“Selamat ulang tahun, Saila Retnani…”
Kalimat itu yang muncul pertama kali saat Saila tiba di kantor dua hari berikutnya dan melihat Monita cengar-cengir di dekat mejanya dengan sepotong kue tar, yang pastinya, tanpa lilin.
“Huh, basi, tahu!”
Monita malah tertawa. “Maaf…maaf, deh. Kemarin aku lupa telepon kamu, Sai. Kamu tahu, kan, anak-anakku itu sudah seperti penjahat di rumah sendiri? Kemarin mereka mengacak-acak rumah, menjatuhkan vas bunga, dan kamu tahu, Sai? Erick malah kemarin pura-pura jadi Spiderman dan maunya cuman jalan merayap di tembok! Lama-lama aku perlu konsultasi ke psikiater, deh, Sai! Takut gila duluan!”
Saila tertawa. “Untuk orang segila kamu, aku maafkan, deh, kamu melupakan ulang tahunku…”
Sambil tersenyum, Monita merangkul sahabatnya lalu mengecup kedua pipinya. “Jadi, nanti malam kita makan-makan, ya?”
“Uh, harusnya aku tahu kalau ujung-ujungnya kamu cuman minta traktir!” kata Saila sambil pura-pura merengut, meskipun sebenarnya, dia sudah berencana untuk menraktir sahabatnya di restoran baru, dekat kantor mereka.
“Bukan, Sai, justru aku yang ingin menraktir kamu.”
Wajah Saila langsung berubah, heran.
“Serius,” kata Monita saat melihat perubahan wajah sahabatnya. “Nanti malam aku mau mengajak kamu makan malam. Gratis, kok. Aku yang bayar.”
“Kamu? Nraktir aku padahal seharusnya aku yang menraktir? Hmm… kayaknya ada yang nggak beres, deh…”
“Haha, hidungmu itu tajam banget, sih, kayak si Bruno-ku!”“Sialan, sejak kapan aku bisa sama kayak anjingmu yang bisanya cuman ngiler itu?”
“Sejak insting kamu tajam seperti anjing!” Mereka tertawa.
“Jadi, apa rencana ‘busuk’mu, hem?” tanya Saila setelah mereka berhenti tertawa.
“Aku mau kamu ketemu seseorang, nanti malam.”
“Aduh, Mon… Hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah berkencan buta sama calon-calon suami di dalam khayalanmu itu, Sayang…”
“Sudah, dong, Sai. Kan aku nggak beli kado buat kamu, jadi anggap saja, cowok ini adalah hadiah ulang tahun buat kamu…”
“Dan di mana kamu belinya? Di Gays and Playboys counter?”
Monita tertawa lagi. Kali ini lebih kencang.
“Yang satu ini, pasti kamu cocok, deh, Sai. Percaya, deh…”
Kalimat andalan yang mengakhiri ‘perseteruan’ tidak penting di Senin pagi.
bersambung…