you're reading...
Novelet Bersambung: Behind The Door

behind the door (21) : back to the future

Di atas pesawat yang membawa gue pulang ke Jakarta, pikiran gue mengembara kemana-mana. Gue nggak bisa ikut bersenang-senang sama Erick, Daanish, Mas Ben, atau Miko yang terlihat asyik mengobrol soal, I don’t know, gue sendiri seperti nggak mendengarkan apa-apa, selain suara hati gue.

What was his intention?
Just went to my place and looked for me to tell me, what? Miss me? Please forgive me?
Or something like this.
“I’m planning to marry Jo…”

Tapi soal desperado itu, apa memang dia masih sangat sayang sama gue? Kalau bukan karena itu, kenapa Nabila musti wanti-wanti gue harus hati-hati supaya nggak termakan rayuan si Lelaki Bodoh itu?
Gue sengaja nggak cerita Daanish, atau Erick.
Gue takut aja mereka bisa membaca pikiran gue yang… happy, ya, sedikit merasa euforia karena out of the blue, Robbie mencari gue…
Hati gue berdebar-debar, seiring dengan putaran jarum jam di pergelangan tangan gue. Rasanya gue ingin segera sampai di kost dan menginterogasi Nabila, tapi tentunya dengan menyembunyikan kegembiraan ini.
Ya.
I admit.
I’m happy
.
Bukan. Gue bukannya bahagia karena hubungan gue sama Robbie masih ada harapan, tapi lebih karena perasaan BANGGA karena ternyata… he was looking for me…
Desperately!

Here I am again
Above the green of hills and trees
The clear of rivers and streams
And roads and pathways
I am going home again
Not to be close to him
But, to stay away…
 

***

Nabila jadi orang pertama yang gue cari sesaaat setelah gue keluar dari taksi. Cewek manis keturunan Arab itu langsung gelagapan melihat tingkah gue yang mirip banteng mau nyeruduk Matadornya.

“Sabar, Jeng, sabar…”

Dia malah berlari ke balik Pingkan yang ukuran badannya big size itu. Ratna yang lagi asyik menonton teve malah dengan cueknya mengganti channel, bukannya senang menyambut gue yang sudah susah payah membawa oleh-oleh buat dia.

 “Ih, enak aja! Ngapain lo sembunyi segala, sih, Laaa!! Gue cuman pingin tahu…”

“Pingin tahu apa, sih, La?” Soal gosip, sesibuk-sibuknya Ratna, dia pasti nggak akan ‘tega’ melewatkan kesempatan emas seperti ini.

Dengan tampangnya yang horny, dia sudah memasang posisi anteng, siap menerima umpan.

“Soal si Lelaki Bodoh, Rat…” timpal si Pingkan sok yakin. Dan memang betul, sih…

“Ooooh… jadi Sasya penasaran gitu, maksudnya?”

“Iya, dia penasaran kenapa LB nyariin dia…”

“Heiii!!! Kok kalian jadi alih profesi jadi peramal, sih???”

“Abis, apa, dong? Datang-datang malah ngejar Nabila bukannya ngasih oleh-oleh…” gerutu Pingkan.

Gue jadi tertawa.
Ah, iya, ya. Gue lupa kalau tiga teman gue ini pasti lebih membutuhkan oleh-oleh gue daripada cerita sedih gue karena Robbie mau kawin sama Jo…
Eh, apa malah mereka sudah tahu, ya?
Kok mereka kelihatan cuek-cuek aja?

“Inniiii… Kalian pilih sendiri aja, tapi yang satu paket itu gue beli khusus buat Ibu Ida, lho…”

Seperti semut melihat gula, tiga orang manusia itu berebut membongkar tas besar berisi banyak barang itu. Pingkan yang paling gedhe tentu punya kesempatan lebih besar karena ekstra energi. Belum lagi badannya yang besar itu langsung menghalangi dua temannya yang berukuran mini itu.
Daripada melihat pertempuran darah seperti itu, mending gue mencari Bu Ida, aja, ah…

“Bu… Bu Idaaaa…! Sasya sudah pulang, lho…”
Belum lama, Bu Ida sudah muncul dari balik pintu kamar dan langsung memeluk gue.

“Sasyaaa!! Ibu kangen, deh…”

“Sasya juga, Bu… Anak tiga itu nggak ngerepotin, kan, Bu? Nanti Sasya cubit satu-satu kalau mereka nakal…”

Ibu Ida menggeleng sambil tersenyum.
“Nggak, kok, Sas. Mereka nggak nakal. Cuman, biasa lah… Si Pingkan masih sering menghabiskan stok beras Ibu…”

Gue tertawa.
Gue kangen Bu Ida. Kangen Ratna, Pingkan, Nabila… Kangen kebiasaan-kebiasaan gue di sini. Kangen sama hal-hal kecil yang biasa gue lakukan di sini.

Nggak nyangka aja, setelah satu bulan, ternyata keadaan nggak jauh berubah. Rumah kost masih seperti dulu, si Pingkan masih gendut-gendut aja, hidung Nabila masih mancung, Ratna masih doyan melihat infotainment…
Mungkin hanya satu yang berubah.
Gue berangkat, with a baggage full of hopes.
Dan sekarang gue pulang, with an empty baggage.

*sigh*

“Gimana Surabaya, Sas? Kamu betah di sana?”

“Mmm… lebih enak di Surabaya, Bu, nggak macet. Tapi… panasnya itu lho, yang nggak kuat. Sasya sampai malas kemana-mana…”

“Malas kemana-mana tapi oleh-olehnya sebanyak itu?” Rupanya Bu Ida melihat pertempuran darah di ruang teve yang ternyata belum selesai-selesai juga tapi malah berlanjut ke ronde berikutnya!
Gue tertawa lagi.

“Kalau lagi belanja, lupa sama panasnya, Bu…”

“Anak gadis di mana-mana memang suka belanja ya, Sas… Anak ibu yang di Jogja itu juga suka bawain oleh-oleh setiap pulang ke sini…”

“Iya, Bu. Mungkin itu sudah kutukan, ya?”

Ibu Ida menyentil hidung gue.
“Eh, kamu istirahat dulu, gih. Ibu lihat kamu kecapaian sekali…”

“Iya, deh, Bu. Sasya ke kamar dulu, ya? Maaf oleh-olehnya nggak banyak…”
“Yang penting orangnya kembali utuh, Sas, bukan oleh-olehnya…”
Gue melirik Ratna, Pingkan, dan Nabila yang masih bergelut di ruang teve.

<Kayaknya bagi mereka, yang penting oleh-olehnya utuh… bukan gue… Dasar kebo semua…>

“Ya sudah, istirahat sana. Kamarnya sempat Ibu bereskan, Sas, nggak apa-apa,kan?”
Gue menggeleng.

“Sasya ke kamar, ya…”

Setelah beberapa langkah menjauhi Bu Ida, tiba-tiba perempuan seumuran Nyokap itu memanggil gue lagi.

“Ya, Bu? Kenapa?”

“Ibu lupa cerita sama kamu, Sas.”

“Cerita apa, Bu?”

“Kemarin Robbie mencari kamu… Memangnya dia nggak tahu, ya, kalau kamu ke Surabaya? Kalian bertengkar lagi?”

“…”

“Kok kayaknya dia putus asa begitu, ya, Sas…”

“…”

“Kalian kenapa lagi?”

“…”

“Robbie itu anak baik, lho, Sas… kalian jangan berantem melulu, ah…”

“…”

“Kelihatannya dia sayang sekali sama kamu, Sas…”

“…”

“Wis, ojo berantem terus…”

“…”

“Oh, ya. Katanya nanti malam dia mau ke sini lagi, lho, Sas…”

‘Cos here in my heart
There’s a dream that’s unbroken
Ain’t gets in my way
But it won’t be denied
Here in my heart the door is still open
Waiting for you to walk into my life

to be continued

behind the door (22) : the closure

About Lala Purwono

Published writer (or used to be, darn!). A wife. A mom. A friend that you can always count on.

Discussion

2 thoughts on “behind the door (21) : back to the future

  1. mbak,bisa dikopiin pdfnya cerita ini dari awal sampe akhir???
    soalnya saya baru nemublog ini dari rere. dan keknya bagus!

    ya.. ya… dikirim sajah pdfnya di imel saya yang ini. oke… thanks!!
    *ngarep mode on*
    *gak bondo mode on*
    *ngerpoti mode on*

    Posted by ndop | June 13, 2008, 2:59 pm
  2. huahaha.. ngguling-guling

    Posted by trijokobs | June 13, 2008, 4:06 pm

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Catatan Harian

June 2008
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Celotehan Lala Purwono

%d bloggers like this: