archives

Archive for

becoming Lala

Becoming Lala.
Hm, judulnya saja mirip banget dengan judul film yang dimainkan Anne Hathaway, yang bercerita soal penulis buku terkenal ‘Pride and Prejudice’, si Jane Austin itu. Di sini saya nggak akan nekat menyama-nyamakan diri saya seperti Anne Hathawat apalagi Jane Austin yang karyanya fenomenal itu, tapi saya ingin cerita tentang satu topik yang menggugah perasaan saya belakangan ini. Tentang gadis-gadis muda belasan tahun yang menyiksa teman sendiri. Atau tentang laki-laki bertubuh tegap dan gagah yang menyiksa kawan-kawannya atas nama pembentukan mental.
….C’MON! You’re kidding, riiittteeee????

Jujur, saya emosi sekali setiap melihat, mendengar, atau membaca kasus-kasus yang menyangkut soal kekerasan. Bukan karena trauma atau apa, but I hate it when it comes to violance.. but, siapa yang nggak sih? Memangnya kamu cuek-cuek aja dan nggak merasa miris karenanya?

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah liputan tentang ini di salah satu televisi swasta. Di situ ada beberapa cuplikan video tentang ‘penyiksaan’ mereka (Gang Nero atau apalah namanya) itu. Ahhh….. miris banget saya melihatnya. Dan di situ juga ada komentar beberapa psikolog terkenal yang semuanya berasumsi bahwa, “remaja seusia mereka memang sedang masa-masanya mengaktualisasi diri… Dan cara yang paling cepat dan mudah adalah dengan pengakuan teman-temannya.”

Hah?? Mengaktualisasi diri??? Tidakkah kalian punya cara lain untuk menunjukkan siapa kalian??? — itu pikiran saya yang bikin saya geleng-geleng kepala. Tidakkah ada cara yang lebih bisa ditolerir selain memukul keras-keras anak orang lain?? Pernahkah kalian berpikir bahwa bisa saja kalian yang ditendang, dipukul, dijambak, dicemplungin sungai cuman bercelana dalam saja, sampai kalian menggigil
 kedinginan dan bisa mati rasa???

Saya langsung mengelus dada. Oh My God… kenapa aktualisasi diri menjadi sebegitu pentingnya yaa???

Dan lalu, saya flash back ke masa lalu saya, sambil bertanya, “What the hell did I do to show to the whole universe that I was exist?”

Yang pasti, saya tidak mukul-mukul teman. Haha, walaupun jika ditilik dari body saya yang sangar mirip satpam ini, saya bakal jadi lawan yang tidak tertandingi oleh tubuh-tubuh mungil kawan saya yang lain. Badan saya ini memang tinggi besar, bongsor kayak Alm Mami. Kalau mau maen jagoan, mungkin saya ini bisa banget jadi kepala Preman 😀

Dulu, karena saya hobi menulis dan menyanyi, dari kecil sampai besar alias SD sampai kuliah, saya nggak malu untuk menunjukkan kebisaan saya *okay, tidak hebat, tapi saya bisa* Lomba nulis cerpen *eh, menang lho dulu waktu SD.. hehe*, lomba nyanyi, atau bukan lomba.. misalnya mendaftar jadi pengisi acara Tujuh Belasan di sekolah… Di situ saya berusaha melakukan yang terbaik, sampai akhirnya orang-orang menjadi ngeh kalau yang namanya Lala itu bukan terkenal karena bandelnya, gendutnya, sablengnya, dll dsb, tapi juga karena dia memang bisa menulis/menyanyi.

Tapi apa yang terjadi buat mereka yang tidak punya hobi??? Atau bakat???

Ah, inilah yang susah. Bagaimana mereka bisa ‘dikenal’ dan ‘diakui keberadaannya’ kalau mereka hanya diam saja di pojokan sambil merenungi nasib mereka yang tidak punya hobi/bakat seperti teman-teman mereka yang lainnya. Mereka menjadi pemandangan kontras buat sekelompok orang-orang berbakat yang sedang adu basket di lapangan dan mereka hanya duduk sendiri sambil merasakan hati yang iri.

Hmmm…

Padahal, asal tahu saja, tidak perlu bakat atau hobi yang spesifik agar orang menjadi ngeh terhadap keberadaan kita. Tidak perlu mengubah diri kita menjadi orang lain agar mereka tahu bahwa kita juga ada di sekitar mereka. Ok. Jangan sampai melakukan tindakan aneh-aneh hanya supaya teman-teman tahu bahwa kita adalah ‘something’. Karena kalian tahu? Bahwa modal untuk menjadi ‘something’ adalah sangat murah.

Ya. Totally cheap. Tidak butuh biaya sama sekali.
Apakah itu?

JADILAH ORANG YANG BAIK.
Ha??? Jadi orang baik, La???

Iya. Jadilah orang yang baik. Nggak usah sok garang. Nggak perlu sok jadi tukang Palak. Banyak senyum.. ah, secukupnya, sepentingnya saja, biar nggak dibilang orang gila :mrgreen: Kalau ada teman minta tolong, help them… Ringan tangan, rendah hati… Dan ya, jadilah teman yang baik. Jadi telinga untuk mendengar, jadi tong sampah untuk semua curhatnya kalau perlu. Dengan begitu, otomatis orang lain akan melihat bahwa kita ini orang yang baik. Dan orang baik semacam kita ini akan dengan sendirinya mendapatkan tempat di hati orang lain. We are automatically exsisted! ^_^

Dan tau nggak sih.. Hormat dan segan itu tidak bisa disuruh *hell, apalagi dengan kekerasan!*… tapi hormat dan segan itu HANYA BISA DILAKUKAN jika memang kita PATUT UNTUK DIHORMATI DAN DISEGANI. Itu otomatis kok. Tinggal kitanya sendiri bagaimana…

Ahh..
Sekarang saya sudah menjadi seorang Lala: Perempuan 28 tahun yang cerewet, bawel, bandel, suka usil, moody abis, tapi bisa nyanyi dan nulis serta punya teman yang seabrek-abrek…. Percaya nggak sih, kalau proses menjadi saya hari ini adalah dengan cara menjalani semuanya bagai alir dan mencoba melakukan yang terbaik buat saya dan orang lain? Bahwa saya hanya melakukan apa yang saya bisa dan tidak menuntut orang lain untuk mencintai saya?

Karena saya tahu…
If they love me.. then they do.
And if they don’t… I can’t force them to do so
(thanks Om! Ini kan dari kamu…hehe)

I’m becoming myself without torturing anyone else. Many people are doing exactly the same.

Jadi kamu juga jangan yaahh.. Please???

 

merry go round…

Saya pernah cerita nggak ya, kalau pacar saya yang sekarang ini adalah seorang pemain musik? Ok. Dia bukan pemain band semacam Dewa, Padi, Ungu, dll dsb. Dia hanya bisa bermain musik, meskipun kebisaannya ini membuat dia dikagumi banyak orang. Dia bisa memainkan satu alat musik yang saya cintai banget. Yang sudah saya pelajari dari jaman dulu tapi tetep saja yang kehafal hanya chord-chord standar. Yang sampai bangkotan sampai hari ini, sampai alat musiknya rusak dan almarhum, tetep saya nggak bisa menguasai. Ya… alat musik yang paling saya sukai itu adalah Piano.

I love this music instrument karena alasan yang cukup melankolis. Ah, ini pasti beda dengan alasan Om Trainer yang juga suka banget sama Piano dan bahkan sempat menuliskan tentang sejarah Piano di blognya. Om memiliki musikalitas tinggi. Sedangkan saya? I just love to hear the sound of a piano… Ketika tuts-nya ditekan.. bergantian dengan irama yang indah… Yang kadang menghentak, kadang mendayu-dayu, tergantung mood atau suasana hati.

Ahh… cinta sekali saya sama alat musik ini…

Makanya, kalau saya sedang nyanyi, hampir selalu saya request pemain band-nya untuk mengiringi saya dengan piano saja, tak perlu full band. Dengan improvisasi di sana sini, I don’t know, sepertinya sebuah lagu jadi terlihat melankolis… Dan rumantiz… *tapi kalau liriknya Cucakrowo-nya si Didi Kempot, apa bisa jadi rumantiz yaaah? hehe*

Eniwei.. bisa terbayang bagaimana bahagianya saya ketika akhirnya saya bisa punya pasangan yang pemain piano ini kan? Betapa girangnya saya bisa menyanyi diiringi kekasih sendiri, menyanyikan lagu favorit kami berdua “Over The Rainbow” sambil saya duduk di sampingnya yang sedang asyik memainkan jari-jemarinya di tuts-tuts berwarna hitam dan putih itu… Uh, Guys.. Untuk a living drama queen dan Hollywood Dreamer seperti saya ini, kejadian itu benar-benar a picture perfect… *Dan kata pacar saya, “Kamu udah kebanyakan nonton film, Sayang…* haha…

Ah… karena saya ini orang yang suka mimpi, saya malah pernah mengusulkan dia untuk bikin duet semacam Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Ah, kenapakah gerangan??? Karena saya ini suka bikin lirik lagu tapi buta nada, sedangkan dia melek banget soal musikalitas. Segala macam istilah soal musik kadang membuat telinga saya beribet mendengarnya. Tapi ya, kalau sedang jatuh, mau ribet kayak apa juga ayuk aja..hehe

Ide itu sudah dengan bahagianya saya sampaikan sama dia… dan apa komentarnya???

“Udah, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kamu fokus nulis novel ajah…”

DZIIGGGHHH…. Ih pacar.. kok kamu gitu banget sih.. 😀

Tapi tetep saja, itu tidak membuat saya berhenti mengagumi lelaki baik yang pintar main piano itu. Betapa saya beruntung hidup saya menjadi penuh musik dan lagu-lagu indah sejak saya kenal dengannya dan sejak dia melimpahi saya dengan cinta yang unbelievably amazing

Ya.

Kini saya tahu apa yang dibilang OM NH saat mengomentari post saya yang berjudul “It’s a Roller Coaster. Dare to Ride?” He just said, that his life is like a merry go round. Sedikit ups, sedikit downs. Tapi berwarna-warni.. Tapi penuh musik…

Hmm… Om.

Sekarang saya tahu, bagaimana hidup yang seperti Merry Go Round itu.

Karena sejak ketemu pacar saya yang sekarang ini… my life is simply like a merry go round… full coloured scenes with beautiful songs as its soundtracks…

…saya nggak mau ganti wahana dulu, ya, Sayang? I want to stay here as long as I can….  Luv ya…

Protected: my pretty, pretty nails

This content is password protected. To view it please enter your password below:

-8- Lelaki Dua Puluh

Yes. Officially, I’m turned 39.”

Ibnu hanya tersenyum. “Perempuan umur 39 yang paling cantik di mataku, Mbak.”

Saila membiarkan Ibnu merangkul pundaknya dan mereka bersandar di punggung kursi teras sambil memandang apa saja yang terbentang di atas langit. Rasanya dia memang masih membutuhkan Ibnu untuk melewatkan hari ini. Dia belum ingin menyuruh Ibnu pulang untuk ‘kembali’ ke dalam hidupnya seperti setiap kali Saila merasa lelaki ini telah memasuki hatinya terlalu dalam.

“Nu, boleh tanya, nggak?” Ibnu hanya meng-ehem tanpa berkata apapun, tapi merangkul Saila lebih erat. Saila merapatkan tubuhnya dan membiarkan aroma tubuh Ibnu melekat sempurna di tubuhnya.“Kenapa tadi lilinnya hanya satu, sih? Nggak kenapa-kenapa, kok, Nu, kalau kamu taruh angka 3 dan 9 di atas kue tar… Bagaimanapun, itu tetap umurku, kan? Aku, sih, nggak keberatan, Nu…”

Ibnu menoleh dan menatap kedua mata Saila.
“Mbak, aku juga nggak keberatan dengan umur Mbak yang 39, kok. Cuman tadi aku memang nggak sempat beli dan yang ada cuman lilin-lilin kecil itu… Tadinya mau aku taruh semuanya, tapi nggak cukup, Mbak… Terlalu banyak, sih…” Ibnu menyengir genit lalu mencubit ujung hidung Saila sekilas sambil mengatakan, “Aku bercanda, kok, Mbak… Satu batang itu artinya tahun pertama aku merayakan ulang tahun Mbak Saila…”

Saila tersenyum. “Ibnu, Ibnu, sudah, deh. Aku memang sudah tua, kok. Tahun depan aku 40… Laki-laki mana yang mau sama aku, ya?”

“Nggak usah repot-repot mencari, deh, Mbak, kan sudah ada aku,” tutur Ibnu dengan senyumnya yang khas. “Sampai berapapun umur Mbak Saila, aku tetap mau, kok, percaya, deh.”

Sampai aku kehabisan duit untuk suntik botox dan ikut program pelangsingan, kamu tetap mau sama aku, Nu? Sampai aku menyerah dengan kulitku yang mengendur, perutku yang buncit, dan wajahku yang sudah tidak segar lagi, kamu masih menganggapku perempuan yang cantik? Bisakah, Nu? Bahkan saat Biyan melihatku di ‘masa-masa keemasanku’, dia malah memilih Nyna, bukannya aku…
Hati Saila bergetar.

“Kita jadi membahas ini lagi, Nu, padahal Mbak capek harus terus-menerus mengulang-ulang hal yang sama…”

“Tapi aku nggak akan pernah capek untuk bilang sama Mbak kalau aku…”

“Ibnu, please.” Saila memotongnya. “Aku nggak ingin memikirkan apa-apa malam ini, selain duduk berdua sama kamu, dan melihat bintang-bintang. Kita jalani aja semua ini seperti air, Nu,” tukas Saila sambil menoleh dan memandangi Ibnu yang seperti menahan perasaannya. “Boleh, ya? Ini kan hari ulang tahunku…”
Ibnu hanya mempererat pelukannya lalu memandang langit.

Sambil menyandarkan tubuhnya dan merasakan kehangatan tubuh Ibnu, Saila ikut menatap langit dan larut dalam diam. Dia tidak melihat Mbok Darmi yang diam-diam memperhatikannya di balik jendela, hanya ikut tersenyum dan menitikkan air mata harunya. Mbok Darmi yang selalu menganggap Saila adalah anak gadisnya sendiri, serta menganggap Ibnu adalah lelaki yang tepat di waktu yang salah.
Saila memandangi Ibnu diam-diam dengan ujung matanya.
Ibnu…
Asal kamu tahu, sesaat sebelum meniup lilin tadi, aku berharap kamu bukan lagi dua puluh, tapi tiga sembilan…

bersambung…

Catatan Harian

June 2008
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Celotehan Lala Purwono