archives

Archive for

what will you be?

Setahun kemarin, saat masih giat-giatnya memanfaatkan fasilitas kantor buat ikut les di English First secara gratisan *oh kantorku.. I love you so much! mmuachhh… 😀 *, ada satu sesi di kelas conversation yang saya ikuti saat itu, di mana kami harus mengisi kolom-kolom tabel yang sudah tersedia.

Kolom-kolom itu berisikan: What will you be in… a year, 5 years, 10 years, 20 years, and 50 years.

Jawabannya ternyata beragam — ya iyalah, namanya juga manusia yang beda-beda.. Kalau sama, dunia nggak jadi seru lagi.. 🙂 Continue reading

terimakasih….

Terimakasih…

Buat mimpi semalam yang sudah bikin saya bangun lebih segar… Meskipun ngantuk dan bikin saya malas kerja lalu pingin bolos lagi, tapi saya bersemangat untuk datang ke kantor…

Terimakasih…

Buat email dari seorang teman yang telah mengingatkan saya bahwa hidup ini bukannya tidak adil… Bukan saya saja yang menderita, menggelepar-gelepar sendirian… Ok, mungkin terkesan egois karena saya seolah menari-nari di atas penderitaannya.. Tapi saya mempelajari sesuatu dari situ. Saya belajar banyak dari situ. Bahwa apa yang saya tabur, itulah yang akan saya tuai. Saya mengerti sekarang. Jauh lebih mengerti.

Terimakasih…

Buat kopi enak yang saya bikin pagi ini. Cappucino yang super enak dengan choco granule-nya yang super yummy. Pagi ini dimulai dengan kopi yang hangat dan e-mail yang inspiring… Bikin saya merasa hidup jauh lebih menyenangkan… Bahwa a new day has just begun

Terimakasih…

Meskipun kemarin saya uring-uringan.. Memaki-maki dia dan menghadiahinya jutaan topan badai yang terkutuk… Tapi sebuah penghiburan luar biasa datang dari seorang Ayah… Ayahnya. Bahwa semua ini akan baik-baik saja. Bahwa saya musti lebih sabar dan ikhlas menghadapinya. Bahwa ini akan lewat dan membuat kami tersenyum bahagia… I know, terdengar begitu penuh dengan pengharapan. Tapi setidaknya… saya tertidur dengan mimpi indah dan bangun dengan sebongkah keyakinan bahwa saya berhak untuk bahagia…

Terimakasih…

Buat menghadirkan orang-orang baik ini untuk saya.. Si Bebek, Si Om, Lin, dan Ly… terimakasih karena menghadirkan mereka buat saya, sehingga saya bisa melewati semalam dengan hati yang lebih dingin…

Terimakasih juga…

Buat celana panjang yang akhirnya muat lagi di pinggang saya… :mrgreen:

Buat senyum di wajah saya….

Dan…

Buat segala nafas yang saya hirup dan saya hela…

Ya.

Thank you.

For everything.

 

maaf kalau saya lupa bersyukur padaMu akhir-akhir ini…

….she’s finally made it

Masih ingat Eyva?

Perempuan yang saya ceritakan di post saya yang ini? Perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi lelaki yang akhirnya meninggalkannya?

Setelah sekian lama tidak berkomunikasi *hell, ternyata dia memang sengaja untuk tidak berkomunikasi dulu till everything’s under control* akhirnya pagi ini dia mengirim sebuah e-mail yang serta merta membuat saya merasakan emosi yang campur aduk.

Gemes banget…

Sedih banget…

Dan… lega banget.

Ya. Those mixed emotions yang bikin pagi ini terlihat warna warni.

Ceritanya dimulai dengan permintaan maaf. Kenapa? Continue reading

behind the door (16) : his lost, not mine

The reality, really, bites.
Saat Laura berhenti cerita, gue langsung nggak tahu harus melakukan apa-apa. Rasanya, kenyataan itu terlalu menyakitkan buat gue.
Ya.
Karena gue masih, somehow, berharap akan datang keajaiban meskipun gue sudah tahu persis, Robbie sudah melupakan gue…

Akhirnya gue menangis.
Denial kayak apapun nggak akan bisa membuat gue berhenti menangis dan menganggap semuanya under control. Gimana gue bisa pura-pura nggak sedih, kalau ternyata gue benar-benar SEDIH?
Robbie sudah mengkhianati gue sejak delapan bulan yang lalu…
Delapan bulan yang lalu.
Padahal seingat gue, meskipun kita sering bertengkar untuk mempermasalahkan hal-hal yang sepele, kita masih sering bercanda-canda. Masih sering berbagi cerita, saling memeluk, bahkan mencium…
Apa arti delapan bulan itu, Rob?
Apa?

You were everything, everything that I wanted
We were meant to be, supposed to be
But we’ve lost it
And all of those memories so close to me
Just fade away
All this time you were pretending
So much for my happy ending…

Erick, lelaki ajaib yang seperti punya radar setiap gue sakit hati, akhirnya malah jadi penyelamat gue.
“Sas… gue denger dari Laura… Gue tahu ini sakit, Sas, tapi harusnya lo bersyukur karena lo tahu dari sekarang. Ini jauh lebih baik daripada lo terima undangan kawinan dari dia, kan?”
Erick memang nggak pernah kenal dengan ‘basa-basi’. Itu yang gue kagumi dari dia. Tapi untuk sekarang ini, gue rasa dia nggak perlu terlalu straight to the point begitu, deh…
“Terserah lo mau bilang gue nggak punya hati, nggak punya perasaan, lelaki tahunya apa, sih… Tapi… yang gue tahu, kalau Robbie emang kayak gitu, berarti… bukan lo yang nggak pantas buat dia, Sas, tapi lo yang kebagusan buat dia.”
“Rick… tapi hati gue sakit, Rick… Sakit banget…”
“Iya, gue tahu. Hati lo bukan buatan pabrik, Sas, jadi gue ngerti kalau lo sakit hati. Tapi, Sas… coba, deh, lo keluar dari segitiga ini.”
“Maksud lo, Rob? Segitiga? Which triangle?”
“Segitiga ‘lo-Robbie-that bitch’.”
“…”
“Kalau lo ada di dalam, lo akan selalu menganggap lo itu korban. Tapi kalau lo keluar dari segitiga itu dan melihat semuanya dari luar, lo pasti akan bersyukur karena tahu Robbie bukan cowok yang baik buat lo, Sas…”
“…”
“Sas, satu hal yang perlu lo ketahui.” Erick, dengan lagak psikolog terkenal, yang gue yakin banget sudah menular dari Karina, memegang bahu gue dan berkata perlahan, “It’s his lost, Sasya. Not yours. Percaya gue, ya?”

 

to be continued

behind the door (17) : WHY HER?

Catatan Harian

June 2008
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Celotehan Lala Purwono