Special dedicated for: Lin, Ly, Tat, Yun, dan Els *I love you, Girlz…!*
Sahabatmu adalah pasangan jemarimu,
jadi genggamlah ia.
ketika kamu takut, genggamlah ia erat-erat.
biarkan ketakutanmu mengalir, biarkan resahmu menyelusup di antara genggamannya, sampai gelisahmu hilang dan kau bersyukur telah menggenggamnya.
ketika kamu bahagia, genggamlah ia erat-erat.
biarkan bahagiamu mengalir, biarkan letupan-letupan riang bermain-main di telapak tanganmu, bersentuhan dengannya, dan kau bersyukur ada jemari lain yang menjaga rasa bahagia itu tetap ada di dalam genggamanmu.
Sahabatmu adalah detakan jantungmu,
jadi dengarkanlah ia.
Ia akan selalu berdetak untukmu, memberitahu ketika jantungmu berpacu terlalu cepat, juga ketika jantungmu melemah dan kau kehilangan gairah.
Ia akan selalu berdetak untukmu, bahkan ketika kau ingin menutup kupingmu rapat-rapat dan tak mau mendengarnya.
Ia takkan pernah berhenti berdetak, karena ia sahabatmu, karena ia ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.
Ia akan selalu bersamamu, di dalam tubuhmu.
Sahabatmu adalah sebelah kakimu,
jadi melangkahlah bersamanya.
Ia tak pernah melangkah bersamaan dengan kamu, karena kau akan melompati waktu-waktu yang tak pernah kau tahu seberapa indah, karena ia tak ingin kamu kehilangan menit-menit yang mungkin indah itu.
tapi ia akan berada di belakangmu,
atau di depanmu.
Ketika kau di depan, ia akan mengawasimu dari belakang.
Dan ketika kau di belakang, ia bukan hanya berusaha untuk melindungimu dari belukar, menyisir jalanan yang akan kau lewati agar kau baik-baik saja, tapi ia juga ingin kamu mengawasinya dari belakang.
Karena kamu adalah sahabatnya.
Tapi,
Sahabatmu bukanlah pasangan sayapmu.
Sahabatmu tidak akan mengatur kemana kau akan terbang, atau kapan saja kau ingin terbang.
Ia akan menjadi angin yang berhembus di bawah sayap-sayapmu, membantu kamu terbang kemanapun kau inginkan, kapanpun kamu mau.
Ia akan berusaha selalu berhembus untukmu, ia akan selalu mendukungmu kemanapun arah yang kau tuju.
Dan ketika sahabatmu ingin terbang, ia juga ingin kamu menjadi angin untuknya, meyakinkan dirinya bahwa kamu selalu ada buat dirinya.
Jadi,
Jika kau takut atau bahagia, bagilah denganku,
Karena aku akan selalu ada untukmu, berdetak untuk jantungmu,
dan akan selalu memperhatikanmu dalam setiap langkahmu,
Dan,
ketika kamu ingin terbang,
aku tak ingin menjadi sayapmu, mengatur arah cita-citamu,
tapi akan selalu menjadi angin yang ada di balik sayapmu, membantumu terbang menggapai keinginanmu.
Karena satu hal yang pasti,
SAHABATMU adalah aku.
Aku sangat menyayangi kalian semua….
Oh My… kangen sekali sama kalian nih… Hix!
Beberapa malam yang lalu, saya sempat terlibat ‘debat kusir’ dengan Pacar. Cuman karena saya bilang sama dia, kalau di RCTI sedang ada lagu Sempurna-nya Andra and The Backbone. Lagu itu dinyanyikan ulang oleh gang Indonesian Idol (ada Mike, Judika, Delon, dan Lucky) bareng sama runner up Australian Idol *kalo nggak salah ya* yang ternyata blasteran Aussie-Indonesia.
Lagu itu terdengar cantik sekali meskipun kadang suka ‘kejar-kejaran’ dengan musiknya. Tapi above all, lagu cantik itu makin cantik saja dengan harmonisasi suara yang okay…
Nah, ternyata ini menyulut masalah. Atau menjadi bahan debat yang nggak bikin saya nggak nyaman sekali. Kenapa? Karena akhirnya saya cerita dengan Pacar, ketika lagu itu selesai dinyanyikan, saya malah menangis…
“Itu karena kamu masih punya harapan sama dia, Sayang…” kata dia, yang membuat perasaan saya malah nggak karuan.
“Masih punya harapan??? Nggak… Aku udah nggak punya harapan apa-apa sama dia… Aku cuman marah sekali sama dia, Cinta… Aku nggak ingin dia balik, aku cuman maraaahhh…”
“Ah, itu defense mechanism. Kalau kamu nggak punya rasa apa-apa, kenapa kamu musti nangis…”
…yang jelas, aku sudah nggak berharap lagi sama dia, Cinta… Aku nggak berharap bisa membuat dia menoleh lagi sama aku dan menyesali semua yang telah dia lakukan… Aku nggak berharap ada keajaiban yang membuat dia akhirnya memilih aku dan meninggalkan perempuan (yang demi dia, orang jelek ini meninggalkan aku)… Aku hanya marah sama dia…
Lantas kenapa saya musti marah? Bukankah marah dipicu karena saya masih punya something yang mungkin saya nggak tahu apa namanya? Bahwa saya masih punya undescribable feeling yang bikin saya nggak nyaman hanya dengan mengingat namanya, mendengarkan lagu yang pernah saya persembahkan khusus untuknya… dan bahkan, saya sampai menangis sesenggukan karenanya?
Apakah benar yang dibilang Pacar kalau saya masih.. mm… cinta sama dia?
Entahlah. Yang jelas ini bukan cinta. Tapi saya belum melupakan dia, totally, itu benar. Entah di bagian mana, but I know he’s there, somewhere. Masih ada beberapa kenangan yang bikin hati saya nggak tenang dan cenderung sedih setiap terlintas di kepala. Saya nggak cinta dia *saya sudah punya kamu, Cinta*, tapi saya belum benar-benar bisa mengusirnya pergi dalam hati saya…
Lagu Sempurna adalah lagu yang pernah saya persembahkan khusus buat dia. Mantan kekasih yang terlihat begitu sempurna di mata saya lalu menghancurkan segala harapan kami begitu saja. Entah kenapa, tiap mendengar lagu itu, yang terbayang memang wajahnya, sehingga kala itu, saya sengaja men-set lagu ini sebagai ring tone setiap dia menelepon…
Jadi, wajar kan, kalau lagu Sempurna itu begitu memorable? Bahwa lagu dengan lirik indah ini begitu mengusik saya sampai ke relung hati ketika dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan meninggalkan saya yang hampir tak percaya bahwa dia sedemikian teganya?
Mendengarkan lagu Sempurna bisa dianalogikan seperti berjalan di medan yang penuh ranjau. Saya musti hati-hati. Karena kalau saya careless atau ceroboh, saya bakal ingat dia dan nangis nggak karuan. Ah, saat itu, saya memilih untuk tidak mendengarkan lagu itu, lagu favorit yang sudah saya cintai sebelum saya mulai pacaran dengan dia. Saya delete saja lagu itu dari koleksi lagu-lagu yang saya simpan di laptop. Saya delete lagu itu dari memory card ponsel. Saya matikan tivi ketika iklan produk perawatan wajah yang menjadikannya sebagai jingle iklan. Saya menutup telinga ketika lagu itu bergema di pengeras suara mal.
Ini karena saya takut…
Karena saya takut akan menangis…
Sampai akhirnya, diskusi saya dengan Pacar membuat saya ingin melakukan sesuatu. Sederhana, tapi ini akan membuat saya lebih lega nantinya. Mungkin akan berat, tapi saya tahu, this is the only way to prove myself that…yes, I’m no longer in love with him.. dan ya… Pacar adalah satu-satunya manusia yang saya sayang dan cintai, bukan laki-laki di masa lalu saya itu.
Lantas apakah sesuatu yang sederhana itu?
Hmmm…. Saya menakhlukkan ketakutan saya. Ya, my fear… Ketakutan saya untuk menangis-nangis darah saat lagu itu terngiang di telinga.. Ketakutan saya untuk mengingat kembali laki-laki yang pernah saya anggap segalanya itu… Ketakutan saya untuk meragukan rasa cinta saya buat Pacar yang sekarang ini…
Dan sesuatu yang sederhana itu… sudah saya lakukan…. semalam.
Di sebuah acara seorang teman, saya diundang olehnya untuk bernyanyi diiringi electone. Karena menghargai tuan rumah dan yang punya hajatan, tentu saya sempat-sempatkan untuk menyanyi meskipun sumpah, saya ngantuk banget dan pingin segera pulang ke rumah. Tapi.. yaah… in the name of friendship, saya melakukannya.
Entah kenapa, ketika ditanya mau menyanyikan lagu apa, tiba-tiba lagu itu yang meluncur keluar. “Kalau Sempurna… bisa kan, Mas?”
Dan setelah dia mengangguk, saya mulai dijalari oleh rasa ketakutan. Apalagi ketika jari-jemari si keyboardist itu mulai lincah memainkan bagian intronya. Uuuuhhh… Saya gemetar… Saya hampir mati rasa di depan banyak orang…
Sebelum bernyanyi, saya berharap semoga saya bisa melewatinya dengan mulus. Saya berharap untuk tidak menangis di depan orang banyak yang pastinya akan segera menilai bahwa saya ini orang gila *hey, tiba-tiba ada cewek yang nangis sesenggukan di tengah-tengah lagu, pasti bikin orang ngerasa aneh, kan???*
Dan ternyata…
Ya.
Lagu itu… selesai juga dengan… SEMPURNA.
Ternyata saya tidak menangis. Ternyata saya tidak bersedih. Ternyata bukan wajah dia yang terbayang ketika saya melagukan lirik-lirik indah lagu ini…. Karena ternyata, di dalam hati saya, malah berdesir sebuah perasaan yang hangat… Dan ya… Saya langsung teringat pada sang Pacar dan betapa ‘sempurna’nya hidup saya setelah mengenal dia. (Ini beda. Kalau dulu, saya merasa dia yang sempurna, tapi kini… saya merasa hidup saya sempurna karena dia. Bukan karena dia tidak sempurna. Tapi karena dia adalah makhluk yang ordinary tapi extraordinary di mata saya…)
Di akhir lagu itu, saya tersenyum. Saya tersenyum lebaaaarrrr sekali. Ada rasa bahagia yang menyusup dengan hangat di dalam hati saya. Membuat saya ingin segera menelepon Pacar dan bilang bahwa saya merindukan dia… Dan bahwa saya hanya mencintai dia, bukan siapa-siapa.. Bukan mantan pencuri cinta yang telah pergi beberapa saat sebelum cinta kami ini saling menyentuh hati…
Karena ternyata, dia sudah pergi….
Karena ternyata saya sudah melupakannya….
Hmmm…I’m totally over him, Cintaku.
Akhirnya… 🙂
ps. Hari ini, saya minta seorang teman untuk mem-bluetooth lagu sempurna itu ke ponsel saya.. dan kamu tahu, saya sedang mendengarkannya sambil menulis post ini… Tahu, what’s the best part? I DON’T FEEL A THING! 😀
Sabtu kemarin, saya ‘kencan’ dengan sahabat saya, Lin. Anak edun, sinting, tapi cantik dan baik hati itu menemani saya minum coklat blended di sebuah gerai donat yang menyediakan layanan hotspot gratisan. Kenapa bukan kupi??? Karena maag saya lagi kumat abis-abisan dan Pacar bilang saya musti stop minum kopi untuk sementara waktu… aarrrgghhh… I miss coffee so f**king much! Dan terdamparlah saya di sofa-sofa empuk tersebut, di depan laptop, dan di sisi seorang sahabat yang sepertinya sedang punya banyak cerita.
Dan yah. Ternyata Lin memang sedang overloaded dengan cerita-cerita menyangkut hatinya. Dan karena itulah, saya musti pamit dengan Pacar yang kebetulan sedang online dan mendengarkan cerita-cerita Lin.
Dari prolognya, saya mulai menangkap bahwa dia memang sedang ada di intersection, berdiri nggak jelas di persimpangan tanpa tahu harus mengambil jalan yang mana. Which way to go? The left one? Or the right one? Or should I just go straight ahead?
Ternyata masih soal si lelaki yang sudah bikin hari-harinya berwarna warni tapi…
“It wasn’t love, Lala,” kata Lin sambil nyeruput blended chocolate yang saya beli itu *ah, anak ini doyannya gratisan ajahh.. hehe* “Ini bukan perasaan yang sama seperti gua dulu…”
“Waktu sama si Rogal yang nggak jelas itu?” tanya saya sambil ngerasa bete-surete. Ah, kenapa cowok satu itu nggak pernah bisa kabur dari pikiran sahabat saya ini sih?? Kenapa masih sok nekat main-main di hati sahabat saya dan bikin Lin nggak bisa ‘kemana-mana’??
Lin mengangguk. Dia tahu kalau saya benci banget sama si Rogal itu. Cowok yang disebut-sebut sebagai lelaki terindahnya itu. Yang punya segalanya yang Lin inginkan. Fisik yang sempurna, kebisaan yang luar biasa, dan yaa… he was the right man in the right place. Datang ketika sahabat saya merindukan bagaimana rasanya jatuh cinta setelah bertahun-tahun mati rasa.
“Yap. Dengan cowok yang menurut lu ga jelas itu, La,” kata Lin sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. “Tapi sama dia, gua ngerasa itu… Perasaan yang itu, tuh…”
“Shivering things?” tanya saya. FYI, Shivering Things adalah istilah saya dan Lin yang merujuk pada getaran-getaran aneh tapi menyenangkan ketika kita bersama dengan seseorang. Ada yang menyebutnya Butterfly, ada yang menyebutnya Zsa Zsa Zsu. Yang jelas, itu perasaan yang sumpah, unbelieably amazing.
“Iya. Itu, tuh. The Shivering Things itu… Dan gua sama sekali nggak ngerasain itu sama Oby. Not a single things. Gua nggak pernah merasa bergetar tiap deket dia. Nyender, ya nyender aja. Deket, ya deket aja. Tapi perasaan gua adem, tenang, dan nggak ada deg-degannya sama sekali…. Argghh.. gua bingung juga La…”
“Bingungnya?”
“Karena temen-temen yang lain pada ribut supaya gua bisa moved on, supaya gua bisa belajar untuk suka sama dia. Never mind about the Shivering Things, yang penting Oby adalah cowok yang baik buat gua…”
Karena memang, Oby bukannya cowok yang nggak baik. Atau jelek. Atau ekstrimnya begini: dia bukanlah cowok yang nggak banget. Bisa dibilang, he’s the right man but in the wrong time and place. Mungkin sama seperti bibit unggul yang ditanam di tanah yang tidak subur. Tidak akan bisa tumbuh dengan baik. Jadi, gimana ‘sempurna’nya Oby… in my bestfriend’s heart… dia tetaplah lelaki yang minus pesona 😦
“Susah, La. Kalau hati udah nggak ngerasain apa-apa, gimana gua bisa moving forward sama dia?” Lin menghela nafas. Saya tahu, dia sedang berjuang mencari tahu apa yang sesungguhnya dia inginkan. Cinta yang sedang tersodor di depan hidungnya atau mengulik-ulik masa lalunya yang masih ada di dalam hatinya. Oh My… She’s just so devastated, I guess. Capek hati. Hhhh…
“Lin, gua nggak bisa nyaranin elu untuk jalan sama dia atau nggak… Karena ini soal elu nyaman atau nggak sama dia. Selama elu nyaman, ya go ahead. If not, jangan paksa diri elu deh. Karena gua pernah ngerasain itu… dan sumpah, itu nggak enak banget…”
…karena ada satu lelaki dalam hidup saya, dulu hadir ketika saya nggak cinta sama sekali, dan butuh perjuangan untuk mencoba menerima dia… Sampai suatu saat saya sadar, kalau saya tetap dekat dengan dia… Saya menyiksa dia… Juga menyiksa diri saya sendiri…
“Ya, ya, gua ingat cerita lu itu, La…” kata Lin. Sahabat saya itu tahu banget sejarah saya. Mulai dari pacar pertama sampai yang terakhir ini. “Dan gua ingat, gimana elu tersiksa banget saat nyoba untuk cinta sama dia… Waktu itu lu terpaksa jadian karena dia yang cinta banget ama elu dan lu dipaksa ama temen-temen kan?”
Saya mengangguk. “Itulah kenapa, gua nggak bisa maksa kalau elu nggak nyaman, Lin. Karena somehow, I just knew that a love without a feeling is so frustrating. Kalau kita nggak punya passion sama sekali dengan pasangan, we have so many excuses to stay away from him… Dan apalah artinya sebuah komitmen kalau kita berlomba-lomba untuk berlari menjauh?”
Kami terdiam. Beberapa saat. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang hilir mudik di depan gerai donat, musik yang berdentum-dentum dari pengeras suara, dan di depan laptop yang layarnya memantulkan cahaya terang itu, kami berdua seperti mencoba untuk mendengarkan suara hati.
Apa sih yang kita cari, Lin?
Yang jelas… gua menyesal karena dulu sudah menyakiti orang itu… Yang gua tinggalin begitu saja karena gua nggak pernah bisa mencintai dia, seperti dia ke gua… Dan ketika sekarang dia udah menikah dan berkata, “Ah, coba waktu itu kamu nggak putusin aku.. Mungkin sekarang kita udah punya anak dua kali, Non…” Gua nggak tahu, apakah gua lega karena dia sudah menemukan pelabuhan sejatinya atau gua sedikit menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan?
Sebelum beranjak pergi dari gerai donat itu dan memutuskan KITA-HAVE FUN-AJA-YUK *yap, dengan belanja-belanja yang nggak penting ituh.. 😀 *, Lin nyeletuk sesuatu yang bikin saya merasa ‘nyesss’ di hati. Sederhana sih, sangat sederhana malah. Karena Lin hanya bilang begini:
“How can I’m with someone when I just can’t even picture him in my fantasy?”
…sampai sekarang, Lin masih ada di persimpangannya… dan sedihnya… kali ini, saya nggak tahu musti bagaimana untuk membantu dia memilih.. *because it’s her life… and she has all the right to make every wrong decisions and she also has the right to learn something from those wrong decisions…*…
Cinta, saya bersyukur banget, bisa terus membayangkan kamu ketika saya merem atau melek sekalipun…
*I luv you… Banget! *
“Nice to meet you, Saila,” kata Didit saat mereka berpisah di parkiran.
“Sama-sama, Dit.”
“Aku boleh telepon kamu, kan?”
Saila mengangguk.
“Sampai ketemu lagi, Saila…. Lang, Mon, terima kasih, ya!”
Saat Didit sudah berlalu dari pandangan, Monita menyikut pinggangnya lalu tersenyum-senyum pada Saila sembari melirik-lirik suaminya.
“Mas, Mas, kayaknya kali ini berhasil, deh.”
Mas Gilang hanya tersenyum sementara Saila mulai merasa salah tingkah.
“Monita, kamu ini…”
“Tapi aku nggak salah, kan, Sai?” potong Monita. “Tadi kamu terlihat enjoy sekali sama Didit. Pokoknya nggak seperti cowok-cowok yang dulu pernah aku kenalin ke kamu, deh!”
“Apaan, sih, Mon? Mas, Mas, bisa minta tolong, nggak? Istrinya dijagain, tuh… Lama-lama dia bisa jadi germo, lho.” Saila menoleh pada Mas Gilang yang ada di dekat Monita.
Monita mencubit pipinya sekilas.
“Ini, kan, karena aku care sama Saila, Mas,” rajuknya pada Mas Gilang yang hanya menonton mereka sambil tersenyum kalian-ini-kayak-anak-kecil-saja. “Ya, kan, Mas?”
“Kalau care itu, bayarin listrik, air, gas, belanja bulanan, dan biaya bensin setiap bulan, Mon, bukan jodoh-jodohin begini,” potong Saila.
“Kalau itu, bukan care lagi namanya, Sai, tapi kurang kerjaan dan lupa sama keluarga sendiri!” Mereka tertawa lagi.
“Tapi benar, kan, kamu enjoy sama Didit? Aku, sih, cuman melihatnya dari luar, Sai. Hati orang, siapa yang tahu, betul?” Saila mengangguk. “Jadi, jadi, benar kamu suka sama dia?” tanya Monita tidak sabar.
Sahabatnya tertawa. “Monita, nggak bisa, dong, aku bisa langsung suka sama seseorang. For God sake, aku baru ketemu dia dua jam yang lalu, Mon.”
“Iya, iya, tapi kesan pertama adalah segalanya, kan?”
“Iya, tapi bukan berarti aku bisa langsung suka sama dia, kan, Mon?”
“Tapi, Sai…”
“Ladies… please!” Mas Gilang menginterupsi sambil berjalan di tengah-tengah mereka dan membuat Monita berhenti nyerocos. “Urusan itu bisa diselesaikan di lain waktu, kan? Lain waktu, maksudnya, kalau aku nggak ada di antara kalian. Bisa bahaya, lho, kalau aku lapar lagi. Istriku bakal ngomel kalau makanku banyak, Sai… ”
Mas Gilang mencium kening Monita sambil mengedipkan matanya pada Saila yang tersenyum lega.
bersambung…
“Selamat ulang tahun, Saila Retnani…”
Kalimat itu yang muncul pertama kali saat Saila tiba di kantor dua hari berikutnya dan melihat Monita cengar-cengir di dekat mejanya dengan sepotong kue tar, yang pastinya, tanpa lilin.
“Huh, basi, tahu!”
Monita malah tertawa. “Maaf…maaf, deh. Kemarin aku lupa telepon kamu, Sai. Kamu tahu, kan, anak-anakku itu sudah seperti penjahat di rumah sendiri? Kemarin mereka mengacak-acak rumah, menjatuhkan vas bunga, dan kamu tahu, Sai? Erick malah kemarin pura-pura jadi Spiderman dan maunya cuman jalan merayap di tembok! Lama-lama aku perlu konsultasi ke psikiater, deh, Sai! Takut gila duluan!”
Saila tertawa. “Untuk orang segila kamu, aku maafkan, deh, kamu melupakan ulang tahunku…”
Sambil tersenyum, Monita merangkul sahabatnya lalu mengecup kedua pipinya. “Jadi, nanti malam kita makan-makan, ya?”
“Uh, harusnya aku tahu kalau ujung-ujungnya kamu cuman minta traktir!” kata Saila sambil pura-pura merengut, meskipun sebenarnya, dia sudah berencana untuk menraktir sahabatnya di restoran baru, dekat kantor mereka.
“Bukan, Sai, justru aku yang ingin menraktir kamu.”
Wajah Saila langsung berubah, heran.
“Serius,” kata Monita saat melihat perubahan wajah sahabatnya. “Nanti malam aku mau mengajak kamu makan malam. Gratis, kok. Aku yang bayar.”
“Kamu? Nraktir aku padahal seharusnya aku yang menraktir? Hmm… kayaknya ada yang nggak beres, deh…”
“Haha, hidungmu itu tajam banget, sih, kayak si Bruno-ku!”“Sialan, sejak kapan aku bisa sama kayak anjingmu yang bisanya cuman ngiler itu?”
“Sejak insting kamu tajam seperti anjing!” Mereka tertawa.
“Jadi, apa rencana ‘busuk’mu, hem?” tanya Saila setelah mereka berhenti tertawa.
“Aku mau kamu ketemu seseorang, nanti malam.”
“Aduh, Mon… Hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah berkencan buta sama calon-calon suami di dalam khayalanmu itu, Sayang…”
“Sudah, dong, Sai. Kan aku nggak beli kado buat kamu, jadi anggap saja, cowok ini adalah hadiah ulang tahun buat kamu…”
“Dan di mana kamu belinya? Di Gays and Playboys counter?”
Monita tertawa lagi. Kali ini lebih kencang.
“Yang satu ini, pasti kamu cocok, deh, Sai. Percaya, deh…”
Kalimat andalan yang mengakhiri ‘perseteruan’ tidak penting di Senin pagi.
bersambung…
Becoming Lala.
Hm, judulnya saja mirip banget dengan judul film yang dimainkan Anne Hathaway, yang bercerita soal penulis buku terkenal ‘Pride and Prejudice’, si Jane Austin itu. Di sini saya nggak akan nekat menyama-nyamakan diri saya seperti Anne Hathawat apalagi Jane Austin yang karyanya fenomenal itu, tapi saya ingin cerita tentang satu topik yang menggugah perasaan saya belakangan ini. Tentang gadis-gadis muda belasan tahun yang menyiksa teman sendiri. Atau tentang laki-laki bertubuh tegap dan gagah yang menyiksa kawan-kawannya atas nama pembentukan mental.
….C’MON! You’re kidding, riiittteeee????
Jujur, saya emosi sekali setiap melihat, mendengar, atau membaca kasus-kasus yang menyangkut soal kekerasan. Bukan karena trauma atau apa, but I hate it when it comes to violance.. but, siapa yang nggak sih? Memangnya kamu cuek-cuek aja dan nggak merasa miris karenanya?
Beberapa hari yang lalu, ada sebuah liputan tentang ini di salah satu televisi swasta. Di situ ada beberapa cuplikan video tentang ‘penyiksaan’ mereka (Gang Nero atau apalah namanya) itu. Ahhh….. miris banget saya melihatnya. Dan di situ juga ada komentar beberapa psikolog terkenal yang semuanya berasumsi bahwa, “remaja seusia mereka memang sedang masa-masanya mengaktualisasi diri… Dan cara yang paling cepat dan mudah adalah dengan pengakuan teman-temannya.”
Hah?? Mengaktualisasi diri??? Tidakkah kalian punya cara lain untuk menunjukkan siapa kalian??? — itu pikiran saya yang bikin saya geleng-geleng kepala. Tidakkah ada cara yang lebih bisa ditolerir selain memukul keras-keras anak orang lain?? Pernahkah kalian berpikir bahwa bisa saja kalian yang ditendang, dipukul, dijambak, dicemplungin sungai cuman bercelana dalam saja, sampai kalian menggigil
kedinginan dan bisa mati rasa???
Saya langsung mengelus dada. Oh My God… kenapa aktualisasi diri menjadi sebegitu pentingnya yaa???
Dan lalu, saya flash back ke masa lalu saya, sambil bertanya, “What the hell did I do to show to the whole universe that I was exist?”
Yang pasti, saya tidak mukul-mukul teman. Haha, walaupun jika ditilik dari body saya yang sangar mirip satpam ini, saya bakal jadi lawan yang tidak tertandingi oleh tubuh-tubuh mungil kawan saya yang lain. Badan saya ini memang tinggi besar, bongsor kayak Alm Mami. Kalau mau maen jagoan, mungkin saya ini bisa banget jadi kepala Preman 😀
Dulu, karena saya hobi menulis dan menyanyi, dari kecil sampai besar alias SD sampai kuliah, saya nggak malu untuk menunjukkan kebisaan saya *okay, tidak hebat, tapi saya bisa* Lomba nulis cerpen *eh, menang lho dulu waktu SD.. hehe*, lomba nyanyi, atau bukan lomba.. misalnya mendaftar jadi pengisi acara Tujuh Belasan di sekolah… Di situ saya berusaha melakukan yang terbaik, sampai akhirnya orang-orang menjadi ngeh kalau yang namanya Lala itu bukan terkenal karena bandelnya, gendutnya, sablengnya, dll dsb, tapi juga karena dia memang bisa menulis/menyanyi.
Tapi apa yang terjadi buat mereka yang tidak punya hobi??? Atau bakat???
Ah, inilah yang susah. Bagaimana mereka bisa ‘dikenal’ dan ‘diakui keberadaannya’ kalau mereka hanya diam saja di pojokan sambil merenungi nasib mereka yang tidak punya hobi/bakat seperti teman-teman mereka yang lainnya. Mereka menjadi pemandangan kontras buat sekelompok orang-orang berbakat yang sedang adu basket di lapangan dan mereka hanya duduk sendiri sambil merasakan hati yang iri.
Hmmm…
Padahal, asal tahu saja, tidak perlu bakat atau hobi yang spesifik agar orang menjadi ngeh terhadap keberadaan kita. Tidak perlu mengubah diri kita menjadi orang lain agar mereka tahu bahwa kita juga ada di sekitar mereka. Ok. Jangan sampai melakukan tindakan aneh-aneh hanya supaya teman-teman tahu bahwa kita adalah ‘something’. Karena kalian tahu? Bahwa modal untuk menjadi ‘something’ adalah sangat murah.
Ya. Totally cheap. Tidak butuh biaya sama sekali.
Apakah itu?
JADILAH ORANG YANG BAIK.
Ha??? Jadi orang baik, La???
Iya. Jadilah orang yang baik. Nggak usah sok garang. Nggak perlu sok jadi tukang Palak. Banyak senyum.. ah, secukupnya, sepentingnya saja, biar nggak dibilang orang gila Kalau ada teman minta tolong, help them… Ringan tangan, rendah hati… Dan ya, jadilah teman yang baik. Jadi telinga untuk mendengar, jadi tong sampah untuk semua curhatnya kalau perlu. Dengan begitu, otomatis orang lain akan melihat bahwa kita ini orang yang baik. Dan orang baik semacam kita ini akan dengan sendirinya mendapatkan tempat di hati orang lain. We are automatically exsisted! ^_^
Dan tau nggak sih.. Hormat dan segan itu tidak bisa disuruh *hell, apalagi dengan kekerasan!*… tapi hormat dan segan itu HANYA BISA DILAKUKAN jika memang kita PATUT UNTUK DIHORMATI DAN DISEGANI. Itu otomatis kok. Tinggal kitanya sendiri bagaimana…
Ahh..
Sekarang saya sudah menjadi seorang Lala: Perempuan 28 tahun yang cerewet, bawel, bandel, suka usil, moody abis, tapi bisa nyanyi dan nulis serta punya teman yang seabrek-abrek…. Percaya nggak sih, kalau proses menjadi saya hari ini adalah dengan cara menjalani semuanya bagai alir dan mencoba melakukan yang terbaik buat saya dan orang lain? Bahwa saya hanya melakukan apa yang saya bisa dan tidak menuntut orang lain untuk mencintai saya?
I’m becoming myself without torturing anyone else. Many people are doing exactly the same.
Jadi kamu juga jangan yaahh.. Please???
Saya pernah cerita nggak ya, kalau pacar saya yang sekarang ini adalah seorang pemain musik? Ok. Dia bukan pemain band semacam Dewa, Padi, Ungu, dll dsb. Dia hanya bisa bermain musik, meskipun kebisaannya ini membuat dia dikagumi banyak orang. Dia bisa memainkan satu alat musik yang saya cintai banget. Yang sudah saya pelajari dari jaman dulu tapi tetep saja yang kehafal hanya chord-chord standar. Yang sampai bangkotan sampai hari ini, sampai alat musiknya rusak dan almarhum, tetep saya nggak bisa menguasai. Ya… alat musik yang paling saya sukai itu adalah Piano.
I love this music instrument karena alasan yang cukup melankolis. Ah, ini pasti beda dengan alasan Om Trainer yang juga suka banget sama Piano dan bahkan sempat menuliskan tentang sejarah Piano di blognya. Om memiliki musikalitas tinggi. Sedangkan saya? I just love to hear the sound of a piano… Ketika tuts-nya ditekan.. bergantian dengan irama yang indah… Yang kadang menghentak, kadang mendayu-dayu, tergantung mood atau suasana hati.
Ahh… cinta sekali saya sama alat musik ini…
Makanya, kalau saya sedang nyanyi, hampir selalu saya request pemain band-nya untuk mengiringi saya dengan piano saja, tak perlu full band. Dengan improvisasi di sana sini, I don’t know, sepertinya sebuah lagu jadi terlihat melankolis… Dan rumantiz… *tapi kalau liriknya Cucakrowo-nya si Didi Kempot, apa bisa jadi rumantiz yaaah? hehe*
Eniwei.. bisa terbayang bagaimana bahagianya saya ketika akhirnya saya bisa punya pasangan yang pemain piano ini kan? Betapa girangnya saya bisa menyanyi diiringi kekasih sendiri, menyanyikan lagu favorit kami berdua “Over The Rainbow” sambil saya duduk di sampingnya yang sedang asyik memainkan jari-jemarinya di tuts-tuts berwarna hitam dan putih itu… Uh, Guys.. Untuk a living drama queen dan Hollywood Dreamer seperti saya ini, kejadian itu benar-benar a picture perfect… *Dan kata pacar saya, “Kamu udah kebanyakan nonton film, Sayang…* haha…
Ah… karena saya ini orang yang suka mimpi, saya malah pernah mengusulkan dia untuk bikin duet semacam Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Ah, kenapakah gerangan??? Karena saya ini suka bikin lirik lagu tapi buta nada, sedangkan dia melek banget soal musikalitas. Segala macam istilah soal musik kadang membuat telinga saya beribet mendengarnya. Tapi ya, kalau sedang jatuh, mau ribet kayak apa juga ayuk aja..hehe
Ide itu sudah dengan bahagianya saya sampaikan sama dia… dan apa komentarnya???
“Udah, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kamu fokus nulis novel ajah…”
DZIIGGGHHH…. Ih pacar.. kok kamu gitu banget sih.. 😀
Tapi tetep saja, itu tidak membuat saya berhenti mengagumi lelaki baik yang pintar main piano itu. Betapa saya beruntung hidup saya menjadi penuh musik dan lagu-lagu indah sejak saya kenal dengannya dan sejak dia melimpahi saya dengan cinta yang unbelievably amazing…
Ya.
Kini saya tahu apa yang dibilang OM NH saat mengomentari post saya yang berjudul “It’s a Roller Coaster. Dare to Ride?” He just said, that his life is like a merry go round. Sedikit ups, sedikit downs. Tapi berwarna-warni.. Tapi penuh musik…
Hmm… Om.
Sekarang saya tahu, bagaimana hidup yang seperti Merry Go Round itu.
Karena sejak ketemu pacar saya yang sekarang ini… my life is simply like a merry go round… full coloured scenes with beautiful songs as its soundtracks…
…saya nggak mau ganti wahana dulu, ya, Sayang? I want to stay here as long as I can…. Luv ya…
“Yes. Officially, I’m turned 39.”
Ibnu hanya tersenyum. “Perempuan umur 39 yang paling cantik di mataku, Mbak.”
Saila membiarkan Ibnu merangkul pundaknya dan mereka bersandar di punggung kursi teras sambil memandang apa saja yang terbentang di atas langit. Rasanya dia memang masih membutuhkan Ibnu untuk melewatkan hari ini. Dia belum ingin menyuruh Ibnu pulang untuk ‘kembali’ ke dalam hidupnya seperti setiap kali Saila merasa lelaki ini telah memasuki hatinya terlalu dalam.
“Nu, boleh tanya, nggak?” Ibnu hanya meng-ehem tanpa berkata apapun, tapi merangkul Saila lebih erat. Saila merapatkan tubuhnya dan membiarkan aroma tubuh Ibnu melekat sempurna di tubuhnya.“Kenapa tadi lilinnya hanya satu, sih? Nggak kenapa-kenapa, kok, Nu, kalau kamu taruh angka 3 dan 9 di atas kue tar… Bagaimanapun, itu tetap umurku, kan? Aku, sih, nggak keberatan, Nu…”
Ibnu menoleh dan menatap kedua mata Saila.
“Mbak, aku juga nggak keberatan dengan umur Mbak yang 39, kok. Cuman tadi aku memang nggak sempat beli dan yang ada cuman lilin-lilin kecil itu… Tadinya mau aku taruh semuanya, tapi nggak cukup, Mbak… Terlalu banyak, sih…” Ibnu menyengir genit lalu mencubit ujung hidung Saila sekilas sambil mengatakan, “Aku bercanda, kok, Mbak… Satu batang itu artinya tahun pertama aku merayakan ulang tahun Mbak Saila…”
Saila tersenyum. “Ibnu, Ibnu, sudah, deh. Aku memang sudah tua, kok. Tahun depan aku 40… Laki-laki mana yang mau sama aku, ya?”
“Nggak usah repot-repot mencari, deh, Mbak, kan sudah ada aku,” tutur Ibnu dengan senyumnya yang khas. “Sampai berapapun umur Mbak Saila, aku tetap mau, kok, percaya, deh.”
Sampai aku kehabisan duit untuk suntik botox dan ikut program pelangsingan, kamu tetap mau sama aku, Nu? Sampai aku menyerah dengan kulitku yang mengendur, perutku yang buncit, dan wajahku yang sudah tidak segar lagi, kamu masih menganggapku perempuan yang cantik? Bisakah, Nu? Bahkan saat Biyan melihatku di ‘masa-masa keemasanku’, dia malah memilih Nyna, bukannya aku…
Hati Saila bergetar.
“Kita jadi membahas ini lagi, Nu, padahal Mbak capek harus terus-menerus mengulang-ulang hal yang sama…”
“Tapi aku nggak akan pernah capek untuk bilang sama Mbak kalau aku…”
“Ibnu, please.” Saila memotongnya. “Aku nggak ingin memikirkan apa-apa malam ini, selain duduk berdua sama kamu, dan melihat bintang-bintang. Kita jalani aja semua ini seperti air, Nu,” tukas Saila sambil menoleh dan memandangi Ibnu yang seperti menahan perasaannya. “Boleh, ya? Ini kan hari ulang tahunku…”
Ibnu hanya mempererat pelukannya lalu memandang langit.
Sambil menyandarkan tubuhnya dan merasakan kehangatan tubuh Ibnu, Saila ikut menatap langit dan larut dalam diam. Dia tidak melihat Mbok Darmi yang diam-diam memperhatikannya di balik jendela, hanya ikut tersenyum dan menitikkan air mata harunya. Mbok Darmi yang selalu menganggap Saila adalah anak gadisnya sendiri, serta menganggap Ibnu adalah lelaki yang tepat di waktu yang salah.
Saila memandangi Ibnu diam-diam dengan ujung matanya.
Ibnu…
Asal kamu tahu, sesaat sebelum meniup lilin tadi, aku berharap kamu bukan lagi dua puluh, tapi tiga sembilan…
bersambung…
Pernah dengar istilah Plus One? Ow… salah.. salah kalau kamu langsung membayangkan orang yang menyanyi dengan iringan musik rekaman itu.. Yang itu, kayaknya sih, namanya minus one. Iya, iya. Kalau ada penyanyi yang lagi tampil di atas panggung tanpa band pengiring itu… Yaaa.. mirip-mirip karaoke gitu dehhhh…. Udah tahu dong, pastinyaa…
Nah, yang pingin saya ceritain di sini adalah Plus One. Hey, apakah ituuuu???
Hhhmmm, saya sendiri baru tahu istilah Plus One gara-gara keranjingan nonton serial Sex and The City, a couple of years ago. Di situ saya baru ngeh, kalau yang disebut plus one adalah orang yang kita ajak untuk menemani kita hadir dalam suatu acara. Gampangnya begini. Kalau kamu pergi ke pesta resepsi seseorang dan kamu berangkat ke sana dengan sahabat atau pacar kamu, mereka itu disebut Plus One. Kan biasanya undangan memang untuk couple, jadi mungkin disebut plus one karena untuk menggenapkan kita yang datang seseorangan…
Eniwei…
Selama ini, Plus One saya adalah my very best friend, Ly *iya, cewek manis yang sekarang terdampar di Hongkong dan sebentar lagi akan pulang ke Indonesia ini.. uhuii.. kangen aku Bu sama dirimu!* Sebagai sesama jomblo *dan pacar yang entah kenapa begitu dibutuhkan, eh hubungan lagi berantakan.. haha.. benar-benar nggak jodoh* akhirnya kami sepakat untuk menjadikan masing-masing sebagai Plus One. Saya ada acara apa.. tinggal angkat telepon, janjian, ssssyuuuttt… meluncurlah Ly ke rumah saya. Dia ada acara apa-apa, gantian saya yang melunc.. uppsss… maaph. Saya nggak pernah meluncur ke sana deng, karena selain jadi Plus One, Ly juga tukang ojek pribadi saya..
Ly bertahan menjadi Plus One karena dia adalah satu-satunya teman yang selalu available setiap saat saya butuh. Ya karena faktor jomblo dan memang dia suka aja sama barang gratisan 😀 , makanya ayuk marree aja setiap saya mengajak dia pergi. Dan FYI, tidak hanya ke acara-acara kawinan, ultah, shipping award, dll dsb, tapi juga saya ajak liburan segala lho. Dia malah dengan suka rela menyebut dirinya sebagai KELEBIHAN BAGASI… Ah.. Kangen juga saya…
Yang jadi masalah adalah, sejak Ly kerja di Hongkong tanggal 15 Desember 2006 kemarin, saya langsung kelimpungan saat mencari Plus One. Ok. Saya memang punya pacar, tapi seperti yang saya bilang tadi, entah kenapa setiap ada acara resepsi, ultah, atau apalah yang mustinya datang as couple, ehh kira-kira sebulan sebelumnya, saya udah putus duluan sama dia.. aaarggghhh… gila banget… Makanya, ada beberapa kali saya malah mengerahkan satu kompi pasukan khusus untuk menemani saya pergi ke acara-acara begitu. Bisa tiga sampai empat orang *haha, kasian yang punya acara juga sih…* Cuman, kalau sedang ‘tau diri’ *dan ini jarang sekali terjadi.. *, biasanya saya memilih nggak datang.
Hhaaahh…??? Nggak dateng La??? Sumpeh Luuu????
Yap. Emang terlihat nggak banget karena apa susahnya sih datang sendirian? Kan kita diundang, harusnya kita menghargai yang mengudang kita dong… So what kalau kita datang sendiri? Emang ada gitu peraturan ‘yang datang sendiri bakal dihukum minimal 6 (enam) bulan kurungan dan denda sekurang-kurang seratus juta rupiah’? Nggak ada kan??
Ok. Ok. Memang tidak ada peraturan seperti itu. Dan kalaupun ada, pastinya tidak mengurusi soal orang yang datang ke kawinan jumlahnya musti genap atau ganjil. Dan kalau tidak ada peraturannya, kenapa saya musti nggak datang hanya gara-gara nggak ada Plus One?
Hmmm…
FYI, saya emang bukan orang yang ‘berani untuk sendiri’. Bahkan, jalan-jalan ke mal saja, saya nggak bisa sendiri. Kecuali ke Mal tujuannya untuk ber-hotspot-ria dengan laptop dan browsing seenak udel, ya pasti saya berangkat sendiri. Kasihan amat teman saya kalau saya nekat mengajak mereka. Tapi kalau untuk urusan nonton, makan, belanja, apalagi nengkri di cafe sendirian.. uh, no.. mendingan saya stay at home dan nyetel DVD film Serendipity favorit saya ituhh.. *eh btw, pacar tercinta saya wajahnya mirip sama yang jadi Jonathan itu lhoo.. hehehe..ganteng yaa? Uhui, muji pacar sendiri, Rekk… 😀 * Jadi, saya memang lebih memilih untuk tidak kemana-mana kalau tidak ada plus one.
Sounds so naive?
Yap. Couldn’t tell you that it’s not true. Karena kenyataannya memang benar begini.
Sampai akhirnya saya sadar, ini nggak boleh terus-menerus saya lakukan. Undangan kan diberikan dengan maksud dan menghargai serta mengharapkan kehadiran kita. Jadi kalau kita nggak datang, artinya kita kurang bisa menghargai keinginan mereka. Apalagi kalau alasannya karena kita nggak punya plus one. Ohh.. oh… this is so damn stupid dan childish.. Makanya saya mulai memperbaiki sikap dan mencari plus one yang lain.
So far…. plus one saya adalah orang-orang ini….
1. Lin.. member gang gila yang belakangan rajin menemani saya, apalagi ke tempat yang berbau-bau makanan gratis… hahaha… kita berdua semakin gembul aja ya, Neng… 😀
2. Mbak Pit… ah, my lovely sister ini yang selalu betah nemenin saya jalan-jalan dan makan siang kalau saya lagi nggak ada temen… Dan pastinya, asal Lala yang mbayarin.. huakakakak.. emang kakak yang baik dirimu, Mbakk.. Mbakk…
3. Bro dan Sis Ira.. uuh.. ini nih… Sepasang suami istri kompak yang kemana-mana keliatan kompak tapi rajin arguing over simple things *hey, saya witness-nya! tiap hari pulang pergi rumah-kantor-rumah saya duduk di kursi belakang dan menyaksikan pertengkaran-pertengkaran ga penting itu.. hehe..* Makin ke sini, saya dan Plus One & One itu makin mirip sama Trio Kwek Kwek versi bangkotan.. Abisss.. kemana-mana bertiga dengan formasi dua cewek dan satu cowok… Coba kalau sebaliknya, mungkin saya bisa bilang kami ini Lingua dan saya adalah si manis Amara-nya.. hehehe.. *ngarep*
4. Bebek Bawel… yaa.. cewek bawel ini yang belakangan jadi pengganti Ly buat jadi supir ojek. Haha… Eits, claim tagihan bengkel yang kapan hari udah di-settle belum ya? 😀
5. Riris… ya my lovely friend itu yang sering saya jadiin plus one, khususnya ke tempat-tempat yang berbau-bau jedag-jedug *which btw, jaraaaaanggg sekali.. hehe* Di antara mereka semua, cuman Riris yang ‘sealiran’. Ah, miss ya Bu.. Besok kita kencan makan siang yaahhh…
Ok. Sepanjang yang saya ingat, cuman orang-orang itu yang bisa diandalkan. Mengingat lokasi pacar yang tidak memungkinkan untuk datang ke Surabaya cuman buat nemenin saya ke pesta khitanan anak temen kantor, jelas saya nggak berharap banyak dia bisa datang. Ya, namanya juga pacaran sama orang sibuk… Tiap hari ada aja agendanya. Minggu ini di mana, minggu depan bisa kemana lagi terbangnya. Menclok sana, menclok sini.. Uuuhh… aktif banget sih Say, kamu iniiihh.. Buntutnya nggak kepegang gituuhh.. *curhat colongan*
Yaa…
Untuk sementara waktu, memang mereka-mereka ini yang akan menjadi Plus One saya…. At least, sampai dua kondisi ini:
1) Si Ly balik dari Hongkong
dan…
2) Pacar saya bisa dekat dengan saya dan menikah secepatnya kalau bisa *ameeeennnnnnnn!*
Hmmm…
Mana yang duluan yaaa???