“Orang-orang itu memang keterlaluan, ya, Sai?” Monita yang sibuk mengingatkan Saila lagi pada kekesalan hatinya. “Apa, sih, urusan mereka?”
Saila tersenyum. “Mungkin mereka care sama aku, Mon, tapi caranya yang salah…”
“Yeee… perhatian gimana? Sai, Sai, yang namanya perhatian, tuh, mencari pasangan buat kamu, bukannya menggosip yang nggak-nggak! Huh, bikin kesel aja!”
“Sudah, lah, Mon, percuma kamu kesal sama mereka, toh mereka nggak pernah bisa berubah, kan? Aku, sih, sudah kebal sama mereka, Mon. Mungkin karena ini sudah gosip yang kesekian kalinya, jadi lama-lama badanku punya imun…”
Monita terlihat serius lalu menyerah setelah melihat Saila bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Sai, tapi yang paling penting… kamu baik-baik aja, kan?”
“Apa? Aku?” Saila menyentuh tangan Monita. “Mon, Mon. Kamu tahu, kan? Hatiku sudah terlalu capek untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Kamu pasti ingat gimana Biyan sudah menghabiskan seluruh kepedulianku, kan? Jadi, jangan khawatir, deh. Aku nggak sakit hati, kok…”
“Sai… jangan bohong, deh.”
“Hei, bohong sama kamu itu dosanya sama kalau aku bohong sama ibuku sendiri, Monita,” balas Saila sambil tersenyum.
“Tapi, Sai…”
“Apa lagi?”
“Mm… kamu yakin kamu nggak tersinggung dengan kata-kata mereka?”
Wajah bulat telur Saila menggeleng. “Nggak, tuh. Kenapa harus tersinggung, sih, Mon? Pekerjaan utama mereka di kantor, kan, memang cuman untuk bergosip, jadi buat apa aku susah payah mikir? Betul, kan?”
“Iya, sih…”
“Ya, sudah. Terus, apa?”
“Mm… I couldn’t help but wonder, Sai. Kalau memang Brondong bukan buat obyek seks semata, lantas, dia itu ‘apa’?”
Dan pertanyaan itu menyesak lagi.
bersambung…