
biarkan bahagiamu mengalir, biarkan letupan-letupan riang bermain-main di telapak tanganmu, bersentuhan dengannya, dan kau bersyukur ada jemari lain yang menjaga rasa bahagia itu tetap ada di dalam genggamanmu.

Sahabatmu adalah detakan jantungmu,
jadi dengarkanlah ia.
Ia akan selalu berdetak untukmu, memberitahu ketika jantungmu berpacu terlalu cepat, juga ketika jantungmu melemah dan kau kehilangan gairah.
Ia akan selalu berdetak untukmu, bahkan ketika kau ingin menutup kupingmu rapat-rapat dan tak mau mendengarnya.
Ia takkan pernah berhenti berdetak, karena ia sahabatmu, karena ia ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.
Ia akan selalu bersamamu, di dalam tubuhmu.

Sahabatmu adalah sebelah kakimu,
jadi melangkahlah bersamanya.
Ia tak pernah melangkah bersamaan dengan kamu, karena kau akan melompati waktu-waktu yang tak pernah kau tahu seberapa indah, karena ia tak ingin kamu kehilangan menit-menit yang mungkin indah itu.
tapi ia akan berada di belakangmu,
atau di depanmu.
Ketika kau di depan, ia akan mengawasimu dari belakang.
Dan ketika kau di belakang, ia bukan hanya berusaha untuk melindungimu dari belukar, menyisir jalanan yang akan kau lewati agar kau baik-baik saja, tapi ia juga ingin kamu mengawasinya dari belakang.
Karena kamu adalah sahabatnya.

Tapi,
Sahabatmu bukanlah pasangan sayapmu.
Sahabatmu tidak akan mengatur kemana kau akan terbang, atau kapan saja kau ingin terbang.
Ia akan menjadi angin yang berhembus di bawah sayap-sayapmu, membantu kamu terbang kemanapun kau inginkan, kapanpun kamu mau.
Ia akan berusaha selalu berhembus untukmu, ia akan selalu mendukungmu kemanapun arah yang kau tuju.
Dan ketika sahabatmu ingin terbang, ia juga ingin kamu menjadi angin untuknya, meyakinkan dirinya bahwa kamu selalu ada buat dirinya.

Jadi,
Jika kau takut atau bahagia, bagilah denganku,
Karena aku akan selalu ada untukmu, berdetak untuk jantungmu,
dan akan selalu memperhatikanmu dalam setiap langkahmu,
Dan,
ketika kamu ingin terbang,
aku tak ingin menjadi sayapmu, mengatur arah cita-citamu,
tapi akan selalu menjadi angin yang ada di balik sayapmu, membantumu terbang menggapai keinginanmu.

Karena satu hal yang pasti,
SAHABATMU adalah aku.
Aku sangat menyayangi kalian semua….

 

Oh My… kangen sekali sama kalian nih… Hix!

…I’m over him (akhirnya)

Beberapa malam yang lalu, saya sempat terlibat ‘debat kusir’ dengan Pacar. Cuman karena saya bilang sama dia, kalau di RCTI sedang ada lagu Sempurna-nya Andra and The Backbone. Lagu itu dinyanyikan ulang oleh gang Indonesian Idol (ada Mike, Judika, Delon, dan Lucky) bareng sama runner up Australian Idol *kalo nggak salah ya* yang ternyata blasteran Aussie-Indonesia.

Lagu itu terdengar cantik sekali meskipun kadang suka ‘kejar-kejaran’ dengan musiknya. Tapi above all, lagu cantik itu makin cantik saja dengan harmonisasi suara yang okay

Nah, ternyata ini menyulut masalah. Atau menjadi bahan debat yang nggak bikin saya nggak nyaman sekali. Kenapa? Karena akhirnya saya cerita dengan Pacar, ketika lagu itu selesai dinyanyikan, saya malah menangis…

“Itu karena kamu masih punya harapan sama dia,  Sayang…” kata dia, yang membuat perasaan saya malah nggak karuan.

“Masih punya harapan??? Nggak… Aku udah nggak punya harapan apa-apa sama dia… Aku cuman marah sekali sama dia, Cinta… Aku nggak ingin dia balik, aku cuman maraaahhh…”

“Ah, itu defense mechanism. Kalau kamu nggak punya rasa apa-apa, kenapa kamu musti nangis…”

yang jelas, aku sudah nggak berharap lagi sama dia, Cinta… Aku nggak berharap bisa membuat dia menoleh lagi sama aku dan menyesali semua yang telah dia lakukan… Aku nggak berharap ada keajaiban yang membuat dia akhirnya memilih aku dan meninggalkan perempuan (yang demi dia, orang jelek ini meninggalkan aku)… Aku hanya marah sama dia…

Lantas kenapa saya musti marah? Bukankah marah dipicu karena saya masih punya something yang mungkin saya nggak tahu apa namanya? Bahwa saya masih punya undescribable feeling yang bikin saya nggak nyaman hanya dengan mengingat namanya, mendengarkan lagu yang pernah saya persembahkan khusus untuknya… dan bahkan, saya sampai menangis sesenggukan karenanya?

Apakah benar yang dibilang Pacar kalau saya masih.. mm… cinta sama dia?

Entahlah. Yang jelas ini bukan cinta. Tapi saya belum melupakan dia, totally, itu benar. Entah di bagian mana, but I know he’s there, somewhere. Masih ada beberapa kenangan yang bikin hati saya nggak tenang dan cenderung sedih setiap terlintas di kepala. Saya nggak cinta dia *saya sudah punya kamu, Cinta*, tapi saya belum benar-benar bisa mengusirnya pergi dalam hati saya…

Lagu Sempurna adalah lagu yang pernah saya persembahkan khusus buat dia. Mantan kekasih yang terlihat begitu sempurna di mata saya lalu menghancurkan segala harapan kami begitu saja. Entah kenapa, tiap mendengar lagu itu, yang terbayang memang wajahnya, sehingga kala itu, saya sengaja men-set lagu ini sebagai ring tone setiap dia menelepon…

Jadi, wajar kan, kalau lagu Sempurna itu begitu memorable? Bahwa lagu dengan lirik indah ini begitu mengusik saya sampai ke relung hati ketika dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan meninggalkan saya yang hampir tak percaya bahwa dia sedemikian teganya?

Mendengarkan lagu Sempurna bisa dianalogikan seperti berjalan di medan yang penuh ranjau. Saya musti hati-hati. Karena kalau saya careless atau ceroboh, saya bakal ingat dia dan nangis nggak karuan. Ah, saat itu, saya memilih untuk tidak mendengarkan lagu itu, lagu favorit yang sudah saya cintai sebelum saya mulai pacaran dengan dia. Saya delete saja lagu itu dari koleksi lagu-lagu yang saya simpan di laptop. Saya delete lagu itu dari memory card ponsel. Saya matikan tivi ketika iklan produk perawatan wajah yang menjadikannya sebagai jingle iklan. Saya menutup telinga ketika lagu itu bergema di pengeras suara mal.

Ini karena saya takut…

Karena saya takut akan menangis…

Sampai akhirnya, diskusi saya dengan Pacar membuat saya ingin melakukan sesuatu. Sederhana, tapi ini akan membuat saya lebih lega nantinya. Mungkin akan berat, tapi saya tahu, this is the only way to prove myself that…yes, I’m no longer in love with him.. dan ya… Pacar adalah satu-satunya manusia yang saya sayang dan cintai, bukan laki-laki di masa lalu saya itu.

Lantas apakah sesuatu yang sederhana itu?

Hmmm…. Saya menakhlukkan ketakutan saya. Ya, my fear… Ketakutan saya untuk menangis-nangis darah saat lagu itu terngiang di telinga.. Ketakutan saya untuk mengingat kembali laki-laki yang pernah saya anggap segalanya itu… Ketakutan saya untuk meragukan rasa cinta saya buat Pacar yang sekarang ini…

Dan sesuatu yang sederhana itu… sudah saya lakukan…. semalam.

Di sebuah acara seorang teman, saya diundang olehnya untuk bernyanyi diiringi electone. Karena menghargai tuan rumah dan yang punya hajatan, tentu saya sempat-sempatkan untuk menyanyi meskipun sumpah, saya ngantuk banget dan pingin segera pulang ke rumah. Tapi.. yaah… in the name of friendship, saya melakukannya.

Entah kenapa, ketika ditanya mau menyanyikan lagu apa, tiba-tiba lagu itu yang meluncur keluar. “Kalau Sempurna… bisa kan, Mas?”

Dan setelah dia mengangguk, saya mulai dijalari oleh rasa ketakutan. Apalagi ketika jari-jemari si keyboardist itu mulai lincah memainkan bagian intronya. Uuuuhhh… Saya gemetar… Saya hampir mati rasa di depan banyak orang…

Sebelum bernyanyi, saya berharap semoga saya bisa melewatinya dengan mulus. Saya berharap untuk tidak menangis di depan orang banyak yang pastinya akan segera menilai bahwa saya ini orang gila *hey, tiba-tiba ada cewek yang nangis sesenggukan di tengah-tengah lagu, pasti bikin orang ngerasa aneh, kan???*

Dan ternyata…

Ya.

Lagu itu… selesai juga dengan… SEMPURNA.

Ternyata saya tidak menangis. Ternyata saya tidak bersedih. Ternyata bukan wajah dia yang terbayang ketika saya melagukan lirik-lirik indah lagu ini…. Karena ternyata, di dalam hati saya, malah berdesir sebuah perasaan yang hangat… Dan ya… Saya langsung teringat pada sang Pacar dan betapa ‘sempurna’nya hidup saya setelah mengenal dia. (Ini beda. Kalau dulu, saya merasa dia yang sempurna, tapi kini… saya merasa hidup saya sempurna karena dia. Bukan karena dia tidak sempurna. Tapi karena dia adalah makhluk yang ordinary tapi extraordinary di mata saya…)

Di akhir lagu itu, saya tersenyum. Saya tersenyum lebaaaarrrr sekali. Ada rasa bahagia yang menyusup dengan hangat di dalam hati saya. Membuat saya ingin segera menelepon Pacar dan bilang bahwa saya merindukan dia… Dan bahwa saya hanya mencintai dia, bukan siapa-siapa.. Bukan mantan pencuri cinta yang telah pergi beberapa saat sebelum cinta kami ini saling menyentuh hati…

Karena ternyata, dia sudah pergi….

Karena ternyata saya sudah melupakannya….

Hmmm…I’m totally over him, Cintaku.

Akhirnya… 🙂

ps. Hari ini, saya minta seorang teman untuk mem-bluetooth lagu sempurna itu ke ponsel saya.. dan kamu tahu, saya sedang mendengarkannya sambil menulis post ini… Tahu, what’s the best part? I DON’T FEEL A THING! 😀

when you just can’t picture him in your fantasy…

Sabtu kemarin, saya ‘kencan’ dengan sahabat saya, Lin. Anak edun, sinting, tapi cantik dan baik hati itu menemani saya minum coklat blended di sebuah gerai donat yang menyediakan layanan hotspot gratisan. Kenapa bukan kupi??? Karena maag saya lagi kumat abis-abisan dan Pacar bilang saya musti stop minum kopi untuk sementara waktu… aarrrgghhh… I miss coffee so f**king much! Dan terdamparlah saya di sofa-sofa empuk tersebut, di depan laptop, dan di sisi seorang sahabat yang sepertinya sedang punya banyak cerita.

Dan yah. Ternyata Lin memang sedang overloaded dengan cerita-cerita menyangkut hatinya. Dan karena itulah, saya musti pamit dengan Pacar yang kebetulan sedang online dan mendengarkan cerita-cerita Lin.

Dari prolognya, saya mulai menangkap bahwa dia memang sedang ada di intersection, berdiri nggak jelas di persimpangan tanpa tahu harus mengambil jalan yang mana. Which way to go? The left one? Or the right one? Or should I just go straight ahead?

Ternyata masih soal si lelaki yang sudah bikin hari-harinya berwarna warni tapi…

It wasn’t love, Lala,” kata Lin sambil nyeruput blended chocolate yang saya beli itu *ah, anak ini doyannya gratisan ajahh.. hehe* “Ini bukan perasaan yang sama seperti gua dulu…”

“Waktu sama si Rogal yang nggak jelas itu?” tanya saya sambil ngerasa bete-surete. Ah, kenapa cowok satu itu nggak pernah bisa kabur dari pikiran sahabat saya ini sih?? Kenapa masih sok nekat main-main di hati sahabat saya dan bikin Lin nggak bisa ‘kemana-mana’??

Lin mengangguk. Dia tahu kalau saya benci banget sama si Rogal itu. Cowok yang disebut-sebut sebagai lelaki terindahnya itu. Yang punya segalanya yang Lin inginkan. Fisik yang sempurna, kebisaan yang luar biasa, dan yaa… he was the right man in the right place. Datang ketika sahabat saya merindukan bagaimana rasanya jatuh cinta setelah bertahun-tahun mati rasa.

“Yap. Dengan cowok yang menurut lu ga jelas itu, La,” kata Lin sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. “Tapi sama dia, gua ngerasa itu… Perasaan yang itu, tuh…”

Shivering things?” tanya saya. FYI, Shivering Things adalah istilah saya dan Lin yang merujuk pada getaran-getaran aneh tapi menyenangkan ketika kita bersama dengan seseorang. Ada yang menyebutnya Butterfly, ada yang menyebutnya Zsa Zsa Zsu. Yang jelas, itu perasaan yang sumpah, unbelieably amazing.

“Iya. Itu, tuh. The Shivering Things itu… Dan gua sama sekali nggak ngerasain itu sama Oby. Not a single things. Gua nggak pernah merasa bergetar tiap deket dia. Nyender, ya nyender aja. Deket, ya deket aja. Tapi perasaan gua adem, tenang, dan nggak ada deg-degannya sama sekali…. Argghh.. gua bingung juga La…”

“Bingungnya?”

“Karena temen-temen yang lain pada ribut supaya gua bisa moved on, supaya gua bisa belajar untuk suka sama dia. Never mind about the Shivering Things, yang penting Oby adalah cowok yang baik buat gua…”

Karena memang, Oby bukannya cowok yang nggak baik. Atau jelek. Atau ekstrimnya begini: dia bukanlah cowok yang nggak banget. Bisa dibilang, he’s the right man but in the wrong time and place. Mungkin sama seperti bibit unggul yang ditanam di tanah yang tidak subur. Tidak akan bisa tumbuh dengan baik. Jadi, gimana ‘sempurna’nya Oby… in my bestfriend’s heart… dia tetaplah lelaki yang minus pesona 😦

“Susah, La. Kalau hati udah nggak ngerasain apa-apa, gimana gua bisa moving forward sama dia?” Lin menghela nafas. Saya tahu, dia sedang berjuang mencari tahu apa yang sesungguhnya dia inginkan. Cinta yang sedang tersodor di depan hidungnya atau mengulik-ulik masa lalunya yang masih ada di dalam hatinya. Oh MyShe’s just so devastated, I guess. Capek hati. Hhhh…

“Lin, gua nggak bisa nyaranin elu untuk jalan sama dia atau nggak… Karena ini soal elu nyaman atau nggak sama dia. Selama elu nyaman, ya go ahead. If not, jangan paksa diri elu deh. Karena gua pernah ngerasain itu… dan sumpah, itu nggak enak banget…”

karena ada satu lelaki dalam hidup saya, dulu hadir ketika saya nggak cinta sama sekali, dan butuh perjuangan untuk mencoba menerima dia… Sampai suatu saat saya sadar, kalau saya tetap dekat dengan dia… Saya menyiksa dia… Juga menyiksa diri saya sendiri…

“Ya, ya, gua ingat cerita lu itu, La…” kata Lin. Sahabat saya itu tahu banget sejarah saya. Mulai dari pacar pertama sampai yang terakhir ini. “Dan gua ingat, gimana elu tersiksa banget saat nyoba untuk cinta sama dia… Waktu itu lu terpaksa jadian karena dia yang cinta banget ama elu dan lu dipaksa ama temen-temen kan?”

Saya mengangguk. “Itulah kenapa, gua nggak bisa maksa kalau elu nggak nyaman, Lin. Karena somehow, I just knew that a love without a feeling is so frustrating. Kalau kita nggak punya passion sama sekali dengan pasangan, we have so many excuses to stay away from him… Dan apalah artinya sebuah komitmen kalau kita berlomba-lomba untuk berlari menjauh?”

Kami terdiam. Beberapa saat. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang hilir mudik di depan gerai donat, musik yang berdentum-dentum dari pengeras suara, dan di depan laptop yang layarnya memantulkan cahaya terang itu, kami berdua seperti mencoba untuk mendengarkan suara hati.

Apa sih yang kita cari, Lin?

Yang jelas… gua menyesal karena dulu sudah menyakiti orang itu… Yang gua tinggalin begitu saja karena gua nggak pernah bisa mencintai dia, seperti dia ke gua… Dan ketika sekarang dia udah menikah dan berkata, “Ah, coba waktu itu kamu nggak putusin aku.. Mungkin sekarang kita udah punya anak dua kali, Non…” Gua nggak tahu, apakah gua lega karena dia sudah menemukan pelabuhan sejatinya atau gua sedikit menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan?

Sebelum beranjak pergi dari gerai donat itu dan memutuskan KITA-HAVE FUN-AJA-YUK *yap, dengan belanja-belanja yang nggak penting ituh.. 😀 *, Lin nyeletuk sesuatu yang bikin saya merasa ‘nyesss’ di hati. Sederhana sih, sangat sederhana malah. Karena Lin hanya bilang begini:

How can I’m with someone when I just can’t even picture him in my fantasy?”

…sampai sekarang, Lin masih ada di persimpangannya… dan sedihnya… kali ini, saya nggak tahu musti bagaimana untuk membantu dia memilih.. *because it’s her life… and she has all the right to make every wrong decisions and she also has the right to learn something from those wrong decisions…*

Cinta, saya bersyukur banget, bisa terus membayangkan kamu ketika saya merem atau melek sekalipun… 

*I luv you… Banget! *

-10- Lelaki Dua Puluh

Nice to meet you, Saila,” kata Didit saat mereka berpisah di parkiran.

“Sama-sama, Dit.”

“Aku boleh telepon kamu, kan?”
Saila mengangguk.

“Sampai ketemu lagi, Saila…. Lang, Mon, terima kasih, ya!”

Saat Didit sudah berlalu dari pandangan, Monita menyikut pinggangnya lalu tersenyum-senyum pada Saila sembari melirik-lirik suaminya.

“Mas, Mas, kayaknya kali ini berhasil, deh.”

Mas Gilang hanya tersenyum sementara Saila mulai merasa salah tingkah.
“Monita, kamu ini…”

“Tapi aku nggak salah, kan, Sai?” potong Monita. “Tadi kamu terlihat enjoy sekali sama Didit. Pokoknya nggak seperti cowok-cowok yang dulu pernah aku kenalin ke kamu, deh!”

“Apaan, sih, Mon? Mas, Mas, bisa minta tolong, nggak? Istrinya dijagain, tuh… Lama-lama dia bisa jadi germo, lho.” Saila menoleh pada Mas Gilang yang ada di dekat Monita.

Monita mencubit pipinya sekilas.
“Ini, kan, karena aku care sama Saila, Mas,” rajuknya pada Mas Gilang yang hanya menonton mereka sambil tersenyum kalian-ini-kayak-anak-kecil-saja. “Ya, kan, Mas?”

“Kalau care itu, bayarin listrik, air, gas, belanja bulanan, dan biaya bensin setiap bulan, Mon, bukan jodoh-jodohin begini,” potong Saila.

“Kalau itu, bukan care lagi namanya, Sai, tapi kurang kerjaan dan lupa sama keluarga sendiri!” Mereka tertawa lagi.

“Tapi benar, kan, kamu enjoy sama Didit? Aku, sih, cuman melihatnya dari luar, Sai. Hati orang, siapa yang tahu, betul?” Saila mengangguk. “Jadi, jadi, benar kamu suka sama dia?” tanya Monita tidak sabar.

Sahabatnya tertawa. “Monita, nggak bisa, dong, aku bisa langsung suka sama seseorang. For God sake, aku baru ketemu dia dua jam yang lalu, Mon.”

“Iya, iya, tapi kesan pertama adalah segalanya, kan?”

“Iya, tapi bukan berarti aku bisa langsung suka sama dia, kan, Mon?”

“Tapi, Sai…”

Ladies… please!” Mas Gilang menginterupsi sambil berjalan di tengah-tengah mereka dan membuat Monita berhenti nyerocos. “Urusan itu bisa diselesaikan di lain waktu, kan? Lain waktu, maksudnya, kalau aku nggak ada di antara kalian. Bisa bahaya, lho, kalau aku lapar lagi. Istriku bakal ngomel kalau makanku banyak, Sai… ”
Mas Gilang mencium kening Monita sambil mengedipkan matanya pada Saila yang tersenyum lega.

bersambung…

Catatan Harian

June 2008
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Celotehan Lala Purwono